Menangkal Mitos Salah Kaprah Polusi Udara, Seperti Apa Nyatanya?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 4 November 2023 | 13:00 WIB
Ada banyak mitos terkait polusi udara yang masih diyakini banyak orang. Mitos ini menyebabkan tindakan pencegahan dan penanganan dampak polusi udara yang salah. (Shutterstock)

Nationalgeographic.co.id—Selama tahun 2023, berbagai kota di Indonesia dilanda polusi udara. Di daerah dengan kepadatan rendah, seperti di Sumatra dan Kalimantan, polusi udara disebabkan oleh kebakaran hutan akibat musim kemarau panjang dan ekstrem karena tren El Nino. 

Sementara di kota besar, khususnya Jakarta, polusi disebabkan oleh mulai dari kendaraan pribadi, asap pembakaran sampah, hingga cemaran PLTU daerah sekitarnya. Polusi yang buruk ini bahkan menjadi perbincangan masyarakat untuk mendesak pemerintah segera melakukan mengambil tindakan baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Alih-alih memberi solusi dan sumber informasi yang tepat, terdapat mitos tentang polusi udara. Penyebaran mitos polusi udara akan berdampak pada pengambilan langkah yang tidak tepat untuk melindungi diri dan membuat kebijakan. Berikut adalah mitos polusi udara.

1. Menghirup udara kotor hanya berdampak pada paru-paru

Meski polusi udara dapat menyerang melalui organ pernapasan, nyatanya dampaknya tidak hanya ke paru-paru melainkan seluruh sistem tubuh.

"Meningkatnya polusi udara berhubungan dengan peningkatan serang jantung, strok, kelahiran prematur, ragam macam kanker, penyakit Alzheimer, masalah kognitif pada anak-anak, diabetes dan obesitas, dan serta masih banyak lagi," kata Beth Gardiner, jurnalis lingkungan dan polusi dari National Geographic.

Ada beberapa partikel polutan dan zat berbahaya di udara. Partikel paling kecil adalah PM2.5 dengan diameter kurang dari 2,5 milimeter, atau setara dengan 1/30 dari lebar rambut manusia. Ilmuwan juga mengungkap partikel polutan yang lebih kecil dari PM2.5 yang disebut sebagai partikel ultrahalus yang dapat masuk ke dalam masuk ke paru-paru, bahkan aliran darah.

2. Menanam banyak tanaman mengurangi polusi udara

Pohon memang dapat menyerap karbon dioksida dan zat gas lainnya yang menjadi pencemar udara. Akan tetapi, pohon tidak dapat menyerap partikulat yang menjadi polutan. Partikulat berbeda dengan zat gas, yang bentuknya lebih padat tetapi ukurannya lebih kecil.

Dengan demikian, pohon tidak bisa menghilangkan partikel kecil di udara. Nafas Indonesia melaporkan bahwa di beberapa daerah yang memiliki banyak pohon di sekitar Jabodetabek tidak memiliki perbedaan dalam tingkat polusinya, bahkan lebih tinggi.

Jika partikel polutan menghilang berkat pohon, kemungkinan besar karena akarnya menyerap udara dan air. Beberapa partikel mungkin bisa tersaring saat penyerapan di tanah, tetapi kungkinannya sangat kecil. Partikel polutan pada akhirnya hanya tertahan di permukaan sekitar tanaman daripada terserap.

3. Masker bedah efektif untuk menangkal polusi udara

Ketika laporan tentang tingginya polusi udara di Jakarta ramai, masyarakat kembali ramai memakai masker bedah. Akan tetapi, menggunakan masker bedah tidak membantu Anda tercegah dari menghirup polutan berbahaya.

Masker bedah memiliki ukuran pori sekitar 5—10 mikrometer. Ukuran ini masih kurang mampu menangkal polutan ukuran 2,5 mikrometer atau lebih kecil lagi ketika Anda menghirup napas.

Sebuah studi tahun 2018 mengungkapkan, masker bedah saat polusi udara lebih memungkinkan hingga 68 persen polutan masuk ke dalam. Masker jenis ini hanya menutup setengah wajah, jarang menutupi hidung dan mulut secara menyeluruh. Tentunya, masih ada celah yang besar bagi polutan untuk bisa masuk ke dalam organ pernapasan Anda.

Sektor-sektor penyumbang polusi udara di Jakarta. (Dinas Lingkungah Hidup DKI Jakarta)

Cara efektif yang dapat dilakukan adalah menggunakan masker antipolusi seperti N95 atau N99. Beberapa di antaranya dapat efektif hingga 90 persen untuk menyaring partikel polutan. 

Bagaimanapun, menggunakan masker apa pun termasuk masker bedah atau menggunakan syal sederhana untuk menutupi wajah lebih baik daripada tidak menggunakan sama sekali.

4. Di rumah saja agar tidak terpapar polusi

Karena aktivitas pembuangan polusi udara banyak terjadi di luar ruangan, banyak yang menyangka di dalam ruangan seperti rumah dan kantor lebih aman. Nyatanya tidak. Piotr Jakubowski, Chief Growth Officer Nafas Indonesia menyatakan bahwa "polusi udara dapat masuk ke dalam ruangan lewat pintu, ventilasi, jendela, dan orang dari luar yang masuk".

Dalam pengenalan Clean Air Zone di sekolah Mighty Minds Preschool Hang Tuah, Piotr mengungkap laporan kadar polusi udara dalam ruangan cenderung mirip dengan luar ruangan, walau angkanya lebih rendah. "Ini menandakan ada kebocoran. Kualitas udara di dalam ruangan dipengaruhi kualitas di luar ruangan," lanjutnya.

Senada dengan Piotr, sebuah penelitian tahun 2019 di India menunjukkan bahwa, walau pintu rumah sudah ditutup, ruangan masih tidak aman. Polusi yang bisa masuk antara lain PM2.5, karbon dioksida, dan senyawa organik yang mudah menguap.

5. Menyemprot air ke lingkungan sekitar akan mengurangi polusi

Ketika Jabodetabek menjadi kawasan dengan kadar polusi yang tinggi, pemerintah setempat melakukan penyemprotan air. Harapannya, partikulat di tanah dan di udara dapat terperangkap, kemudian terbuang ke saluran pembuangan.

Ide ini mungkin muncul karena kualitas udara selama musim hujan lebih bersih daripada musim kemarau. Namun, penyemprotan air tidak bisa menjadi pengganti hujan yang membersihkan tanah dan udara Jabodetabek dari polusi.

Penelitian tahun 2021 mengungkapkan, menyemprot udara ke jalanan justru berkontribusi menambah polusi udara ketimbang menguranginya. Menyemprot air dalam jumlah besar justru menghasilkan peningkatan kelembapan dan konsentrasi PM2.5 yang lebih besar.