Nationalgeographic.co.id—Meski mamalia identik dengan spesies makhluk hidup yang melahirkan, namun tidak semuanya memiliki fase menopause seperti manusia. Sejauh ini, menopause hanya diketahui pada manusia dan dua jenis paus bergigi (cetacea), yakni paus pembunuh (Orcinus orca) dan paus-pilot sirip-pendek (Globicephala macrorhynchus).
Dengan sedikitnya laporan tentang menopause pada hewan, menjadikan manusia, paus pembunuh, dan paus-pilot sirip-pendek sebagai kasus unik di dunia hewan. Alih-alih sebagai mamalia unik, mungkin karena hanya sedikit penelitian yang membahas fase di mana hormon reproduksi betina menurun di usia tua ini.
Sebuah penelitian baru justru mengungkapkan sebuah pemahaman baru tentang menopause pada spesies lainnya, simpanse. Mengetahui fase ini pada simpanse, kerabat terdekat manusia, juga menjadi wawasan bagaimana organ reproduksi berevolusi.
Oleh para peneliti, laporan tersebut dipublikasikan di jurnal Science pada 27 Oktober 2023, bertajuk "Demographic and hormonal evidence for menopause in wild chimpanzees". Mereka mempelajari bagaimana 185 betina pada kumpulan simpanse liar di Taman Nasional Kibale, Uganda dari tahun 1995 hingga 2016.
“Tidak seorang pun akan berasumsi bahwa [menopause] adalah sesuatu yang pernah diamati pada simpanse,” Brian Wood, salah satu penulis penelitian makalah, antropolog evolusi di University of California, Los Angeles.
“Sekarang kita sudah bisa memahami kondisi ekologi dan sosial yang diperlukan agar hal ini bisa muncul,” lanjutnya, dikutip dari Washington Post.
Simpanse hidup lebih lama pada pascareproduksi.
Menopause, fase alami dari siklus menstruasi, terjadi pada sekitar usia 50 tahun pada manusia. Tim penelitian justru mengungkapkan, “Menopause mengakhiri reproduksi pada usia 50 tahun baik pada manusia maupun simpanse liar."
Pernyataan tersebut menandakan bahwa simpanse juga hidup lebih lama dari invertebrata lain di alam liar. Invertebrata liar lainnya sebagian besar tidak hidup lama setelah mereka tidak bereproduksi lagi.
Sebelumnya, para ilmuwan telah memastikan bahwa simpanse di Taman Nasional Kibale berusia lama. Penelitian sebelumnya memperkirakan bahwa simpanse betina hidup sampai usia tua karena kondisi lingkungan Taman Nasional Kibale menguntungkan harapan hidup.
Pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah. Pasalnya, saat di dalam penangkaran yang memiliki kondisi yang menguntungkan simpanse juga membuat simpanse betina bisa hidup lebih lama.
Namun, menopause adalah kemungkinan baru yang dapat memperpanjang waktu hidup simpanse setelah reproduksi berakhir. Bisa jadi, ungkap tim dalam makalah, kemampuan ini ada pada sepanjang sejarah evolusi simpanse.
Di lingkungan alam liar lain, simpanse tidak diketahui dapat mencapai usia panjang. Para peneliti meyakini penyebabnya adalah aktivitas manusia yang menyebabkan penyakit dan habitat, sehingga mengganggu kelangsungan hidup populasi liar simpanse, termasuk betina di usia tua.
Mengutip dari The Guardian, salah satu penulis studi Kevin Langergraber dari School of Human Evolution and Social Change, Arizona State University mengatakan, "Tidak jelas bagaimana seleksi [alam] dapat mendukung perpanjangan umur melewati titik di mana individu tidak dapat bereproduksi lagi."
Evolusi organ reproduksi betina pada primata
Langergraber mengungkapkan "hipotesis nenek" untuk menjelaskan bagaimana betina hidup lebih lama dalam evolusi primata. Hipotesis ini menyatakan bahwa usia panjang pada betina terjadi karena primata, dalam hal ini simpanse, yang lebih tua untuk menghidup keluarga besarnya.
Meski demikian, kemungkinan ini masih lemah karena dinamika sosial simpanse begitu kompleks. Akan tetapi, Langergraber menekankan bahwa hipotesis ini masih mungkin terjadi untuk mengurangi konflik dengan betina yang lebih muda dalam hal pasangan perkawinan.
Dalam penelitian tersebut, tim menemukan bahwa kemungkinan kemampuan simpanse melahirkan menurun setelah mencapai usia 30 tahun. Ketika menginjak usia di atas 50 tahun, mereka tidak melahirkan sama sekali.
Pada 16 ekor simpanse hidup melampaui usia 50 tahun. Analisis para peneliti menunjukkan bahwa sebagian simpanse betina tersebut berada dalam kondisi pasca-reproduksi.
Temuan ini didapati setelah tim menguji sampel urine dari 66 simpanse betina. Hasilnya mengungkapkan bahwa ada perubahan hormonal seiring bertambahnya usia. Kondisi seperti ini serupa pada manusia ketika mendekati fase menopause.
Penelitian terkait menopause pada simpanse yang masih memiliki kekerabatan nenek moyang dengan manusia, menunjukkan bahwa menopause ada pada primata lain. Agar memahami menopause dalam evolusi manusia, para ilmuwan harus menggali pada spesies primata non-manusia seperti bonobo yang punya kekerabatan lebih dekat dengan simpanse, terang para peneliti.