Nationalgeographic.co.id—Kebangkitan dan kejatuhan Napoleon Bonaparte adalah salah satu peristiwa yang paling spektakuler dalam sejarah dunia.
Mengangkat dirinya sendiri menjadi kaisar, Napoleon merevolusi institusi militer, hukum, dan pendidikan di Prancis. Ia gagal dalam beberapa serangan militer untuk perluasan wilayah. Oleh karena itu, Napoleon terpaksa turun takhta dan diasingkan.
Apa yang mendorong Napoleon Bonaparte untuk maju? Apakah kejeniusan dan ambisi yang luar biasa atau takdir? Lalu apa yang jadi penyebab kejatuhannya? Kegilaan terhadap kekuasaan, keangkuhan, atau takdir?
“Kepribadian menjadi salah satu penyebab kejatuhan Napoleon Bonaparte dalam sejarah dunia,” tulis Adam Zamoyski di laman History.
Melihat dari dekat di balik potret heroik nan gagah, terungkap beberapa hal mengejutkan tentang pria yang hebat itu.
Ada sejumlah kerumitan yang dideritanya, termasuk inferioritas kelas sosial, ketidakamanan akan harta, kecemburuan intelektual, kecemasan seksual, serta kecanggungan sosial. Napoleon juga dikenal sebagai pemimpin yang sangat sensitif terhadap kritik.
Secara keseluruhan, sifat-sifat ini mendorong ambisinya yang besar, melemahkan usahanya, dan pada akhirnya melumpuhkan warisan sejarahnya.
Bertekad untuk mendaki kelas sosial
Napoleon Bonaparte berasal dari keluarga elite di kota pelabuhan Ajaccio, Prancis. Namun mereka jauh dari kata kaya. Keluarganya hidup hemat dan harus tinggal berdesakan di beberapa kamar di sebuah rumah reyot.
Ayahnya, seorang yang sombong, berhasil memperoleh status bangsawan dan memiliki ambisi besar bagi putra-putranya. Tumbuh di tengah keluarga yang penuh ambisi, Napoleon pun bertekad untuk mendaki kelas sosial.
Napoleon menjadi sangat sadar akan hambatan sosial ketika, pada usia 9 tahun, masuk akademi militer di Brienne. Asal-usulnya, bahasa Prancis yang rumit (dia tumbuh dengan bahasa Italia) dan status bangsawan yang meragukan membuatnya jadi bahan ejekan.
Meskipun punya beberapa teman, Napoleon terus menjauhkan diri dari orang-orang di sekitarnya dengan arogansi defensif yang tajam.
“Perasaan sendirian melawan dunia mendorongnya untuk menunjukkan bahwa ia bisa mengakali orang lain,” ungkap Zamoyski. Ia bekerja keras untuk mencapai kesuksesan dalam kariernya sebagai perwira artileri. Di saat yang sama, ia membaca dengan lahap dan bahkan mencoba menulis esai filosofis dan politik.
Pada tahun 1797, Napoleon terpilih menjadi anggota Institut Perancis. Saat itu ia berusaha membuat sesama anggota terkesan dengan penguasaan mata pelajaran.
Terus mengejar harta
Ketika meninggal pada tahun 1785, ayahnya hanya meninggalkan utang. Napoleon Bonaparte harus menghidupi ibu dan tujuh saudara kandungnya. Semua dibiayai dengan gaji perwiranya.
Daya tariknya untuk menghasilkan uang sempat mengalahkan ambisi militernya. Saat itu, ia berspekulasi mengenai pembelian dan penjualan properti para emigran atau bangsawan yang dipenggal kepalanya.
Napoleon juga mengimpor barang-barang mewah yang sering diselundupkan seperti kopi, gula, dan stoking sutra. Meski tidak suka, namun tekadnya untuk tidak pernah kekurangan uang juga tidak hilang.
Ketika Napoleon berkuasa, dia selalu membawa kaset koin emas. Napoleon juga melihat uang sebagai kunci untuk mencapai tujuan, yaitu mendirikan institusi baru dan membangun pekerjaan umum.
Selama serangan militer pertamanya pada tahun 1796-97, ia dan pasukannya merampas segalanya dari Italia, termasuk karya seni. Dari sana Napoleon menemukan bahwa perang bisa mendatangkan keuntungan. “Setelah itu dia memastikan bahwa setiap serangan militer menghasilkan keuntungan,” tambah Zamoyski.
Takut dianggap lemah
Ketidakamanan seksual dan ketidakpercayaannya terhadap perempuan memperdalam ketidakmampuannya untuk berhubungan dengan orang lain. Alhasil, ketakutan tersebut menghambat hubungan diplomatiknya. Padahal, Napoleon menganggap hubungan diplomatik sebagai pertarungan yang harus ia menangkan.
Kombinasi dari rasa takut dianggap lemah dalam negosiasi dengan keinginannya untuk menguras harta dari pihak yang kalah akhirnya jadi bencana.
Dia melakukan tawar-menawar yang keras dan memalukan dengan Austria pada tahun 1805. Hal ini membuat Austria terpaksa berusaha merebut kembali beberapa provinsi yang hilang dan mereka berperang lagi pada 1809. Meskipun Napoleon berhasil mengalahkan Austria lagi, peristiwa tersebut menghalanginya untuk menenangkan Spanyol.
Sensitif terhadap kritik dan rentan terhadap promosi diri
Upaya menaiki kelas sosialnya dimulai pada musim semi tahun 1796. Saat itu Napoleon Bonaparte diberi komando Angkatan Darat Italia. Mereka adalah sekelompok rakyat jelata yang menyedihkan, bersenjata buruk, dan kekurangan makanan.
Napoleon membuat mereka bugar dengan kombinasi kemenangan dan sanjungan. Ia juga mengirim buletin palsu kembali ke Paris yang membesar-besarkan pentingnya setiap pertempuran kecil. Ia seolah memuji keberanian pasukannya dan menonjolkan kecemerlangan dirinya.
Napoleon perlu membuat pemerintah percaya bahwa dia sangat diperlukan, namun dia juga merasa perlu untuk meningkatkan prestise dirinya. Dalam beberapa bulan dia berhasil meyakinkan pasukannya, pemerintah dan opini publik bahwa dia adalah pribadi yang luar biasa.
Dia terus membangun citra ini dengan sangat sukses. Napoleon bahkan bisa menunjukkan bahwa ia adalah penyelamat bangsa yang sudah ditakdirkan. Hal ini memungkinkan dia untuk merebut kekuasaan dan mulai membangun kembali Prancis dari reruntuhan revolusi.
Namun rasa tidak aman yang ia miliki membuatnya sangat sensitif terhadap kritik apa pun. Napoleon telah memegang kekuasaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tapi ia terus berupaya membangun citranya. Hal ini dilakukan dengan menyensor pers dan menyingkirkan mereka yang kritis di dewan legislatif.
Napoleon sangat marah pada pers Inggris, yang menerbitkan artikel-artikel keji yang membahas asal-usul rendahan dan perilaku buruk keluarganya. Terutama pada kartunis seperti Rowlandson yang menggambarkannya sebagai badut.
Semakin tinggi Napoleon naik, semakin dia merasa perlu untuk memperkuat citranya. Ia menampilkan kemegahan kekaisaran, yang tidak membuat siapa pun terkesan. “Seiring berjalannya waktu, bahkan kemenangan militernya pun mulai membuat rakyatnya bosan,” ujar Zamoyski.
Kebutuhan untuk menunjukkan kekuatan, apa pun risikonya
Ketika Czar Alexander mulai menentangnya, Napoleon Bonaparte merasa sangat terancam. Maka ia mengumpulkan pasukan terbesar di dunia yang pernah ada dalam upaya untuk membuatnya mundur.
Namun, hal itu tidak terjadi dan konsekuensinya adalah invasi naas ke Rusia. Para menteri dan pejabatnya memintanya untuk berdamai dengan cara terbaik, namun dia merasa tidak bisa melakukannya.
Saat Napoleon Bonaparte mundur dari Moskow, sekelompok jenderal mencoba merebut kekuasaan dengan mengumumkan bahwa dia telah terbunuh dalam pertempuran. Plotnya gagal, tetapi Napoleon mengungkapkan bahwa seluruh bangunan kejayaan kekaisarannya terbuat dari tanah liat.
Saat mendengar kematiannya, tidak ada seorang pun yang bereaksi seolah-olah dia adalah seorang kaisar sejati. Tidak ada yang mengatakan: “Kaisar sudah mati, panjang umur Kaisar”. Bahkan rakyat pun tidak menyatakan putranya untuk naik takhta.
Hal ini merusak kredibilitasnya di matanya sendiri. Selama kampanye tahun 1813 dan 1814, ia berperang di tiga front melawan seluruh Eropa.
Saat itu Napoleon Bonaparte berulang kali menolak kesempatan untuk berdamai dan menyelamatkan tahtanya. Ia merasa tidak dapat memberikan konsesi yang diperlukan.
“Penguasa, yang lahir di atas takhta, mampu membiarkan dirinya dikalahkan 20 kali dan masih kembali ke ibu kota mereka. Saya tidak bisa, karena saya tentara parvenu,” katanya kepada Kanselir Austria Pangeran Metternich.
Napoleon Bonaparte terus berjuang dalam pertempuran yang sudah lama hilang. Ia merasa putus asa untuk mendapatkan kemenangan gemilang. Jika berhasil meraih kemenangan, Napoleon yakin hal itu dapat menebus harga dirinya yang sangat rendah.
Ironisnya, hanya setelah ia kehilangan tahtanya dan tidak mendapat kehormatan, barulah ia berhasil memulihkan takhta. Ia berhasil menunjukkan citra keagungan dalam kekalahan. Hal yang membuat orang terpesona hingga kini.