Ada yang Gila di Desa Ini: Penjaga Segara yang Kini Dihormati

By Utomo Priyambodo, Jumat, 8 Desember 2023 | 08:56 WIB
M. Mansur (52 tahun) sedang duduk di atas sebuah speed boat yang biasa dia gunakan untuk mengawasi laut di Muara Badak. (Josua Marunduh/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Kapal cepat berpenumpang belasan orang itu berhenti di tengah segara. Ternyata M. Mansur (52) sengaja mematikan sementara mesin kapal berdaya 125 PS itu. Di bawah langit biru, badan speed boat yang mesinnya mati itu terombang-ambing oleh ombak perairan Muara Badak. Isi lambung dalam perut penumpangnya—perut saya—bak dikocok dan dikocak.

Mansur kemudian sibuk membetulkan ikatan tali karet di bagian mesin speed boat. Kapal itu mengalami sedikit masalah. “Panbel-nya agak sedikit longgar sehingga perlu dieratkan,” kata M. Fachrian Akbar (21) yang saat itu bertugas mengemudikan speed boat.

Selain itu, Mansur juga memperbaiki pendingin mesin kapal. “Kami berikan air tawarnya,” tutur Rian, sapaan Fachrian, menjelaskan apa yang dilakukan ayahnya.

Sabtu siang menjelang sore pada akhir Juli itu, Mansur bersama rombongan hendak menuju Batu Lampe Besar, sebuah spot terumbu karang di perairan Muara Badak, tempat Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Bina Lestari melakukan transplantasi karang. Mansur adalah ketua Pokmaswas Bina Lestari dan Rian adalah anggota termuda kelompok yang memiliki 15 orang anggota tersebut.

Sebelum merajuk, speed boat itu awalnya meluncur mulus dari Pulau Pangempang yang wilayah administratifnya berlokasi di Desa Tanjung Limau, Kecamatan Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara. Di desa inilah kisah Mansur si gila bermula. Dia dicap “gila” oleh beberapa warga desa setempat karena melakukan aksi yang tidak biasa, atau saat itu belum lumrah di desanya.

Aksi yang Mansur lakukan semata karena kecintaannya terhadap laut. Rasa tresnanya terhadap segara. Rasa pedulinya terhadap keberlanjutan perairan Muara Badak. Dia lahir dan besar di tepi laut itu. Berpuluh-puluh tahun hidup dari laut Muara Badak, Mansur ingin laut itu masih bisa terus menghidupi banyak orang lainnya di masa depan, termasuk anak cucunya.

M. Fachrian Akbar (21 tahun) sedang mengemudikan speed boat menuju Batu Lampe Besar di perairan Muara Badak. (Josua Marunduh/National Geographic Indonesia)

Sejak tahun 1990-an Mansur melakoni pekerjaan penuh waktu sebagai nelayan tangkap di perairan Muara Badak. Saat itulah dia mulai gelisah karena hasil tangkapan dari melautnya terus menurun. Saat melaut, Mansur kerap melihat nelayan-nelayan lain menggunakan alat-alat tangkap yang tak ramah lingkungan. Yang paling dia sebali adalah bom ikan. Dia pernah mengeluh ke nelayan lain soal dampak buruk bom ikannya, tetapi tak digubris bahkan ditentang.

Pada tahun 2000 Mansur beralih profesi menjadi guru olahraga sebuah sekolah dasar negeri di Muara Badak. Dia diterima menjadi guru honorer di sana. Meski menjadi guru, Mansur masih cukup sering melaut untuk berenang dan memancing ikan karena dia merasa hidupnya tak pernah bisa lepas dari laut. “Satu bulan aja enggak lihat laut, bisa sakit,” kata pria berwajah teduh dan berambut cepak itu kepada saya.

Pengalaman Mansur menjadi guru dan keresahannya untuk melindungi laut akhirnya terwadahkan ketika Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Timur mendatangi Kecamatan Muara Badak dan menawarkan warga sekitar untuk membentuk Pokmaswas guna membantu pemerintah mengawasi perairan Muara Badak sekaligus memberikan sosialisasi kepada sesama warga mengenai larangan penggunaan alat tangkap ikan yang tak ramah lingkungan.

Pada 2009 Mansur membentuk Pokmaswas Bina Lestari. Namun, menurut ceritanya, Pokmaswas Bina Lestari baru benar-benar bergiat aktif menjaga segara sejak empat tahun kemudian karena beberapa alasan. Mansur mengenang, mengawasi laut Muara Badak dari praktik penangkapan ikan yang tak ramah lingkungan bukanlah hal enteng. “Awal-awalnya ketika kami tahun 2013 melakukan pelarangan, kalau ketemu orang, mereka malah mengancam,” tutur Mansur.

“Malah pernah saya mau dibom juga. Dibilangnya, ‘Kita memang berteman, bro, tapi bom ini tidak kenal teman,’” kenang Mansur menuturkan ulang perkataan pelaku pengeboman laut itu.

“Dulu sering ada yang datang tengah malam ke rumah juga, suruh berhenti mengawasi. Tapi ya namanya kami niat baik aja, ya berjalan aja apa yang bisa kami jalani,” lanjutnya lagi.

Pokmaswas Bina Lestari mendapat kewenangan untuk mengawasi perairan Muara Badak dan sekitarnya karena sudah dikukuhkan oleh Kepala Desa Tanjung Limau dan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Timur. Mereka berwenang untuk melaporkan aksi penangkapan ikan ilegal yang mereka lihat dan para pelakunya dapat dikenai hukuman pidana.

Salah satu warga Desa Tanjung Limau yang semula menentang aksi Mansur dalam Pokmaswas Bina Lestari adalah Abbas (49). Abbas juga seorang nelayan. Dia mengaku dulu menentang Mansur karena belum mengerti tujuan kegiatan Pokmaswas Bina Lestari dan menganggap kegiatan itu mengganggu aktivitasnya sebagai nelayan.

“Dulu yang namanya kita nelayan biasa, banyak kan yang dari [Pokmaswas] itu tidak boleh dikerjakan. Misalnya trawl itu enggak dibolehkan,” tutur Abbas kepada saya.

Abbas dulu terbiasa menangkap ikan di Muara Badak menggunakan pukat harimau atau trawl. Ukuran lubang jaring pukat harimau sangat kecil sehingga bisa menjaring apa saja yang dilewatinya termasuk ikan-ikan kecil. Oleh karena itulah, alat tangkap ini telah dilarang karena tidak ramah lingkungan.

Pada akhirnya Abbas sadar bahwa aksi Mansur dalam Pokmaswas Bina Lestari ternyata bertujuan baik. Bahkan, pelarangan penggunaan pukat harimau dan alat tangkap lain yang tak ramah lingkungan ternyata kemudian berdampak baik bagi para nelayan seperti dirinya. Jumlah ikan di perairan Muara Badak jadi lebih berlimpah dan lebih dekat dengan pesisir.

“Namanya dulu kan mancing-mancing ikan itu harus jauh, sekarang sudah agak dekat,” kata Abbas yang akhirnya ikut bergabung menjadi anggota Pokmaswas Bina Lestari sejak tiga tahun terakhir.

Berbeda dengan Abbas yang semula menentang, Alimuddin (37) bisa memahami maksud kegiatan Pokmaswas Bina Lestari sedari awal. Dia langsung mendukung Pokmaswas karena sepakat dengan tujuan baiknya. Seperti Abbas, sebagai nelayan tangkap, dulu Alimuddin juga sempat menggunakan pukat harimau.

Ketika Pokmaswas Bina Lestari melarangnya menggunakan pukat harimau demi keberlanjutan perikanan Muara Badak, Alimuddin paham itu kegiatan yang baik. Sebab, pukat harimau menjaring ikan-ikan kecil sehingga tidak sempat tumbuh besar dan bertelur.

“Kalau misalnya terus-terusan begini, lama-lama ikan kan habis. Apalagi yang kecil-kecilnya itu kan semuanya kena. Kalau kena yang kecil-kecil, artinya mubazir. Soalnya kan enggak ada harganya juga. Jadi betul juga ini yang dibilangin ini. Lama-lama [kalau pakai trawl, ikan] kan habis,” ujar Alimuddin.

Karena tugasnya berisiko dengan konflik dan pergesekan dengan nelayan lain, hingga kini beberapa anggota Pokmaswas menolak identitas mereka dibuka ke publik karena takut mengundang bahaya. Contohnya, seorang anggota Pokmaswas yang sehari-hari berkegiatan di laut. “Dia menyediakan jasa mengantar pemancing. Ngantar pemancing, tetapi sekaligus jadi mata-mata kami di laut,” kata Mansur.

“Jadi kalau ada kapal asing yang nggak dikenal, dia foto, kirim ke kami. Nanti kami yang tindak lanjuti ke laut. Dia sendiri tak mau dikasih tahu identitasnya.”

Pokmaswas memberi insentif kepada para anggota dan pelapor tindak pidana yang rajin memberikan laporan. Insentif itu berupa anggaran untuk internet telepon seluler. “Jadi kami kirimkan paket data itu, jadi dia aktif memberi laporan,” beber Mansur.

Penggunaan teknologi juga telah membantu pokmaswas dalam memberikan efek jera kepada para pelaku penangkapan ikan ilegal. Teknologi menambah efektivitas teguran ketimbang hanya menegur para pelaku secara langsung di atas laut. Misalnya dengan memotret aksi penangkapan ikan ilegal itu dan mengunggah fotonya ke Facebook.

Mansur mengungkapkan, “Itu nanti dari keluarganya juga komen, ‘Sudah, kamu berhenti aja daripada bikin malu.’”

Pokmaswas Bina Lestari adalah satu dari hanya 10 Pokmaswas yang aktif di Provinsi Kalimantan Timur. Paling sedikit dibanding provinsi-provinsi lain di Pulau Kalimantan. Menurut data tahun 2022 dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), ada 193 Pokmaswas yang aktif di seantero Pulau Kalimantan. Yang terbanyak di Provinsi Kalimantan Selatan dengan jumlah 102 kelompok, 10 kali lipat lebih banyak dari jumlah Pokmaswas aktif di Kalimantan Timur.

Jumlah dan persebaran Pokmaswas aktif di seluruh Indonesia tahun 2022. (KKP RI)

Mohamad Ardi Partadisastra, Pengawas Perikanan Muda di Direktorat Pemantauan dan Operasi Armada, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP) KKP, menjelaskan pembentukan Pokmaswas tidak bisa dipaksakan dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. “Inisiatif dari masyarakatnya sendiri. Masyarakatnya punya kesadaran untuk menjaga sumber daya perikanannya,” kata Ardi.

Lebih lanjut Ardi memaparkan bahwa dasar hukum pembentukan Pokmaswas di Indonesia adalah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor: Kep.58/MEN/2001, tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Peraturan itu kemudian diturunkan dan dirincikan ke dalam Perdirjen PSDKP No.5 Tahun 2021 tentang Pembinaan Pokmaswas di Bidang Kelautan dan Perikanan.

Ardi mengatakan jumlah Pokmaswas yang ada di seluruh Indonesia sebenarnya “lebih dari 2.500 kelompok.” Namun, yang aktif memang kurang dari setengahnya. “Prioritas nasionalnya ada 1.100,” tambah Ardi.

"PR-nya itu adalah kalau kami, bagaimana sih untuk meningkatkan bukan lagi kuantitas [menambah jumlah Pokmaswas], ya, tetapi bagaimana meningkatkan kualitasnya.”

Kualitas yang dimaksud Ardi adalah keaktifan dan kemandirian Pokmaswas dalam melakukan kegiatan-kegiatannya. “Pembinaannya yang lebih penting. [Pokmaswas] perlu dibina agar anggotanya lebih aktif,” tegas Ardi. Selain itu, “bagaimana agar dinas provinsi itu bisa membina kelompok agar bisa mandiri sendiri.”

Ardi mengakui bahwa dengan luas laut Indonesia yang mencapai 3,2 juta kilometer persegi, aparat pemerintah tentu takkan sanggup menjaganya sendiri karena keterbatasan personel. Oleh karena itulah, dibentuk sistem pengawasan masyarakat. Ardi mengatakan keberadaan Pokmaswas “sangat bermanfaat.”

“Informasi dari Pokmaswas bisa menjadi bahan untuk operasi kami,” ujarnya.

Mansur senang, setelah adanya Pokmaswas Bina Lestari, kini tingkat penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) di perairan Muara Badak telah menurun hingga 80%. Hal itu diamini juga oleh Muchlis Efendi, dosen di Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Universitas Mulawarman (Unmul).

Muchlis telah menjadi mitra ahli bagi Pokmaswas Bina Lestari sejak 2011, lalu berlanjut pada 2013, dan “kemudian sejak 2014 itu intens lah,” katanya. Dia menuturkan bahwa perannya membantu Pokmaswas adalah di bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Di sisi lain, anggota Pokmaswas juga membantu “mendampingi mahasiswa kami yang PKL (praktik kerja lapangan) dan penelitian.”

“Jadi sama-sama. Saya waktu penelitian juga ditemani oleh Pak Mansur. Jadi Pak Mansur bantu sambil belajar juga,” tutur Muchlis.

Muchlis menjelaskan bahwa menurunnya tingkat illegal fishing di perairan Muara Badak disebabkan oleh meningkatnya pengawasan oleh masyarakat. Sebab, aktivitas masyarakat di laut pada 2023 kini sudah “jauh lebih ramai” dibanding 2011.

“Semakin sering frekuensi kita bergiat ke laut, aktivitas yang dilakukan di sekitarnya segala macam itu, orang [yang mau berbuat kejahatan terhadap laut] pasti akan mikir. Jadi ramaikanlah laut,” pesannya.

Sekarang perairan Muara Badak sudah semakin semarak oleh kegiatan wisata memancing, snorkeling, menyelam, berenang, dan susur laut naik kapal oleh masyarakat. Pantai-pantai di perairan Muara Badak juga ramai dikunjungi banyak orang untuk bertamasya. Selain perikanan, kegiatan penelitian dan penanaman karang juga banyak dilakukan.

Keramaian Pantai Panrita Lopi di Pulau Pangempang, Muara Badak. Setiap malam Minggu, pantai ini akan lebih ramai oleh pengunjung. (Josua Marunduh/National Geographic Indonesia)

Tujuan saya dan tim National Geographic Indonesia menaiki kapal cepat yang tiba-tiba bermasalah dan berhenti di tengah laut ini adalah untuk meninjau salah satu lokasi penanaman karang itu. Namun, seperti yang telah diceritakan di awal, kapal itu merajuk. Mansur terpaksa mematikan mesin kapal dan Rian melepaskan tangannya dari kemudi.

Setelah kapal berhasil diperbaiki, barulah Rian memegang kemudi kembali sampai kapal tiba di Batu Lampe Besar, gugusan besar terumbu karang Muara Badak. Di area itu Rian melakukan aksi selam bebas guna memantau kondisi terumbu karang di dasar laut. Di atas speed boat, Mansur mengangkat dan memperlihatkan kerangka besi yang jadi medium transplantasi karang serta beberapa bibit karang di atasnya, menggambarkan seperti apa bentuk awal terumbu karang sebelum menjadi besar dan cantik di bawah laut.

Pokmaswas Bina Lestari tidak hanya bergerak di bidang pengawasan laut, “tetapi juga melestarikan ekosistem pesisir, seperti penanaman mangrove dan penanaman terumbu karang,” kata Rian si pemuda bertubuh kekar. Batu Lampe Besar yang kami datangi ini merupakan bagian dari wilayah Segitiga Terumbu Karang Indonesia yang membentang dari Kalimantan Timur hingga Papua. Segitiga Terumbu Karang adalah sebutan untuk kawasan laut di bagian barat Samudra Pasifik yang punya keanekaragaman hayati sangat tinggi. Di kawasan ini ditemukan lebih banyak spesies karang dan ikan daripada perairan manapun di bumi.

Muchlis pernah meneliti kondisi terumbu karang di wilayah Gusung Batu Lampe yang sedang ditinjau Rian ini. Hasil risetnya itu tertuang dalam makalah berjudul “Conditions and characteristics of coral reefs in Gusung Batu Lampe, Muara Badak, Kutai Kartanegara, Indonesia” yang telah terbit di jurnal internasional AACL Bioflux pada 2022.

“Data mengenai luas terumbu karang diperoleh dengan teknik snorkeling dan ditandai menggunakan GPS. Selain itu, data mengenai kondisi terumbu karang diambil dari 10 stasiun dengan menggunakan metode LIT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Gusung Batu Lampe terdiri dari 2 klaster yaitu Lampe Besar dengan luas 6,2 hektare dan Lampe Kecil dengan luas 0,4 hektare. Terumbu karang di seluruh stasiun penelitian memiliki status kondisional yang bervariasi dari kategori buruk/rusak hingga sangat baik. Rata-rata status kondisional mereka berada pada kategori sedang,” tulis Muclis dalam makalah tersebut.

“Bentuk kehidupan karang keras yang paling umum adalah non-Acropora coral massive (CM) dan non-Acropora coral encrusting (CE). Stasiun-stasiun yang terletak di Lampe Besar bagian utara mempunyai persentase tutupan terumbu karang yang lebih baik dibandingkan stasiun-stasiun yang berada di bagian selatan. Komunitas karang hidup di Batu Lampe sebagian besar didukung oleh keberadaan koloni karang keras (HC). Secara keseluruhan, dari seluruh stasiun pengamatan ditemukan 43 genera kelompok HC yang termasuk dalam 14 famili. Selain itu, tiga jenis karang dengan jumlah koloni terbanyak adalah Montipora, Porites, dan Acropora. Selain itu, peningkatan jumlah koloni tidak selalu diikuti dengan peningkatan jumlah genera.”

Muchlis mengatakan hasil riset ini kemudian menjadi acuan bagi Pokmaswas Bina Lestari untuk melakukan rehabilitas karang di spot-spot terumbu karang yang rusak atau dalam kondisi buruk. Pokmaswas mendapat dukungan dana untuk melakukan kegiatan transplantasi karang ini dalam beberapa seri. Donaturnya mulai dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur hingga beberapa perusahaan yang beroperasi di sekitar Muara Badak. Hasilnya, transplantasi karang telah berhasil membuat kondisi terumbu karang menjadi lebih baik dan menciptakan ekosistem baru untuk ikan-ikan.

“Itu menunjukkan bahwa berbanding lurus. Bahwa terumbu karang yang lebih bagus, itu ikannya lebih beragam,” ucap Muchlis.

M. Mansur menyodorkan medium transplantasi karang kepada M. Fahcrian Akbar yang siap untuk menyelam di perairan Muara Badak. (Josua Marunduh/National Geographic Indonesia)

Mansur sangat ingat bahwa di masa awal upayanya memperbaiki ekosistem laut dan pesisir, dia juga kerap dibilang sebagai orang gila. Contohnya saat dia dan kelompoknya mulai memperindah pesisir Pulau Pangempang agar lokasi itu bisa menjadi destinasi wisata yang indah.

Kini, pesisir tersebut menjelma tempat wisata bernama Pantai Panrita Lopi dan telah dikunjungi oleh banyak orang setiap harinya, terutama pada akhir pekan.

“Pada saat pertama kami membangun destinasi ini kami dianggap orang gila juga karena yang mengatakan orang masyarakat sini juga, ‘Untuk apa dibagusin di situ, paling yang banyak nanti yang hidung panjang.’ Artinya hidung panjang itu paling bekantan yang bikin ramai,” kenang Mansur.

Lalu saat Mansur dan tim menginisiasi kegiatan transplantasi karang, julukan gila dan omongan miring untuknya terdengar lagi. “Beritanya di kampung itu, ‘Pak Mansur ini nanam terumbu karang, terus bagaimana cara memetiknya (memanennya)?’”

Lambat laun banyak nelayan mulai merasakan manfaat dari transplantasi karang itu. Mereka jadi mendapat hasil ikan lebih banyak di sekitar area terumbu karang yang dahulu ditanami oleh Mansur dan timnya.

Masyarakat kemudian menjadi paham bahwa buah dari transplantasi karang itu adalah melimpahnya keberadaan ikan di sekitar terumbu karang yang selain baik untuk nelayan, juga menarik perhatian para pemancing dan penyelam untuk berwisata di sana. Pemasukan warga sekitar dari sektor pariwisata pun turut terdongkrak.

Mansur juga ingat saat pertama kali menanam pohon mangrove di pesisir pulau. Keesokan harinya pohon-pohon itu habis dicabuti oknum nelayan. “Katanya mengganggu area dia untuk pasang jaring. Jadi kubilang, ‘Ini saya ada plot ada 30 meter kali 15 meter. Tolong jangan diganggu. Saya mau jadikan sampel.’”

Berselang setengah tahun, pohon mangrove itu mulai tumbuh besar. Nelayan yang tadinya anti terhadap penanaman mangrove itu melapor kepada Mansur, “Pak, tadi malam saya ngerengge (menangkap ikan dengan rengge/jaring insang) di situ banyak ikannya. Ternyata ada fungsinya juga mangrove itu.” Akhirnya nelayan itu pun sadar dan mulai menanam mangrove sendiri.

Selain akar-akarnya menjadi habitat ikan, batang dan dahan pohon mangrove itu juga menjadi tempat bermain bekantan di Pulau Pangempang. Sebab, bekantan suka makan buah dan daun mangrove. Alhasil, keberadaan mangrove dan bekantan ini menambah daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke sana.

M. Mansur menunjukkan contoh medium transplantasi karang dan bibit karang yang biasa digunakan Pokmaswas Bina Lestari untuk merehabilitasi spot-spot terumbu karang yang rusak. (Josua Marunduh/National Geographic Indonesia)

Kini, Mansur justru bangga pernah disebut gila. “Makanya dari kata ‘gila’ itu tadi kami ubah ‘gali informasi langsung aksi’,” ujarnya. “Makanya kadang-kadang berbicara di mana-mana kami katakan kami memang orang gila, tapi ‘gali informasi langsung aksi’.”

Muchlis mengapresiasi Mansur dan timnya serta berkomitmen untuk selalu mendukung Pokmaswas Bina Lestari karena peran mereka sangat besar. “Terutama di pengawasan, Karena ujung tombaknya itu mereka. Mereka yang sehari-harinya di lapangan.”

Melibatkan masyarakat dalam menjaga dan melestarikan laut lewat penanaman karang dan mangrove juga amat penting. Sebab, sebuah studi bertajuk “Participation, not penalties: Community involvement and equitable governance contribute to more effective multiuse protected areas” yang terbit di jurnal Science Advances pada Mei 2022 menemukan bahwa biomassa ikan cenderung lebih tinggi di wilayah di mana masyarakat lebih terlibat dalam pengambilan keputusan dan memiliki lebih banyak hak pengelolaan lokal. Studi tersebut berfokus pada empat Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Bentang Laut Kepala Burung Indonesia.

Keterlibatan Mansur dan rekan-rekannya dalam melestarikan perairan Muara Badak tak lepas dari ikatan fisik dan emosi mereka dengan lingkungan mereka sendiri. Mansur mengaku melakukan aksi-aksi gila demi segara itu agar banyak orang di masa depan, terutama anak cucunya, masih bisa melihat dan menikmati keindahan laut dan pesisir Muara Badak beserta biotanya, termasuk terumbu karang, ikan-ikan, mangrove, bekantan, bahkan penyu.

Hal itulah yang kini, untungnya, masih bisa dirasakan oleh Rian sang anak. Sejak masih SMP Rian sudah bisa mengendarai speed boat dan menyelam untuk menikmati laut. “Diajarin alat selam, diajarin nyetir kapal oleh bapak,” kenang Rian senang. Sejak masih SMP pula, persisnya sejak tahun 2017, Rian telah ikut bergabung dengan Pokmaswas yang dipimpin ayahnya itu.

M. Mansur berdiri di atas speed boat yang biasa digunakan Pokmaswas Bina Lestari untuk menjaga laut dari praktik illegal fishing. (Josua Marunduh/National Geographic Indonesia)

Kini, Rian rutin bertugas membantu ayahnya mengawasi segara dari praktik penangkapan ikan yang masih memakai alat ilegal. Misalnya penangkapan ikan yang menggunakan pukat harimau, bom, dan potas atau racun. “Cara membagi waktunya sih setiap Senin sampai Jumat itu waktunya kuliah. Jadi Jumat sore sampai Minggu sore itu waktunya kami keliling dengan Pokmaswas,” ujar Rian yang sekarang sedang menjalani kuliah semester 5 di Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perikanan, FPIK Unmul.

Rian sebagai sang putra telah menyelami betul pemikiran ayahnya dan dia kagum terhadap sang ayah. “Yang dulunya bapak saya itu dianggapnya seperti orang gila, kini justru banyak orang yang menghormatinya,” ucap Rian bangga. Barangkali tak ada pencapaian lebih besar bagi seorang ayah selain mengetahui bahwa anaknya bangga terhadap orang tuanya.

Kebanggaan Rian terhadap ayahnya ini tampaknya bisa membuat Pokmaswas bernapas lega dan panjang. Tak perlu ada rasa kekhawatiran soal regenerasi dan keberlanjutan kegiatan Pokmaswas. Sebab, ketika suatu saat nanti perjuangan Mansur untuk segara harus berhenti karena batas usia hidupnya, ada generasi lebih muda yang tampaknya akan melanjutkan perjuangannya. Demi laut yang lebih berkelanjutan.

-----*Catatan: Judul feature ini terinspirasi dari tajuk film pendek arahan Wregas Bhanuteja yang mengadaptasi cerita pendek karya Eka Kurniawan dengan judul yang sama: Tak Ada yang Gila di Kota Ini.

Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih BumiSisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.