Babak Akhir Kekaisaran Ottoman: Kebangkitan Nasionalisme Arab

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 1 November 2023 | 08:28 WIB
Para pemberontak Arab di Stasiun Muazzem, Kekaisaran Ottoman. Jalur kereta api yang menghubungkan Madinah dan Damaskus ini menjadi salah satu perlawanan bangsa Arab terhadap Kekaisaran Ottoman. (Digitised Leanne Rodgers-Gibbs)

Nationalgeographic.co.id—Kekaisaran Ottoman membentang dari Eropa Timur, Turki, Irak, Suriah, Lebanon, Palestina, Yordania, Arab Saudi bagian Laut Merah (Hijaz), Mesir, dan pesisir utara Afrika. Kedaulatan mereka berdiri berabad-abad lamanya, dengan masyarakat yang beragam etnis, suku, dan agama.

Paruh akhir abad ke-19, luas kedaulatan mereka tidak seluas dulu lagi. Beberapa kawasan mereka di Afrika Utara, Eropa Timur, dan Yunani terlepas. Bahkan, Mesir dikuasai Inggris pada 1882 dan membentuk negara baru berumur pendek yang disebut Kesultanan Mesir pada 1914.

Awalnya, Kekaisaran Ottoman sangat mengapresiasi bangsa Arab yang setia. Mereka memiliki posisi yang istimewa, bahkan memimpin di berbagai daerah di kawasan Arab seperti Irak, Suriah, Palestina, Mesir, dan Hijaz. 

Pada awal abad ke-20, bangsa Arab menyadari bahwa ada ketimpangan dalam sistem Kekaisaran Ottoman. Kondisi ini memantik tumbuhnya nasionalisme Arab yang terinspirasi dari ide-ide Barat. Semangat nasionalisme melihat bahwa Kekaisaran Ottoman hanya dikuasai orang-orang Turki.

Beberapa tokoh nasionalisme Arab bahkan terinspirasi dari gerakan nasionalis di kawasan Balkan Kekaisaran Ottoman. Mereka adalah bangsa Slavia yang merupakan minoritas dan sebagian besar di antaranya beragama Kristen. Ketika Perang Balkan Pertama 1912 pecah, mereka memperoleh kemerdekaan.

Semangat nasionalisme ini tumbuh di kalangan elit perkotaan terpelajar bangsa Arab, termasuk Angkatan Darat Ottoman sendiri. Sejak awal abad ke-20, perkumpulan rahasia didirikan di beberapa kota Arab seperti Damaskus dan Bagdad. Mereka menyebarkan ide-ide ke masyarakat luas.

Kondisi yang memupuk nasionalisme Arab juga muncul dari pembangunan infrastruktur. Proyek Kekaisaran Ottoman berupa jalur kereta api Hijaz yang menghubungkan Madinah dan Damaskus rampung pada 1908.

Semula, tujuan proyek ini dapat membantu umat muslim menjalankan ibadah haji ke Makkah. Namun beberapa penguasa dan pemimpin wangsa tradisional Arab di Hijaz, wangsa Hasyimiyah (Bani Hasyim), menyadari tujuan lainnya dari proyek tersebut.

Kereta ini dapat mengantarkan proses pemungutan pajak, bea cukai, birokrat, dan tentara Kekaisaran Ottoman. Bagi wangsa Hasyimiyah yang berkuasa di Hijaz dan mengeklaim sebagai keturunan Nabi Muhammad, merasa Kekaisaran Ottoman ingin mengganggu urusan.

Belum lagi pada 1908, Kekaisaran Ottoman mereformasi tatanan pemerintahannya menjadi Turki Muda. Pemerintahan ini mengubah sistem monarki absolut menjadi monarki konstitusional.

Sistem politik itu ditentang gerakan Islam Wahabi. Pada 1914, beberapa ulama Islam Wahabi bersekutu dengan wangsa Arab lainnya dan Keamiran Nejd yang berada di pedalaman Jazirah Arab. Mereka, kemudian, melakukan kerusuhan. Salah satu tokohnya adalah Abdul Aziz bin Saud yang kelak menjadi pendiri Kerajaan Arab Saudi.

Penyebaran nasionalisme Arab semakin bertumbuh bagi kalangan Arab, sejak Kekaisaran Ottoman masuk dalam kancah Perang Dunia I. Selain itu, Kekaisaran Ottoman di Turki bermunculan semangat nasionalisme pan-Turki, membuat masyarakat Arab terasingkan. Akibatnya, gerakan nasionalisme Arab berbuntut pada kerusuhan yang bersamaan waktu dengan gerakan Wahabi.

Syarif dan Amir Makkah Husain bin Ali adalah salah satu tokoh dalam nasionalisme Arab untuk terlepas dari kekuasaan Kekaisaran Ottoman. Sejak sebelum Perang Dunia I, ia berkomunikasi dengan pihak Inggris yang berada di Kesultanan Mesir. (Public Domain)

Perang Dunia I membawa dampak nyata di Timur Tengah. Inggris, yang merupakan musuh Kekaisaran Ottoman, berkuasa di Kesultanan Mesir dan Pelabuhan Aden di Yaman. Kondisi dalam tubuh Kekaisaran Ottoman yang semrawut menjadi informasi penting bagi Inggris.

Sudah sejak sebelum Perang Dunia I wangsa Hasyim punya kedekatan dengan Inggris. Salah satu di antaranya adalah Amir Makkah Syarif Husain bin Ali. Kelak, Husain bin Ali menjadi Raja Arab pertama (sekaligus terakhir) saat Kekaisaran Ottoman runtuh, dan yang menagih janji Inggris ketika perselisihan Arab-Yahudi bermula.

Pada masa kebangkitan nasionalisme Arab, Husain bin Ali sering berkomunikasi dengan panglima militer Inggris di Mesir Lord Kitchener melalui putranya, Abdullah bin Husain. Inggris segera membantu perlawanan nasionalisme Arab yang sudah menyentuh titik didihnya. Bantuan tersebut berupa senjata dan uang rahasia dari Inggris ke pergerakan Arab selama 1915.

Bantuan ini memungkinkan Husain bin Ali memperluas aliansi dan membangun pasukan. Perlahan-lahan, kekuatan dan semangat nasionalisme Arab berkembang menjadi perlawanan terhadap Kekaisaran Ottoman.

Perlawanan pertama yang berpotensi menjadi pemberontakan pertama di Kekaisaran Ottoman pun berlangsung di Suriah. Kelompok al-Fatat adalah yang memperluas pemberontakan tersebut. Segera bagi Husain bin Ali untuk membantu kelompok tersebut untuk merdeka.