Bagaimana Pasukan Mamluk Mengalahkan Kekaisaran Mongol yang Kuat?

By Tri Wahyu Prasetyo, Minggu, 19 November 2023 | 11:00 WIB
Ilustrasi duel prajurit Mamluk melawan Mongol. (Via alchetron)

Nationalgeographic.co.id—Pada tahun 1247, utusan kepausan John dari Plano Carpini pulang dengan perasaan khawatir. Ia menyatakan bahwa bangsa Mongol sangat berbahaya dan mereka sedang mempersiapkan diri untuk menyerang Eropa untuk kedua kalinya.

"Ini adalah niat bangsa Tartar [Mongol] untuk menaklukkan seluruh dunia jika mereka bisa," kata Carpini, yang telah melintasi sebagian besar wilayah kekaisaran Mongol selama dua tahun.

Pada tahun 1236, setelah membangun kekaisaran yang luas–membentang dari Laut Jepang hingga ke tepi Laut Kaspia–bangsa Mongol telah memulai serangan baru ke Eurasia bagian barat.

Kota demi kota jatuh ke tangan mereka, termasuk Kyiv pada tahun 1240. "Setelah mengepung kota itu untuk waktu yang lama," lapor Carpini, "mereka merebutnya dan membunuh para penduduknya.

Pada 1241, bangsa Mongol melancarkan invasi ke kerajaan Hongaria dan Polandia. Serangan ini menyebabkan kehancuran hebat dan mengalahkan semua pasukan yang dikirim untuk melawan mereka.

Dengan pasukan yang maju di pinggiran Wina, Eropa barat tampaknya berada di bawah kekuasaan raksasa Mongol. Namun, tiba-tiba mereka menghilang. Mimpi terburuk Kekristenan telah terhindarkan. Tapi tidak untuk waktu yang lama.

“Kaisar Mongol, Ogedei Khan, telah meninggal dan pasukannya kembali ke rumah untuk memilih pemimpin baru,” kata Nicholas Morton, seorang profesor di Nottingham Trent University.

Ogedei Khan, khan agung kedua, berhasil memperluas wilayah Kekaisaran Mongol. Kematiannya mengubah segalanya, termasuk invasi ke Eropa. (National Palace Museum in Taipei)

Pada tahun 1247, sebuah serangan baru tampaknya akan segera terjadi. Carpini sepenuhnya menyadari bahwa para penguasa Eropa Barat tidak dapat memberikan banyak pertahanan.

Karena alasan inilah, menurut Morton, Carpini menolak permintaan bangsa Mongol agar ia kembali ke Eropa bersama sekelompok utusan mereka, “ia tidak ingin mereka menyaksikan betapa terpecah belahnya umat Kristen.”

Carpini memiliki banyak alasan untuk mengkhawatirkan nasib Eropa. Bagaimanapun, bangsa Mongol jarang mengalami kekalahan. Mereka sesekali mengalami kemunduran, namun sebagian besar pasukan mereka meraih kemenangan melawan berbagai macam komandan dan peradaban.

Lautan hijau, Mongolia adalah negara berpenduduk paling jarang di dunia, dengan hanya kurang dari tiga juta orang di daratan yang lebih besar dari Alaska. Budaya Mongolia—fisik, bergerak, mandiri, dan bebas—berkembang di padang rumput sini. Ketika orang pindah ke Ulaanbaatar, mereka membawa mentalit (MARK LEONG/NATIONAL GEOGRAPHIC)

Akar kesuksesan bangsa Mongol terletak pada cara hidup mereka. Sebagai bangsa nomaden yang tinggal di padang rumput Asia Tengah, anak-anak mereka belajar berkuda, menembak, dan berburu sejak usia dini.

Bangsa Mongol juga menjadi terkenal dengan siasat militer mereka. Taktik yang paling disukai saat mengepung benteng adalah dengan mendorong sekelompok tahanan ke pertahanan musuh pada gelombang pertama penyerangan.

Para tawanan ini akan menyerap amunisi dan energi para prajurit bertahan musuh sebelum  kemudian serangan utama bangsa Mongol. 

Carpini tak tinggal diam, ia menghabiskan sebagian besar perjalanannya untuk berbicara dengan orang-orang dari seluruh Eurasia. Di tengah-tengah banyak pertanyaan dan percakapannya, ia memiliki satu pertanyaan mendasar: bagaimana bangsa Mongol dapat dihentikan?

Carpini Merancang Strategi

Jadi, dengan kekuatan yang sangat mencolok ini, bagaimana bangsa Mongol bisa dikalahkan? Carpini mengumpulkan banyak teori yang menjanjikan untuk memecahkan teka-teki ini, meskipun hanya beberapa yang masuk akal untuk diterapkan.

Salah satunya adalah ketika Carpini mendengar bahwa bangsa Mongol mengalami masalah ketika melintasi pegunungan. Batu-batu besar di lokasi tersebut memiliki kekuatan magnet yang membuat para prajurit mongol tak bisa mengarahkan anak panahnya.

Utusan paus dengan tekun mencatat semua cerita ini, tetapi tindakan penanggulangan seperti itu hampir tidak dapat ditiru. Rekomendasinya sendiri lebih bersahaja. 

"Siapa pun yang ingin berperang melawan bangsa Tartar," nasihatnya, "harus memiliki senjata-senjata berikut ini: busur yang kuat dan bagus, busur panah, yang sangat ditakuti oleh mereka, persediaan anak panah yang cukup, kapak yang terbuat dari besi yang kuat, atau kapak perang yang memiliki gagang yang panjang."

Yang tak kalah penting, Carpini menyarankan agar setiap pasukan yang dikirim ke medan perang harus diorganisir dengan cara yang sama seperti pasukan Mongol.

Carpini benar. Mengalahkan bangsa Mongol membutuhkan pasukan dengan kekuatan yang sama dalam perang. Namun, pasukan Kristen tidak akan menjadi pasukan yang membuktikan maksudnya. 

Tugas itu diserahkan kepada kekuatan yang berbasis di Mesir yang mengobarkan perang selama 60 tahun melawan bangsa Mongol, dimulai pada 1260. Kekuatan itu adalah kekaisaran Mamluk.

“Pada tahun 1250, resimen Mamluk telah menjadi kekuatan militer yang tangguh dan, ketika sultan yang berkuasa mengasingkan mereka, mereka bangkit, membunuhnya, dan mengambil alih kekuasaan untuk diri mereka sendiri, mendirikan kesultanan mereka sendiri,” kata Morton.

Bangsa Mongol sekarang menuntut Mesir untuk tunduk secara resmi kepada otoritas mereka, tetapi Mamluk menolak. Mereka mengeksekusi utusan Mongol dan mempersiapkan pasukan mereka.

Ini menandai dimulainya sebuah konflik–konflik yang mengubah sejarah. Karena, hampir di setiap kesempatan pasukan Mamluk dan Mongol bertemu di medan perang (1260, 1277, 1281, dan 1303), Mamluk-lah yang muncul sebagai pemenang. 

Strategi Pasukan Mamluk

Ilustrasi pasukan Kesultanan Mamluk. (Public Domain/Wikimedia Commons)

Satu hal yang menonjol adalah bahwa Mamluk bertempur dengan cara yang hampir sama dengan lawan-lawan mereka.

Pasukan Mamluk terdiri dari banyak tentara yang dulunya diperbudak. Mereka berasal dari beragam komunitas Turki yang ditaklukkan atau dipindahkan oleh bangsa Mongol di wilayah Laut Hitam. 

Komunitas-komunitas Turki ini mengadopsi gaya hidup serupa dengan bangsa Mongol, menjadikan prajurit Mamluk memiliki keterampilan militer dan gaya hidup nomaden yang sebanding. 

“Akibatnya, pasukan Mamluk dan Mongol yang saling berhadapan di Suriah memiliki kemiripan dalam keahlian berkuda, ketrampilan memanah, serta organisasi militer yang berbasis pada sistem desimal,” kata Morton.

Kesamaan-kesamaan ini secara efektif melumpuhkan keunggulan Mongol. Tapi bagaimana Mamluk melangkah lebih jauh dan mengubah medan perang yang sama rata ini menjadi serangkaian kemenangan di medan perang? 

Salah satu teori yang telah dikemukakan adalah bahwa mereka menikmati keunggulan penting dalam persenjataan. 

Pasukan Mamluk dilengkapi dengan senjata dan tunggangan yang sangat baik. Semuanya dipasok oleh kekayaan komersial dan pertanian Mesir yang cukup besar. Hal inilah yang mengungguli para prajurit Mongol.

Penjelasan yang lebih masuk akal untuk kemenangan Mamluk adalah fenomena "punggung menempel ke dinding". Mereka tidak punya tempat untuk mundur. Mereka harus menang atau mereka akan dihancurkan.