Jalan Panjang Singkap Misteri Kematian Mumi Rawa dalam Sejarah Dunia

By Sysilia Tanhati, Kamis, 23 November 2023 | 15:00 WIB
Dalam sejarah dunia, bentuk rawa-rawa kerap diasosiasikan dengan hal-hal gaib. Maka, temuan mayat rawa pun kerap dikaitkan dengan hal gaib. (Sven Rosborn)

Nationalgeographic.co.id—Bagi masyarakat Eropa utara di masa lalu, rawa-rawa adalah tempat yang misterius. Ditemukan di hampir seluruh wilayah Eropa utara, rawa dipandang sebagai ruang antara dua dunia.

Rawa terbentuk ketika lahan kering dan badan air saling bertemu. Pertemuan itu menciptakan medan lunak, tidak cair tapi juga tidak padat. Dalam sejarah dunia, bentuk rawa-rawa kerap diasosiasikan dengan hal-hal gaib.

Di masa lalu, masyarakat Eropa menganggap rawa sebagai portal ke dunia lain, tempat dewa dan roh penasaran berdiam. Seiring dengan berjalannya waktu, rawa gambut dipandang sebagai sumber daya alam yang berharga.

Namun “kualitas mistisnya” tidak hilang berkat ribuan tubuh manusia yang muncul dari kedalamannya. Salah satu yang terkenal hingga kini adalah Manusia Tollund.

“Penemuan mayat rawa di Eropa membuat banyak orang terpesona,” ungkap Elizabeth Djinis di laman National Geographic. Penemuan itu pertama kali didokumentasikan pada tahun 1640 di Holstein, Jerman. Sejak itu, sekitar 2.000 jenazah lainnya muncul di lahan basah di Irlandia, Inggris, Jerman, Belanda, Polandia, Skandinavia, dan negara-negara Baltik.

Sebuah studi inovatif yang diterbitkan di jurnal Antiquity memperkirakan jika jumlah sebenarnya bisa jauh lebih tinggi.

Mayat rawa memberikan hubungan nyata dengan masa lalu leluhur yang jauh. Juga berfungsi sebagai pengingat suram akan kehidupan sehari-hari yang keras dari kebanyakan orang.

Melihat sisa-sisa manusia—Manusia Tollund atau Manusia Bocksten—kita tidak bisa tidak membayangkan kehidupan dan penyebab kematian mereka. Apakah mereka yang paling dibenci di antara bangsanya? Apakah mereka dikorbankan untuk menyenangkan para dewa?

Apapun alasannya, mereka menjadi sumber informasi tentang tradisi dan budaya yang berusia 7.000 tahun.

Kekuatan gambut sepanjang sejarah dunia

Sebagian besar tubuh yang ditemukan di rawa terlihat sangat hidup meski mereka sudah meninggal ribuan tahun lalu. Hal ini terjadi berkat kandungan kimia alami yang mencegah pembusukan beberapa jaringan manusia.

Rawa menumpuk lapisan berlumpur yang disebut gambut, yang terbuat dari tanaman dan lumut yang membusuk. Gambut telah digunakan selama berabad-abad sebagai bahan bakar dan pupuk. Kini lahan gambut bahkan dianggap sebagai penyerap karbon yang sangat efisien. Lahan gambut juga menjadi bagian penting dalam upaya melawan perubahan iklim.

Lumut sphagnum adalah komponen utama gambut dan menjadikan rawa-rawa di Eropa utara memiliki sifat pelestarian yang menakjubkan. Lahan basah di utara ini dingin, rendah oksigen, dan sangat asam.

Lingkungan ini dikombinasikan dengan sifat antibiotik dari lumut menciptakan materi untuk mengawetkan struktur kalsifikasi dan keratin tubuh manusia. Seperti tulang, gigi, kulit, rambut, dan kuku.

Kanal lahan gambut, Kelurahan Kameloh Baru, Sabangau, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. (Zika Zakiya)

Sphagnum dapat melepaskan kalsium dari tulang, menjadikannya lunak dan kenyal. Lingkungan perairan juga melestarikan pakaian yang terbuat dari wol atau kulit binatang. Tekstil nabati, seperti linen, tidak akan berfungsi dengan baik seiring berjalannya waktu.

Studi pada tahun 2023 ini merupakan tinjauan skala besar pertama mengenai sisa-sisa manusia dari rawa-rawa tersebut. Penelitian mencakup analisis lebih dari 250 situs dan 1.000 set sisa-sisa. Penguburan telah dilakukan sejak tahun 5200 SM, namun berkembang pesat antara tahun 1000 SM dan 1500 M.

Informasi tentang mayat rawa yang terus berubah

Para sarjana abad ke-19 tidak punya banyak pengetahuan ketika mulai menyelidiki bagaimana mayat-mayat ini bisa berakhir di rawa. Tidak ada catatan tertulis yang mendokumentasikan ritual dan kepercayaan masyarakat pra-melek huruf di wilayah tersebut.

Maka para sarjana awal mengambil informasi dari mana pun mereka dapat menemukannya. Banyak yang sangat bergantung pada tulisan Tacitus, sejarawan Romawi abad pertama Masehi. Catatan Tacitus memberikan informasi interpretasi mereka terhadap situs rawa Zaman Besi.

Meski belum pernah mengunjungi wilayah utara, Tacitus menulis Germania sekitar tahun 98 M. Dengan mengandalkan sumber-dari tangan kedua dan ketiga, ia menggambarkan masyarakat utara dan budayanya.

Karya tersebut memuji kebajikan suku-suku Jermanik. Tacitus ingin mempermalukan orang Romawi atas apa yang dianggapnya sebagai perilaku boros mereka di rumah.

Kondisi mayat berusia sekitar 2.000 tahun ini masih utuh karena terendam dalam rawa-rawa gambut. (Bayu Dwi Mardana)

Tacitus juga menggambarkan tentang kejahatan dan hukuman di antara masyarakat Jerman. Dalam catatannya, menggantung dan menenggelamkan penjahat di rawa merupakan jenis hukuman di masa itu.

Ketergantungan pada Tacitus menghasilkan penjelasan yang penuh warna dan imajinatif untuk kondisi setiap tubuh.

Anggota tubuh yang aneh karena terpelintir dan tengkorak yang menyeringai itu mendukung penafsiran mayat rawa sebagai orang yang dipermalukan. Entah itu pezina, pencuri, dan orang buangan.

Menurut Tacitus, mereka seharusnya dihukum dengan penyiksaan terlebih dahulu, kemudian eksekusi, dan terakhir dibenamkan ke dalam rawa. Banyak dari penjelasan ini bertahan selama beberapa dekade. Informasi tersebut menginspirasi puisi, cerita, dan novel tentang nasib menyedihkan masyarakat rawa di Eropa dalam sejarah dunia.

Menggali penyebab kematian mayat rawa

Penelitian mayat rawa pun mengalami banyak perubahan seiring dengan berkembangnya teknologi selama beberapa dekade. Metode-metode baru, CT scan hingga penanggalan radiokarbon, menciptakan gambaran yang lebih besar dan kompleks mengenai kehidupan dan kematian mereka.

Studi tahun 2023 ini membentuk kembali perbincangan seputar pentingnya ritual terkait dengan mayat rawa ini. Mungkin penilaian ulang terbesar adalah peran kekerasan dalam kematian setiap orang. Begitu banyak jenazah yang diyakini meninggal karena kekerasan, karena kondisi jenazahnya.

Namun tim peneliti hanya dapat secara meyakinkan mengidentifikasi penyebab kematian 57 orang. 45 meninggal karena kekerasan, enam meninggal karena bunuh diri, dan empat karena tenggelam secara tidak sengaja.

Penelitian baru mengonfirmasi penyebab kematian akibat kekerasan pada beberapa individu seperti Manusia Tollund dari Denmark. Konon ia meninggal karena digantung. Cedera pada tubuh lain terungkap sebagai kerusakan postmortem yang disebabkan oleh tekanan dari rawa itu sendiri.

Kerusakan yang tidak disengaja pada tubuh juga disebabkan penggalian. Tulang patah dan tengkorak retak ini dipandang sebagai bukti penyiksaan atau penyerangan.

Identifikasi yang benar mengenai penyebab cedera ini mungkin terasa memuaskan. Di sisi lain, hal ini juga mengundang lebih banyak pertanyaan tentang kematian tersebut.

Seiring kemajuan teknologi, para ilmuwan akan dapat mengumpulkan lebih banyak data dari mayat-mayat rawa ini. Pada akhirnya, ilmuwan berharap bisa mengungkap rahasia-rahasia mereka yang berusia berabad-abad. Namun ketika jawaban muncul, pertanyaan baru pasti akan muncul.