Sejak itu Elly mulai melakukan riset terhadap budaya Betawi yang melahirkan tari Betawi. Eksplorasinya berlanjut ke pedalaman suku Dayak (1974), Sulawesi (1975) hingga menyelami budaya suku Asmat (1986).
Bersama almarhum suaminya, Deddy Lutan, penari dan koreografer ternama saat itu, Elly berkarya selama kurang lebih 23 tahun membawa nama sanggar tari mereka, Deddy Lutan Dance Company (DLDC). Pasangan ini pun sempat menampilkan para penari suku Asmat keliling Amerika Serikat pada tahun 1989. Misi mereka dalam berkarya adalah mengangkat seni budaya tanpa mencabut akar tradisinya.
Karya-karya Elly lahir dari kegelisahan dan apa yang dirasakan saat itu. Ia mengangkat tokohtokoh perempuan dari sudut pandang sebagai sesama perempuan. Lewat karyanya "Cut Nya’ Perempuan itu Ada" (2014), ia ingin para perempuan meneladani spirit beliau untuk dapat menempatkan diri sadarkapan dia harus di depan, di samping atau di belakang.
Setelah sang suami berpulang tahun 2014, rumahnya menjadi “klinik seni" untuk menghidupkan semangat para seniman muda untuk berkarya. "Saya hanya ingin menjadi ibu bagi dunia seni," ujar Elly yang di usia 71 tahun masih aktif mengeksplorasi seni tari tradisi dan menumbuhkan kecintaan seni tari Nusantara ke dalam diri anak-anak, termasuk kepada cucunya. 2. Ery Mefri sang maestro tari Minang
Bagai buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Begitulah Ery Mefri, putra semata wayang Jamin Manti Jo Sutan, seorang maestro tari dan tokoh tradisi Minangkabau.
Sejak kecil pria kelahiran Solok, 23 Juni 1958, ini sudah terbiasa mendengar suara gendang dan ayahnya berdendang saat mengajar murid-murid menari. Ery pun mantap menetapkan pilihan hidupnya menjadi penari sejak di bangku kelas 2 SMP.
Ery lalu melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) di Padangpanjang. Selama 4,5 tahun, Ery seperti kesetanan berlatih menari tanpa lelah. Hal yang sama dilakukannya ketika ia bekerja sebagai pegawai negeri dan berkantor di Taman Budaya Padang sejak 1982 (hingga pensiun tahun 2014). Barulah pada tahun 1983, Ery memutuskan untuk menjadi koreografer dan mendirikan Sanggar Tari Nan Jombang. Karya pertamanya berjudul “Nan Jombang”. Nama ini diambil dari sebutan Sang Ayah yang dalam Bahasa Minang berarti "pria yang ganteng dan berwibawa".
Berbeda dengan kebanyakan putra Minang yang merantau ke luar kota, Ery justru bertekad untuk menetap selamanya di Tanah Minang. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi hebat di kampung sendiri.
Nama Ery Mefri muncul ke panggung dunia pada tahun 2004 berkat peran Kementerian Pariwisata lewat Indonesia Performing Arts, ajang tahunan yang mempertemukan para seniman Indonesia dengan para manajer dan pengusaha hiburan dari mancanegara. Tahun 2007 Kelompok Nan Jombang pertama kali diundang tampil ke Brisbane, Australia. dan dilanjutkan ke negara-negara lain.