Nationalgeographic.co.id—Kembali ke sekitar abad ke-13, Kekaisaran Mongol merupakan kekuatan yang mengerikan bagi banyak peradaban di dunia. Mereka pun terlibat dalam Perang Salib yang kehadirannya menjadi ancaman nyata bagi kerajaan-kerajaan Islam Timur Tengah dan Kekristenan Eropa.
Mungkin kengerian terhadap bangsa Mongol hanya pada kerajaan-kerajaan di Eropa Timur terhadap Gerombolan Emas yang berbasis di Rusia dan Asia utara. Kenyataannya, beberapa kerajaan Kekristenan Eropa, khususnya Prancis, tertarik untuk membentuk aliansi dengan Kekaisaran Ilkhanat Mongol.
Pada masanya, Kekaisaran Ilkhanat berkuasa dari Tukri, Suriah, Iran, hingga sebagian Asia Tengah selama Perang Salib. Kekaisaran inilah yang sebelumnya menghancurkan Kekaisaran Abbasiyah dengan mengepung Bagdad pada 1258.
Jatuhnya Bagdad membuat Prancis menilai ulang pandangan mereka terhadap bangsa Mongol. Kondisinya saat itu, Prancis juga tengah berseteru dengan Inggris. Bersekutu dengan Mongol dapat melancarkan misi lama yang diserukan oleh paus untuk menguasai Tanah Suci.
Melihat Mongol dari kacamata Prancis
Ini bukan pertama kalinya Prancis bersekutu dengan bangsa non-Eropa untuk berperang di Timur Tengah. Pada abad ke-8 dan 9, mereka sempat bersekutu dengan Kekaisaran Abbasiyah untuk melawan Kekaisaran Umayyah.
Persekutuan itu bentuk pertama kali oleh Pepin si Pendek yang berkuasa di Prancis dari 751—768 dan Sultan al-Mansur yang berkuasa 754—775 di Abbasiyah. Hubungan ini berlanjut di bawah pemerintahan Charlemagne (berkuasa 768—814) dan Harun al-Rashid (berkuasa 786—809).
Ketika Perang Salib I usai, kegagalan melanda kerajaan-kerajaan Kekristenan di Eropa. Mereka sangat berharap akan adanya kekuatan dari Timur yang bisa menjadi sekutu, seperti Prancis dan Abbasiyah di masa lalu. Kerajaan-kerjaan Eropa berharap adanya kabar baik, terutama saat beredar rumor legenda Presbiter Yohanes dari Timur.
Setelah Perang Salib VII (1248—1254), bangsa Mongol datang menguasai dataran Persia. Kabar kekuatan baru dari Timur seperti ini sudah lama dinantikan. Hanya saja, kekuatan ini tidak berkaitan dengan Presbiter Yohanes. Bangsa Mongol sendiri datang dari Timur Jauh yang dipimpin oleh Khan Agung. Dari sinilah, Prancis mulai berpikir untuk beraliansi dengan Mongol.

Mongol terbantukan dengan hadirnya Prancis
Sementara bagi bangsa Mongol, bangsa lain dianggap sebagai musuh, baik muslim maupun kristiani yang sedang berperang merebut Yerusalem. Namun, cara pandang mereka sedikit berbeda terhadap Prancis.
Bagi Kekaisaran Ilkhanat—bagian dari Kekaisaran Mongol di Persia—Kekaisaran Mamluk di Mesir adalah musuh utama. Pertempuran Ain Jalut tahun 1260 membawa kekalahan besar bagi Kekaisaran Ilkhanat. Kekalahan itu juga disebabkan karena Ilkhanat tidak bisa mengerahkan kekuatannya secara maksimal.
Ilkhanat mereka, Hulagu, harus kembali ke Karakorum, ibukota Kekaisaran Mongol untuk pelantikan adik Kubilai Khan yang merupakan adiknya menjadi Kaisar Agung baru. Dalam perjalanan ke Karakorum itu, Hulagu juga membawa sejumlah pasukan yang seharusnya bermanfaat untuk mengalahkan Mamluk di Ain Jalut.
Setelah kembali pada 1262 ke Kekaisaran Ilkhanat, Hulagu menaruh dendam terhadap Mamluk. Ketbuqa, jenderal terbaik Ilkhanat gugur setelah Pertempuran Ain Jalut dalam sebuah eksekusi yang dipimpin Sultan Sayf ad-Din Qutuz.
Kekaisaran Ilkhanat kemudian melihat Prancis sebagai sekutu karena sama-sama menjadikan Mamluk sebagai musuh. Kemungkinan aliansi pun dipertimbangkan oleh Ilkhan Mongol di Persia.
Persekutuan yang tidak menang perang
Pada 1240-an, Paus sudah menjangkau Mongol. Komunikasi antara dunia Kekristenan Eropa dan Mongol sempat pasang-surut beberapa kali karena Paus menghendaki para Khan untuk pindah agama.
Kekaisaran Ilkhanat yang menguasai banyak negeri di Persia, menguasai kerajaan-kerjaan Kristen seperti Armenia dan Georgia. Melihat keunggulannya, Ilkhanat tidak memandang aliansi yang hendak dijalin sebagai persahabatan. Mereka memandang kerajaan-kerajaan Kekristenan Eropa layaknya klien.
Ilkhanat begitu terbuka untuk keragaman agama. Banyak para bangsawan dari negeri-negeri Kekristenan yang jatuh segera membawa kabar ke Barat, dan menyatakan bahwa Mongol sangat toleran dengan agama Kristen. Bahkan, Mongol terbuka untuk menjadi sekutu bagi bangsa Eropa.
Bahkan, hubungan Prancis di bawah Louis IX dan Mongol sudah ada pada Perang Salib Ketujuh. Keduanya bertemu, membagi kesempatan agar Prancis menyerang Mamluk dan Mongol ke Bagdad.
Sayangnya, aliansi ini gagal memenangkan perang. Terbukti bagaimana Sultan Qutuz dapat bertahan dalam Perang Salib VII dan mengalahkan Ilkhanat di Ain Jalut.
Raja Louis IX atau lebih dikenal sebagai Santo Louis, mencoba lagi ke Tanah Suci pada Perang Salib VIII (1270). Abaqa Khan yang merupakan Ilkhan kedua, berniat menyokong Prancis untuk mendarat di Palestina.
Anehnya, Louis IX justru malah mendarat di Tunisia dengan memperluas peta peperangan. Hal ini membuat Kekaisaran Ilkhan berada di tempat yang sangat jauh dari posisi Prancis. Ilkhan Mongol pun tidak bisa membantu. Louis IX pun pun meninggal dunia karena penyakit sehingga Perang Salib VIII hanya berakhir dengan Perjanjian Tunis dengan Kerajaan Hafsiyun di Tunisia.
Untuk sekali lagi, Ilkhanat Mongol megajak persekutuan dengan Kekristenan Eropa pada 1280an. Persekutuan ini didasari karena Mamluk semakin menjadi ancaman. Kekaisaran Ilkhanat Mongol bahkan kembali gagal dalam Pertempuran Homs tahun 1281.
Ilkhan yang baru, Arghun Khan mengirimkan surat persekutuan ke Paus melalui penjelajah dan pendeta Kristen asal Tiongkok, Bar Sauma. Tawaran aliansi juga diberikan kepada Raja Prancis Philip IV.
Aliansi ini tidak begitu kuat karena Prancis tengah sibuk bertikai dengan Inggris. Philip IV pun tidak begitu berkontribusi nyata walau menaruh niat ke Tanah Suci. Kekuatan Kekristenan Eropa pun tidak mewujudkannya karena sedang ada pergantian Paus. Paus bahkan menghendaki Ilkhan untuk berpindah agama.
Meski tidak ada lagi persekutuan yang nyata, Ilkhanat dan Prancis masih menjalin kontak hingga 1330-an. Wabah menyebabkan kedua kekuatan terputus, terutama sejak Kerajaan Tentara Salib di Yerusalem direbut pada 1291 oleh Mamluk. Hubungan dunia Timur dan Barat semasa Abad Pertengahan hanya tinggal cerita.