Menjumpai Keharmonisan Budaya Minahasa yang Berkelindan di Sekitar Danau Tondano

By Yussy Maulia, Selasa, 5 Desember 2023 | 15:53 WIB
Makam Tuanku Imam Bonjol terletak di Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa. (Dok. National Geographic Indonesia/Donny Fernando)

Nationalgeographic.co.id – Pada awal 2023, sebuah stasiun televisi swasta nasional menobatkan Sulawesi Utara sebagai provinsi dengan indeks kerukunan beragama tertinggi sekaligus pelopor toleransi dan kerukunan.

Dalam ekspedisi Teroka Tondano pada November 2023, tim National Geographic Indonesia menjumpai keharmonisan budaya yang berkelindan bersama masyarakat Minahasa di sekitar Danau Tondano, Sulawesi Utara tersebut.

Destinasi pertama adalah Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa. Desa ini dipuji indah oleh sejarawan Alfred Russel Wallace dalam bukunya yang berjudul “The Malay Archipelago”.

Desa Lotta menyimpan sepotong sejarah tokoh besar dari Tanah Minangkabau, yaitu Tuanku Imam Bonjol. Di desa itu pula sang pejuang kemerdekaan dimakamkan.

Baca Juga: Minahasa Wakefest 2023 Rampung, Potensi Wisata Olahraga Air di Danau Tondano Merekah

Salah satu juru kunci makam Imam Bonjol, Nurdin Popa, menjelaskan, di dekat makam tersebut terdapat batu yang diyakini sebagai tempat ia salat.

"Dulu belum ada musala, belum ada masjid. Jadi, Imam Bonjol suka salat di atas batu di tengah sungai di antara rimbun pohon bambu dan cemara," kata Nurdin, yang dikutip dari unggahan akun Instagram @natgeoindonesia, Kamis (23/11/2023).

Menurut Nurdin, masyarakat asli Minahasa menerima kehadiran Imam Bonjol dan pengawalnya dengan sangat baik. Selain itu, masyarakat Minahasa punya sikap toleransi yang sangat tinggi terhadap keberadaan suku dan agama lain. Bahkan, ajaran Islam yang disebarkan oleh Imam Bonjol juga diterima baik oleh warga setempat.

Dalam kesempatan terpisah, Budayawan Minahasa Rikson Karundeng mengungkapkan, dalam kehidupan bermasyarakat, orang-orang Minahasa memegang prinsip “torang semua bersaudara” yang artinya “kita semua bersaudara”.

Baca Juga: Selain Potensi Wisata, Danau Tondano Tempat Pelaksanaan Minahasa Wakefest 2023 Juga Punya Fungsi Ekologis

“Ungkapan itu membuat orang Minahasa saling peduli dan tidak suka kekerasan. Alhasil, kami selalu menyambut siapa saja yang datang ke Minahasa dengan terbuka,” jelas Rikson dalam sebuah diskusi bersama tim National Geographic Indonesia.

Harmonisnya kehidupan masyarakat Minahasa juga terasa di kampung-kampung Jawa yang tersebar di wilayah tersebut, seperti Jawa Tondano dan Jawa Tomohon.

Menurut Rikson, kampung-kampung Jawa tersebut dulunya merupakan tempat pengasingan tahanan Belanda. Para tahanan tersebut “dibuang” oleh sekutu Belanda di rawa dekat Danau Tondano.

“Lalu, orang Tondano mengungsikan mereka ke perkampungan mereka. Mereka juga diperlakukan dengan baik, bahkan dihibahkan tanah untuk dimanfaatkan sebagai ladang kehidupan,” ungkap Rikson.

Masyarakat Minahasa juga meyakini jargon yang berbunyi “Sulut sulit disulut”. Jargon ini digunakan oleh masyarakat untuk merespons ketika ada pihak yang mencoba memecah belah mereka.

“Kami tidak suka dibeda-bedakan. Orang Minahasa semua bersaudara apa pun suku, ras, atau agamanya, baik Minahasa Tomohon atau Minahasa dari daerah lain,” kata Rikson.

Baca Juga: Merangkai Manik-manik Keragaman Budaya di Tondano, Tuan Rumah Minahasa Wakefest 2023

Peninggalan Belanda dan Jepang yang dilestarikan

Danau Tondano juga dikelilingi dengan berbagai peninggalan dari masa penjajahan Belanda dan Jepang. Salah satunya adalah Benteng Moraya yang paling populer di kawasan tersebut.

Benteng Moraya dibangun oleh masyarakat Minahasa untuk mempertahankan daerahnya dari serangan Belanda. Di sekitar benteng tersebut, ada kumpulan waruga-waruga atau kuburan kuno yang terbuat dari batu.

Waruga atau kuburan kuno yang terbuat dari batu, salah satu jejak peninggalan sejarah di Minahasa. (Dok. National Geographic Indonesia/Donny Fernando)

Di pegunungan sekitar Danau Tondano juga banyak ditemukan gua-gua peninggalan Jepang. Beberapa gua memiliki kedalaman yang dangkal, sedangkan beberapa lainnya menembus sampai ke bukit layaknya terowongan bercabang.

Selain itu, kedatangan sekutu Belanda dan Jepang di Minahasa juga melahirkan kesenian yang cukup unik, yaitu tari kabasaran. Jika biasanya tarian memiliki kostum, musik, dan nuansa yang menyenangkan, tari kabasaran justru sebaliknya.

“Kabasaran adalah tarian untuk para warane—sebutan bagi orang-orang yang pergi berperang. Penari kabasaran biasanya pakai pakaian yang seram, gerakannya seram, dan ada (membawa) senjata,” cerita Kepala Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Minahasa Sizzy Matindas.

Kabasaran sendiri memiliki arti orang yang kuat dan disegani. Tarian ini menggambarkan kehidupan peperangan di masa lampau, serta perjuangan masyarakat Minahasa dalam mempertahankan daerah mereka.

“Saat ini, kabasaran dijadikan tarian untuk menyambut tamu. Tujuannya agar mereka yang melihat tarian ini merasa aman dan berada dalam perlindungan masyarakat Minahasa,” kata Sizzy.

Baca Juga: Menelusuri Danau Tondano, Lokasi Minahasa Wakefest 2023 yang Punya Kekayaan Alam dan Budaya

Keharmonisan budaya masyarakat Minahasa menjadi salah satu pesona yang dipamerkan kepada dunia melalui Minahasa Wakefest 2023.

Untuk diketahui, kompetisi olahraga air berskala internasional tersebut digelar di Danau Tondano pada Kamis (23/11/2023) sampai Minggu (26/11/2023).

Ketua Panitia Minahasa Wakefest 2023 Rio Dondokambey mengatakan bahwa kepercayaan International Waterski and Wakeboard Federation (IWWF) terhadap Kabupaten Minahasa sebagai tempat penyelenggaraan acara merupakan sebuah kehormatan.

“Ini acara yang satu paket komplet. Acara sport-nya sukses, kami juga dapat mempromosikan wisata Minahasa. Kami memilih tema ‘Lake Tondano, Home for Everyone’ adalah karena selling point kami adalah budaya dan masyarakat Minahasa,” kata Rio saat peresmian Minahasa Wakefest 2023, Senin (13/11/2023).