Kisah Marie Louise, Istri Kedua Napoleon Bonaparte yang Tragis

By Tri Wahyu Prasetyo, Selasa, 5 Desember 2023 | 10:05 WIB
Potret Marie Louise, Adipati Parma dan Piacenza. (Giovanni Battista Borghesi/Galleria nazionale di Parma )

Nationalgeographic.co.id—Pada tahun 1810, Marie Louise, seorang bangsawan Habsburg yang berusia 18 tahun, meninggalkan Wina untuk menikahi Napoleon Bonaparte, kaisar Prancis. Beberapa bulan sebelum pernikahan berlangsung, kaisar Prancis ini telah berpisah dari istri pertamanya, Josephine de Beauharnais.

“Tidak ada kandidat yang lebih diinginkan untuk menggantikan Josephine selain Marie-Louise,” tulis Deborah Jay, pada laman History Extra. “Seorang bangsawan wanita Habsburg, kredibilitasnya sempurna.”

Marie Louise merupakan cicit dari permaisuri Maria Theresa dan putri kaisar Francis II dari Kekaisaran Romawi Suci (alias Francis I dari Austria). Ia memiliki hubungan keluarga dengan hampir semua dinasti yang berkuasa di Eropa.

Saat masih gadis, Marie Louise menghabiskan waktunya di istana Habsburg. Ia juga menerima pendidikan secara komprehensif, mulai dari mempelajari bermain piano, gitar, hingga  memahami manajemen hubungan diplomatik. Saat sedang santai serta berada di tengah-tengah orang yang dikenalnya, ia sangat jenaka dan menyenangkan.

Konon, ia tak pernah kagum pada siapa pun. Lantas bagaimana kesannya dengan Napoleon, seseorang yang sangat dikagumi di dunia?

Napoléon Bonaparte (Thinkstockphoto)

Menteri luar negeri Austria, Klemens von Metternich, melihat bahwa pernikahan Napoleon dengan Marie Louise akan menjadi alat yang ampuh untuk menumpas 'perampas Korsika'.

Dengan hati-hati, kata Jay, Metternich “membawa masa depan Marie Louise dengan Napoleon.” Sementara itu, di istana Prancis, “para intrikus mendorong upaya perceraian kaisar.”

Dengan menggunakan akal dan kecerdasannya, Metternich berharap dapat menandingi kejeniusan militer Napoleon dan, tentunya, menahan langkah-langkah berbahayanya.

Namun, Marie Louise tampaknya tidak mendukung pernikahannya dengan Napoleon. Mungkin ia telha menaruh dendam terhadapnya.

Sejak kelahirannya pada bulan Desember 1791, Prancis telah membuat hidup Austria sengsara. Nenek Marie Louise, Ratu Maria Carolina, sangat vokal dalam menyatakan kebenciannya terhadap orang Prancis. Ia terus-menerus mengamuk bahwa mereka semua harus dihancurkan.

Pada tahun 1809, Napoleon telah mengalahkan Austria di seluruh wilayah kekaisarannya, mengurangi wilayah tersebut menjadi seperempat dari ukurannya pada tahun 1792. Dia juga merebut Wina untuk kedua kalinya.

Melihat hal ini, Langkah-langkah drastis diperlukan untuk mencegah keruntuhan monarki Habsburg, dan wilayahnya agar tidak disatukan ke dalam kekaisaran Prancis.

Betapapun tidak menariknya pilihan untuk menikah dengan Napoleon, Marie Louise tahu bahwa ia harus menjalankan tugasnya demi kebaikan negara. 

Pada 11 Maret 1810,Marie Louise akhirnya menikah. Napoleon menunjuk pamannya, Archduke Charles, untuk menggantikannya di altar Gereja Augustinian, sebelah Istana Hofburg di Wina.

Pernikahan Napoleon I dan Marie Louise. (Georges Rouget/ Palace of Versailles )

Pada tanggal 20 Maret 1811, Marie Louise melahirkan raja Roma, pewaris laki-laki yang sangat diharapkan. Sementara Napoleon bersukacita, negara-negara seperti Austria, Rusia, Prusia, dan Inggris merencanakan kematiannya. 

Inggris sangat marah karena Austria telah menciptakan aliansi dengan Prancis dengan menikahkan Marie-Louise dengan Napoleon. Namun, pada akhir 1813, mereka menyadari kebijaksanaan strategi Metternich.

Dengan adanya Marie Louise dan bayinya, kaisar Prancis mulai mengabaikan urusannya. Waktu tak berpihak padanya, terutama ketika ia melakukan kesalahan besar dengan menginvasi Rusia pada Juni 1812.

Napoleon naik pitam ketika mendengar pelanggaran Tsar Aleksandr yang mengizinkan  kapal-kapal dan barang-barang Inggris masuk ke Baltik.

Dalam waktu enam bulan, operasi militer Napoleon di Rusia menyebabkan jumlah pasukannya yang awalnya hampir mencapai satu juta orang, berkurang drastis menjadi hampir 120.000. Selain itu, hancurnya aliansi antara Austria dan Prancis juga menjadi bencana besar bagi pemerintahan Napoleon.

Ayah Marie-Louise, Kaisar Franz, bergabung dengan Rusia untuk berperang melawan menantunya. Pada bulan Maret 1814, Marie Louise berdiri sendiri sebagai penguasa sementara Prancis. Ia harus segera memutuskan apakah harus menghadapi ayahnya dan sekutunya–yang siap untuk berbaris ke Paris–atau melarikan diri ke Lembah Loire.

Sayanganya, Jay menjelaskan, keberanian dan kepahlawanannya tidak akan menolongnya. Terpisah dari Napoleon, ia dan putranya terpaksa kembali ke Wina sebagai pengungsi.

“Setelah melalui perjuangan yang keras, Marie Louise akhirnya mendapatkan wilayah Parma, Piacenza, dan Guastalla yang dijanjikan oleh sekutu untuk mengamankan pengunduran diri suaminya.”

Pada tahun 1816, ia berangkat ke Parma, terpaksa meninggalkan putranya di Wina sebagai sandera atas perilaku baik Napoleon di St Helena. Dengan berbagai programnya, ia mendapatkan kesetiaan oleh para rakyatnya. 

Meskipun demikian, gelombang semangat nasionalis yang dilancarkan Napoleon di semenanjung Italia cukup mengganggu ketenangan Marie Louise.

Sadar bahwa masa kekuasaannya sebagai penguasa asing akan segera berakhir, Marie-Louise berjuang keras mempertahankan kedudukannya sebagai adipati. 

Pengungkapan kehidupan ganda yang terpaksa ia jalani karena perlakuan sekutu dan norma moral pada saat itu mengejutkan Eropa. Rasa malu itu bertambah karena tragedi kematian putranya memicu kontroversi.

Selama pemerintahannya, Marie Louise menolak untuk melakukan tindakan-tindakan yang terlalu represif. Upaya ini mungkin dilakukan untuk menunjukkan kesetiaan atau keterlibatan dalam aspirasi nasional, terutama dalam menghadapi tekanan atau tuntutan dari kelompok patriot.

Namun, upayanya untuk melindungi rakyatnya dari pengadilan politik dan hukuman brutal justru berujung pada pengusiran dari Parma oleh para patriot.