Nationalgeographic.co.id—Tim penyelenggara CHI Awards 2023 telah mengumumkan para peraih penghargaan di bidang pelestarian seni tari Nusantara. Dalam acara penganugerahaan bertajuk CHI Awards 2023: Seni Tari Nusantara pada Kamis, 9 November 2023, di Jakarta, ada lima orang tokoh yang mendapat apresiasi.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Hilmar Farid, yang hadir dalam acara, sangat mengapresiasi adanya inisiatif penganugerahaan ini. Dia juga sangat menghormati lima peraih penghargaan CHI Awards ini karena telah berkontribusi besar melestarikan kebudayaan Indonesia.
"Dari pribadi-pribadi yang menerima anugerah ini, kita bisa belajar dari perjalanan mereka tentang makna kata 'pengabdian' yang telah dilakukan selama bertahun-tahun di bidangnya masing-masing," ujar Hilmar Farid dalam sambutannya.
"Kadang-kadang [mereka] menempuh jalan yang sangat sepi, tetapi teguh pendirian dan terus berkarya menghadapi macam-macam tantangan dan rintangan."
Kelima peraih CHI Awards 2023 antara lain merupakan ibu dari dunia seni hingga empu tari Bali. Ada pula maestro tari Minang, maestro tari Jawa klasik, dan presiden pertama Republik Indonesia. Berikut ini adalah sedikit rincian profil mereka.
1. Elly D. Lutan yang ingin jadi ibu bagi dunia seni
Nama pertama yang meraih penghargaan ini adalah Elly D. Lutan. Wanita kelahiran Makassar 27 Juli 1952 itu sebenarnya tak pernah bercita-cita sebagai penari. Bahkan sempat ingin menjadi tentara seperti ayahnya.
Namun jalan takdir mengalihkan Elly kepada dunia seni tari. Belajar menari dan mengenal wayang kulit di usia 4 tahun. Saat itu Elly tinggal bersama pakde & bukdenya di Jember, Jawa Timur, yang gemar memotivasi Elly belajar menari.
Bakat menarinya yang menonjol membuat Elly dipilih oleh Bupati Jember untuk berguru kepada maestro tari Bagong Kussudiardjo di Yogyakarta. Elly bahkan sudah diminta mengajar tari di lingkungan tempat tinggalnya sejak usia SMP.
Meski ia melanjutkan sekolah di STM Bangunan dan kuliah di Sekolah Tinggi Teknik Nasional, kiprah Elly di dunia tari terus berlanjut. Berawal dari menari Kijang Ramayana di depan Gubernur DKI Ali Sadikin, hingga perjumpaannya dengan Pak Sampurno (saat itu Direktur Pendidikan Kesenian) yang mengantarkan Elly untuk tampil di istana negara.
Elly bahkan tak menyangka ketika lulus Sarjana Muda, tiba-tiba saja ia diangkat menjadi pegawai negeri di Dinas Kebudayaan dan Permusiuman, Provinsi DKI Jakarta, tanpa melalui tes seleksi.
Sejak itu Elly mulai melakukan riset terhadap budaya Betawi yang melahirkan tari Betawi. Eksplorasinya berlanjut ke pedalaman suku Dayak (1974), Sulawesi (1975) hingga menyelami budaya suku Asmat (1986).
Bersama almarhum suaminya, Deddy Lutan, penari dan koreografer ternama saat itu, Elly berkarya selama kurang lebih 23 tahun membawa nama sanggar tari mereka, Deddy Lutan Dance Company (DLDC). Pasangan ini pun sempat menampilkan para penari suku Asmat keliling Amerika Serikat pada tahun 1989. Misi mereka dalam berkarya adalah mengangkat seni budaya tanpa mencabut akar tradisinya.
Karya-karya Elly lahir dari kegelisahan dan apa yang dirasakan saat itu. Ia mengangkat tokohtokoh perempuan dari sudut pandang sebagai sesama perempuan. Lewat karyanya "Cut Nya’ Perempuan itu Ada" (2014), ia ingin para perempuan meneladani spirit beliau untuk dapat menempatkan diri sadarkapan dia harus di depan, di samping atau di belakang.
Setelah sang suami berpulang tahun 2014, rumahnya menjadi “klinik seni" untuk menghidupkan semangat para seniman muda untuk berkarya. "Saya hanya ingin menjadi ibu bagi dunia seni," ujar Elly yang di usia 71 tahun masih aktif mengeksplorasi seni tari tradisi dan menumbuhkan kecintaan seni tari Nusantara ke dalam diri anak-anak, termasuk kepada cucunya. 2. Ery Mefri sang maestro tari Minang
Bagai buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Begitulah Ery Mefri, putra semata wayang Jamin Manti Jo Sutan, seorang maestro tari dan tokoh tradisi Minangkabau.
Sejak kecil pria kelahiran Solok, 23 Juni 1958, ini sudah terbiasa mendengar suara gendang dan ayahnya berdendang saat mengajar murid-murid menari. Ery pun mantap menetapkan pilihan hidupnya menjadi penari sejak di bangku kelas 2 SMP.
Ery lalu melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) di Padangpanjang. Selama 4,5 tahun, Ery seperti kesetanan berlatih menari tanpa lelah. Hal yang sama dilakukannya ketika ia bekerja sebagai pegawai negeri dan berkantor di Taman Budaya Padang sejak 1982 (hingga pensiun tahun 2014). Barulah pada tahun 1983, Ery memutuskan untuk menjadi koreografer dan mendirikan Sanggar Tari Nan Jombang. Karya pertamanya berjudul “Nan Jombang”. Nama ini diambil dari sebutan Sang Ayah yang dalam Bahasa Minang berarti "pria yang ganteng dan berwibawa".
Berbeda dengan kebanyakan putra Minang yang merantau ke luar kota, Ery justru bertekad untuk menetap selamanya di Tanah Minang. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi hebat di kampung sendiri.
Nama Ery Mefri muncul ke panggung dunia pada tahun 2004 berkat peran Kementerian Pariwisata lewat Indonesia Performing Arts, ajang tahunan yang mempertemukan para seniman Indonesia dengan para manajer dan pengusaha hiburan dari mancanegara. Tahun 2007 Kelompok Nan Jombang pertama kali diundang tampil ke Brisbane, Australia. dan dilanjutkan ke negara-negara lain.
Karya Ery yang paling sering ditampilkan di mancanegara adalah “Rantau Berbisik” diangkat dari kisah Ery saat merantau ke Jakarta. Sebagai salah satu bentuk solidaritas Ery terhadap para seniman Padang , Ery menggagas festival “Galanggang Tari Sumatra” (kini menjadi KABA Festival sejak 2014) dan Festival Nan Jombang Tanggal Tiga (dilakukan tanggal 3 setiap bulannya).
“Filosofi tanggal 3 itu diambil dari pepatah Minang, 'Tigo Tungku Sajarangan' yang menggambarkan 3 hubungan manusia: dengan sesama manusia (ninik mamak), dengan alam (cerdik pandai) dan dengan Tuhan (alim ulama),” jelas penerima Anugerah Kebudayaan kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaharu dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Hukum dan HAM tahun 2016 itu.
Di usianya yang 65 tahun ini Ery sangat bahagia mendapat dua kado terindah dari Tuhan. Pertama, tanggal 1 November lalu Ery menggelar “Perayaan Akbar 40 tahun Ery Mefri Berkarya” di Ladang Tari Nan Jombang, Padang, sekaligus meresmikan museum tari dan peluncuran buku biografinya yang berjudul Salam Tubuh pada Bumi.
Kedua adalah penghargaan dari CHI Awards 2023 sebagai Penerus Seni Tari Nusantara. Penghargaan ini tentu menguatkan eksistensi dan semangat Ery untuk terus berkarya dan mempersiapkan para penari muda sebagai generasi penerusnya.
3. Ni Ketut Arini sang empu tari Bali
Perempuan kelahiran Denpasar, 15 Maret 1943, ini tumbuh dan besar di lingkungan keluarga seniman. Ayahnya, I Wayan Sapluh, adalah seorang penabuh gamelan. Ibunya, Ketut Samprig, gemar mekidung (melantunkan tembang Bali). Semua saudaranya bisa menari.
Suasana inilah yang membuat anak ke-4 dari 6 bersaudara ini merasa sangat dekat dengan dunia tari sejak kecil. Ia senang mengamati orang-orang yang belajar menari di pelataran rumah pamannya, I Wayan Rindi, seorang penari dan guru tari terkenal di masa itu.
Arini baru diizinkan untuk belajar menari kepada sang paman ketika ia berusia 14 tahun. Bakatnya yang luar biasa pun terlihat menonjol dari anak-anak seusianya.
Tak hanya menari, Arini tergerak untuk mengajar adik-adiknya. "Kamu mau jadi guru?" tanya sang paman. "Kalau mau jadi guru harus belajar banyak lagi."
"Iya saya mau," kenang Arini atas jawabannya. "Sampai akhirnya saya memutuskan menjadi guru.”
Arini semakin giat mengasah talentanya dan sempat menimba ilmu seni tari di Sekolah Konsevatori dan Kerawitan Indonesia Jurusan Bali (KOKAR Bali) dan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar.
Kreativitasnya mencipta tari dimulai sejak ia lulus Sarjana Muda dari Akedemi Seni Tari Indonesia tahun 1973. Beberapa karya Tari Legongnya pun berhasil mendapat penghargaan. Salah satunya adalah Tari Legong Widya Lalita.
Langkah Arini menjadi pengajar pun semakin mantap ketika tahun 1979 ia diundang stasiun TVRI untuk mengisi program “Bina Tari”. Bersama sanggar tarinya, Warini, ia dipercaya untuk mengasuh program tersebut selama 20 tahun.
Mata dunia mulai melirik Arini dan sejak itu Arini banyak mendapat tawaran mengajar tari Bali dari mancanegara. Seperti ke Amerika Serikat (1999- 2005) dan Jepang (2007-2018).
Misinya dalam melestarikan tari Bali klasik karya guru-gurunya pun terus berjalan. Di sela kesibukannya mengajar, ia meluangkan waktu untuk menulis buku.
Saat ini ia sudah menulis dua buku. Yang pertama berjudul Teknik Tari Bali dan yang kedua bertajuk Tari Pendet Pujiastuti yang membahas tarian karya pamannya.
Tak hanya itu, Arini juga merevitalisasi salah satu Tari Bali Klasik “Baris Kekupu”. Ini merupakan tari ciptaan gurunya I Nyoman Kaler dan I Wayan Rindi sekitar tahun 1930.
Berkat pengabdian Arini mengajar tari Bali klasik, Tari Baris Kekupu masih terus dipentaskan hingga saat ini di Pura Balai Banjar Lebah, Denpasar. Dan tahun 2023, Tari “Baris Kekupu” mendapat penghargaan dari UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda milik Kota Denpasar.
Di usianya yang sudah 80 tahun, meskipun tubuhnya menua, semangat pengabdian ibu empat anak ini terhadap seni tari Bali tak pernah padam. Tak heran jika ia kemudian menerima penghargaan Adi Sewaka Nugraha (2021) dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Di usia 80 tahun, semangat Arini mengajar tak pernah padam terutama melihat minat anak-anak yang ingin belajar menari di sanggarnya. Baginya mengajar adalah amanah ayahnya dan panggilan hatinya. Dengan menari dan mengajar, Arini merasa bahagia karena bisa berbagi dan bermanfaat bagi orang lain.
4. Retno Maruti sang maestro tari Jawa klasik
"Menari bagi saya seperti berdoa, mengagungkan nama Tuhan," ujar Retno Maruti dalam menghayati tari.
Retno lahir pada 8 Maret 1947 di Solo, Jawa Tengah, dalam lingkungan yang akrab dengan kesenian. Ayahnya, Soesilo Atmadjo, merupakan seorang dalang wayang dan ibunya, Siti Marsinam, adalah seorang penata rias dan pembatik.
Berada di lingkungan keluarga seniman Baluwarti kompleks Keraton Surakarta, membuat anak ke-2 dari 7 bersaudara ini mengenal seni tari dan gamelan tradisi Jawa sejak usia 5 tahun. Retno kemudian mengasah kemampuannya menari dan menembang klasik Jawa dari para maestro di zaman itu, seperti Laksminto Rukmi (penari kraton), Koesoema Kesawa, Nyai Bei Mardusari, R. Ay. Sukorini, Basuki Kusworogo, dan Sutarman.
Saat SMP, Retno terpilih menjadi penari kijang kencana dalam pentas Sendratari Ramayana di Candi Prambanan selama kurang lebih 9 tahun (1961-1968). "Sendratari Prambanan itulah sekolah tari saya,” ujar Retno.
Pengalamannya mengikuti sendratari Ramayana Prambanan itu sangat membantu Retno ketika ia mengelola pertunjukan dan memimpin Padnecwara, sanggar tari yang didirikannya sejak 1976 bersama Arcadius Sentot Sudiharto teman sesama penari yang juga suaminya.
Sejak tahun 1960-an Retno mulai menari di luar negeri, antara lain di World Fair New York 1964 selama 8 bulan dan terpilih sebagai salah satu penari misi kepresidenan ke Jepang. Ketika kembali ke Indonesia, Retno pun mulai membuat karya tari pertamanya, Langendriyan Damarwulan, pada 1969, sampai yang terakhir Kidung Dandaka pada 2016.
Tak hanya mampu menampilkan seni tradisi Jawa klasik dengan suatu kedalaman rasa yang kreatif, Retno juga berhasil melahirkan banyak seniman dan penari klasik muda berbakat. Berbagai penghargaan ia terima. Salah satunya penghargaan dari Akademi Jakarta tahun 2005 untuk pencapaian dan pengabdian di bidang kesenian/humaniora.
Berkesenian tari Jawa ini mampu menembus batas-batas perbedaan, baik suku, agama, kedudukan, maupun status ekonomi. Di masa sekarang, banyak orang belajar menari untuk mendapat keseimbangan jiwa. "Bagi saya, menari seperti berdoa, mengagungkan Tuhan," ujar nenek 1 cucu yang masih tampak anggun itu.
Di usia 76 tahun, Retno masih tetap berkarya sekalipun kini gerak kakinya sudah sangat terbatas dan lebih banyak berada di belakang panggung. Seperti awal Oktober lalu Retno baru saja mementaskan kembali Sendratari Roro Mendut (karya yang dibuat tahun 1977) di NAFA Lee Foundation Theatre, Singapura.
Retno bahagia karena saat itu semua keluarganya, termasuk Kanya sang cucu, juga ikut terlibat. Retno berharap,"Semoga makin banyak yang meneruskan tari Jawa Tradisi ini. Dimulai dari Rury, anak saya dan Kanya, cucu saya.”
Baginya, menari bukan hanya menghapal gerak dan teori. Melainkan juga belajar mengendalikan diri, bergotong royong, saling menghargai, toleransi sekaligus nilai-nilai budi pekerti yang tidak diperoleh di bangku sekolah.
5. Sukarno sang pencinta dan pelestari seni tari Nusantara
"Aku bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, karena aku dilahirkan dengan perasaan halus dan darah seni.” Itulah kalimat pembuka Sukarno dalam autobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Sukarno mengakui bahwa cara termudah untuk menggambarkan dirinya adalah dengan menyebut dirinya "Maha Pencinta"; pencinta segala bentuk keindahan dan seni.
Dia sosok pemimpin negeri ini yang tangguh dan visioner serta memiliki renjana dan cita rasa seni yang tinggi. Terlihat dari ribuan koleksi lukisannya yang kini sebagian dipajang di istana negara. Putra dari pasangan Ida Ayu Nyoman Rai dan Raden Soekemi Sosrodihardjo ini sudah menunjukkan minatnya di bidang seni sejak di bangku SMP dengan menjadi pemain teater. Bahkan di masa pembuangannya di Ende, Sukarno banyak menulis naskah cerita, menjadi sutradara, dan mengelola pementasan teater.
Sebagai pemimpin bangsa dan seorang arsitek, Sukarno terlibat dalam merancang dan menata ibu kota Jakarta dengan sentuhan seni arsitektur yang tinggi. Mulai dari Gelora Senayan, Gedung MPR/DPR, Monas, dan Masjid Istiqlal yang merupakan masjid terbesar se-Asia Tenggara dan terbesar ke-9 di dunia.
Sukarno pula yang memprakarsai karya seni patung dipajang di ruang publik dan menjadi ikon Jakarta hingga saat ini. Sebut saja Patung Selamat Datang, Patung Pancoran, Tugu Tani, dan Patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng
Khusus untuk seni tari, ia mengembangkan ragam tari tradisi Nusantara dari sisi estetika seni petunjukan yang menarik untuk disuguhkan sebagai jamuan kenegaraan. Contohnya, ia menjadikan Tari Pendet sebagai tari pembuka dalam acara resmi menyambut tamu negara.
Putra sulung Sukarno, Guntur Sukarno Putra, dalam buku berjudul “Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku menulis bahwa Sukarno juga senang menari Lenso dalam acara-acara khusus.
Sukarno tak segan mendobrak pakem untuk mengangkat seni tari tradisi yang lebih merakyat. Misalnya mengusulkan Tari Kecak Bali yang semula ditarikan dalam format baris menjadi lingkaran.
Guruh Sukarno Putra, putra bungsu Sukarno, mengungkapkan pada tahun 1958 atas prakarsa Sukarno, tari Kecak yang biasa hanya ditarikan oleh laki-laki, ditarikan oleh wanita di Stadion Senayan saat pembukaan Asian Games IV tahun 1962.
Berangkat dari inspirasi tersebut pada bulan Juni lalu, Guruh menampilkan kembali tarian kecak yang ditarikan oleh 3.000 penari perempuan di Gelora Bung Karno pada perayaan puncak Bulan Bung Karno dengan judul pertunjukkan "Soekarnoyana".
Begitulah sosok Sukarno yang memaknai karya seni tidak hanya sebagai objek, tetapi juga sebagai representasi budaya bangsa. Atas dasar inilah CHI mempersembahkan penghargaan khusus CHI Awards 2023 “Amerta Askara Budaya" (Cahaya Budaya Abadi) kepada almarhum Sukarno.
Pengharagaan untuk mengenang Bapak Pendiri Bangsa sekaligus presiden pertama RI yang telah membangun jati diri bangsa dan menjadi cahaya yang menerangi pertumbuhan seni budaya Nusantara.