Konon, nama "janji" yang disematkan untuk situs wisata ini punya cerita masa lalu. Dulu kala, beberapa marga Batak saling berselisih perkara lahan. Sampai suatu ketika para raja bersumpah untuk berdamai. Tempat sumpah itu berada di air terjun di dekat tepi Danau Toba yang kemudian dikenal sebagai Air Terjun Janji.
"Di sini cocok, kalau seandainya sehabis bersepeda berendam," kata Akademisi Pariwisata Berkelanjutan Unviersitas Padjadjaran Irwan Tamrin yang juga mitra National Geographic Indonesia. "Cuma ini semua (berbagai situs wisata di Baktiraja) perlu dijahit dalam bentuk perjalanan wisata."
Oleh karena itu, dalam perjalanan kali ini kami bermaksud untuk memetakan potensi wisata. Dengan demikian, rute perjalanan bisa dirajut untuk menawarkan pengalaman pariwisata di Danau Toba yang berbeda dan melibatkan masyarakat lokal.
Rute perjalanan ini juga yang akan menghasilkan standar operasi berwisata di sekitar Danau Toba, termasuk Kecamatan Baktiraja. Rencana ini, kemudian, dibahas bersama BPODT untuk mematangkan gotong-royong antara pemerintah dan masyarakat di sekitar Danau Toba.
Para Raja Batak
Keindahan alam Danau Toba membuat imajinasi saya dan fotogragfer Donny Fernando melayang ke dalam berbagai cerita fiksi fantasi seperti Lord of the Rings dan Game of Thrones. Kedua karya fiksi itu, ketika ditayangkan di layar kaca, menyuguhkan pemandangan yang sebenarnya lebih elok jika syuting di Danau Toba.
Cerita itu mengenai pertumpahan darah untuk menguasai daerah dan harga diri. Ternyata, hal tersebut pernah terjadi di masa-masa silam antara kerajaan-kerajaan kecil masyarakat Batak. Buktinya, Air Terjun Janji diyakini sebagai tempat kesepakatan untuk menghentikan pertikaian tersebut.
Yang tidak kalah menarik mengenai perang antara para raja Batak adalah tempat mereka tinggal. Masing-masing raja atau pemimpin dari marga tinggal di perkampungan tradisional (huta). Kami pun berkunjung ke salah satu perkampungan tua Lumbantonga yang berada di antara rute perjalanan dari Puncak Gonting dan Air Terjun Janji. Kampung ini disebut sebagai Huta Simanalu atau perkampungan asal marga Batak Manalu.
Seperti huta lainnya, Lumbantonga yang tidak muncul di Google Maps ini berbentuk seperti benteng yang terdiri dari 12 rumah bolon. Di setiap sisinya dipagari oleh tembok berbatu dan tersusun rapi yang disebut sebagai parik.
Parik melindungi huta dari ancaman musuh ketika ada pertikaian dengan pihak luar. Pada bagian depannya terdapat harbangan yang merupakan gerbang masuk.
Kondisi parik di Lumbantonga mengenaskan karena sebagian telah dibongkar oleh masyarakat di dalam huta sendiri. Penduduk telah bertumbuh, bahkan sebagian di antaranya bukan hanya marga Manalu yang tinggal. Pertumbuhan penduduk ini membuat dinding dibongkar agar rumah baru yang bergaya modern dibangun, dan membuka jalan bagi warga yang memiliki mobil.