Sejarah Dunia: Kepribadian Napoleon Bonaparte Jadi Sumber Petaka

By Sysilia Tanhati, Rabu, 6 Desember 2023 | 14:00 WIB
Kebangkitan dan kejatuhan Napoleon Bonaparte adalah salah satu peristiwa yang paling spektakuler dalam sejarah dunia. Apa yang mendorong Napoleon Bonaparte untuk maju? Apakah kejeniusan dan ambisi yang luar biasa atau takdir? Lalu apa yang jadi penyebab kejatuhannya? Kegilaan terhadap kekuasaan, keangkuhan, atau takdir? (Joseph Chabord)

Dia melakukan tawar-menawar yang keras dan memalukan dengan Austria pada tahun 1805. Hal ini membuat Austria terpaksa berusaha merebut kembali beberapa provinsi yang hilang dan mereka berperang lagi pada 1809. Meskipun Napoleon berhasil mengalahkan Austria lagi, peristiwa tersebut menghalanginya untuk menenangkan Spanyol.

Sensitif terhadap kritik dan rentan terhadap promosi diri

Upaya menaiki kelas sosialnya dimulai pada musim semi tahun 1796. Saat itu Napoleon Bonaparte diberi komando Angkatan Darat Italia. Mereka adalah sekelompok rakyat jelata yang menyedihkan, bersenjata buruk, dan kekurangan makanan.

Napoleon membuat mereka bugar dengan kombinasi kemenangan dan sanjungan. Ia juga mengirim buletin palsu kembali ke Paris yang membesar-besarkan pentingnya setiap pertempuran kecil. Ia seolah memuji keberanian pasukannya dan menonjolkan kecemerlangan dirinya.

Napoleon perlu membuat pemerintah percaya bahwa dia sangat diperlukan, namun dia juga merasa perlu untuk meningkatkan prestise dirinya. Dalam beberapa bulan dia berhasil meyakinkan pasukannya, pemerintah dan opini publik bahwa dia adalah pribadi yang luar biasa.

Dia terus membangun citra ini dengan sangat sukses. Napoleon bahkan bisa menunjukkan bahwa ia adalah penyelamat bangsa yang sudah ditakdirkan. Hal ini memungkinkan dia untuk merebut kekuasaan dan mulai membangun kembali Prancis dari reruntuhan revolusi.

Namun rasa tidak aman yang ia miliki membuatnya sangat sensitif terhadap kritik apa pun. Napoleon telah memegang kekuasaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tapi ia terus berupaya membangun citranya. Hal ini dilakukan dengan menyensor pers dan menyingkirkan mereka yang kritis di dewan legislatif.

Napoleon sangat marah pada pers Inggris, yang menerbitkan artikel-artikel keji yang membahas asal-usul rendahan dan perilaku buruk keluarganya. Terutama pada kartunis seperti Rowlandson yang menggambarkannya sebagai badut.

Semakin tinggi Napoleon naik, semakin dia merasa perlu untuk memperkuat citranya. Ia menampilkan kemegahan kekaisaran, yang tidak membuat siapa pun terkesan. “Seiring berjalannya waktu, bahkan kemenangan militernya pun mulai membuat rakyatnya bosan,” ujar Zamoyski.

Kebutuhan untuk menunjukkan kekuatan, apa pun risikonya

Ketika Czar Alexander mulai menentangnya, Napoleon Bonaparte merasa sangat terancam. Maka ia mengumpulkan pasukan terbesar di dunia yang pernah ada dalam upaya untuk membuatnya mundur.

Namun, hal itu tidak terjadi dan konsekuensinya adalah invasi naas ke Rusia. Para menteri dan pejabatnya memintanya untuk berdamai dengan cara terbaik, namun dia merasa tidak bisa melakukannya.

Saat Napoleon Bonaparte mundur dari Moskow, sekelompok jenderal mencoba merebut kekuasaan dengan mengumumkan bahwa dia telah terbunuh dalam pertempuran. Plotnya gagal, tetapi Napoleon mengungkapkan bahwa seluruh bangunan kejayaan kekaisarannya terbuat dari tanah liat.

Saat mendengar kematiannya, tidak ada seorang pun yang bereaksi seolah-olah dia adalah seorang kaisar sejati. Tidak ada yang mengatakan: “Kaisar sudah mati, panjang umur Kaisar”. Bahkan rakyat pun tidak menyatakan putranya untuk naik takhta.

Hal ini merusak kredibilitasnya di matanya sendiri. Selama kampanye tahun 1813 dan 1814, ia berperang di tiga front melawan seluruh Eropa.

Saat itu Napoleon Bonaparte berulang kali menolak kesempatan untuk berdamai dan menyelamatkan tahtanya. Ia merasa tidak dapat memberikan konsesi yang diperlukan.

“Penguasa, yang lahir di atas takhta, mampu membiarkan dirinya dikalahkan 20 kali dan masih kembali ke ibu kota mereka. Saya tidak bisa, karena saya tentara parvenu,” katanya kepada Kanselir Austria Pangeran Metternich.

Napoleon Bonaparte terus berjuang dalam pertempuran yang sudah lama hilang. Ia merasa putus asa untuk mendapatkan kemenangan gemilang. Jika berhasil meraih kemenangan, Napoleon yakin hal itu dapat menebus harga dirinya yang sangat rendah.

Ironisnya, hanya setelah ia kehilangan tahtanya dan tidak mendapat kehormatan, barulah ia berhasil memulihkan takhta. Ia berhasil menunjukkan citra keagungan dalam kekalahan. Hal yang membuat orang terpesona hingga kini.