“Perasaan sendirian melawan dunia mendorongnya untuk menunjukkan bahwa ia bisa mengakali orang lain,” ungkap Zamoyski. Ia bekerja keras untuk mencapai kesuksesan dalam kariernya sebagai perwira artileri. Di saat yang sama, ia membaca dengan lahap dan bahkan mencoba menulis esai filosofis dan politik.
Pada tahun 1797, Napoleon terpilih menjadi anggota Institut Perancis. Saat itu ia berusaha membuat sesama anggota terkesan dengan penguasaan mata pelajaran.
Terus mengejar harta
Ketika meninggal pada tahun 1785, ayahnya hanya meninggalkan utang. Napoleon Bonaparte harus menghidupi ibu dan tujuh saudara kandungnya. Semua dibiayai dengan gaji perwiranya.
Daya tariknya untuk menghasilkan uang sempat mengalahkan ambisi militernya. Saat itu, ia berspekulasi mengenai pembelian dan penjualan properti para emigran atau bangsawan yang dipenggal kepalanya.
Napoleon juga mengimpor barang-barang mewah yang sering diselundupkan seperti kopi, gula, dan stoking sutra. Meski tidak suka, namun tekadnya untuk tidak pernah kekurangan uang juga tidak hilang.
Ketika Napoleon berkuasa, dia selalu membawa kaset koin emas. Napoleon juga melihat uang sebagai kunci untuk mencapai tujuan, yaitu mendirikan institusi baru dan membangun pekerjaan umum.
Selama serangan militer pertamanya pada tahun 1796-97, ia dan pasukannya merampas segalanya dari Italia, termasuk karya seni. Dari sana Napoleon menemukan bahwa perang bisa mendatangkan keuntungan. “Setelah itu dia memastikan bahwa setiap serangan militer menghasilkan keuntungan,” tambah Zamoyski.
Takut dianggap lemah
Ketidakamanan seksual dan ketidakpercayaannya terhadap perempuan memperdalam ketidakmampuannya untuk berhubungan dengan orang lain. Alhasil, ketakutan tersebut menghambat hubungan diplomatiknya. Padahal, Napoleon menganggap hubungan diplomatik sebagai pertarungan yang harus ia menangkan.
Kombinasi dari rasa takut dianggap lemah dalam negosiasi dengan keinginannya untuk menguras harta dari pihak yang kalah akhirnya jadi bencana.