Keagungan Alam Baktiraja, Negeri Para Raja Batak di Selatan Danau Toba

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 14 Desember 2023 | 16:00 WIB
Pemandangan alam di Desa Tipang, Kecamatan Baktiraja, menyuguhkan pesona pariwisata yang kaya di tepi selatan Danau Toba. Tidak jauh dari Bandar Udara Silangit, kecamatan ini menghadirkan beberapa kegiatan pariwisata mulai dari panorama hingga tempat kebudayaan Batak Toba. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Langit begitu cerah di Tipang, sebuah desa di tepi pantai Danau Toba bagian selatan, tepatnya di Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan. Meski cerah dengan matahari begitu terik di pagi hari menjelang siang, semilir udara sejuk justru sangat berkuasa menghindari kulit tertusuk panas sang surya.

"Ini kalau di Jakarta, panasnya minta ampun. Langitnya juga enggak sebiru ini kalau di Jakarta," kata Mahendratta Sambodho atau yang biasa dipanggil Dodot.

Dodot adalah mitra National Geographic Indonesia sebagai Konsultan Pembuatan Standar Operasi dan Prosedur dan Paket Wisata. Perjalanan kali ini bertajuk Trail of the Kings yang dilakukan bersama Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) untuk menelusuri jejak para raja Batak dan menata pariwisata Danau Toba yang bersinergi dengan masyarakat.

Lembah yang Menantang Pengayuh Sepeda

Ketika kami menyambangi panorama Puncak Gonting dan Batu Maranak, terlihat pemandangan Danau Toba yang memesona. Keindahan alam ini terbentuk dari proses geologis yang berlangsung satu juta hingga 74 ribu tahun silam. Kemudian, fitur geografis yang terbentuk dari letusan vulkanik-super Gunung Toba menopang kehidupan manusia.

Sebenarnya, wisata di Kecamatan Baktiraja punya potensi. "Di sini sebenarnya bisa kalau mau diadakan aktivitas bersepeda," kata Dodot.

Jalan yang meliuk-liuk dengan panorama yang memanjakan mata, membuat daerah ini menjadi jalur menantang untuk event sepeda, bahkan untuk kancah internasional. Masukan itu sepertinya menjadi pertimbangan bagi BPODT untuk menghidupkan pariwisata di Baktiraja.

Oleh karena itu, terang Dodot, mungkin pihak pemerintah bisa memulai berinvestasi bagi masyarakat yang ingin terlibat dengan aktivitas pariwisata berupa sarana. Misalnya, bantuan berupa sepeda trail atau sepeda kepada masyarakat yang memiliki homestay atau komunitas.

Rute menuju Puncak Gonting dan Batu Maranak lumayan mendaki dengan jalanan yang telah beraspal. Siapa pun, tentunya, ketika berpelesir ke sekitar Danau Toba akan menjumpai tanjakan. Pasalnya, jika menengok dari histori geologisnya, dataran tinggi dan lembah ini merupakan bagian dari kaldera kuno yang telah hancur lebur.

Letaknya yang berada di dataran tinggi ini juga yang membuat bentang alam sekitar Danau Toba punya banyak sumber mata air dan air terjun yang mengalir ke danau.

Salah satu air terjun yang dapat didatangi secara percuma adalah Air Terjun Janji di pinggir jalan Desa Marbun. Air terjunnya begitu deras, namun kolam di bawahnya cocok untuk siapa pun mendinginkan badan dengan air sejuknya.

Air Terjun Janji di tepi jalan yang tidak jauh dari bibir Danau Toba bukan sekadar pariwisata alam biasa. Pemandian sejuk yang bisa dikunjungi secara percuma ini, konon, merupakan tempat awal para raja Batak berdamai setelah sebelumnya saling bertikai. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Konon, nama "janji" yang disematkan untuk situs wisata ini punya cerita masa lalu. Dulu kala, beberapa marga Batak saling berselisih perkara lahan. Sampai suatu ketika para raja bersumpah untuk berdamai. Tempat sumpah itu berada di air terjun di dekat tepi Danau Toba yang kemudian dikenal sebagai Air Terjun Janji.

"Di sini cocok, kalau seandainya sehabis bersepeda berendam," kata Akademisi Pariwisata Berkelanjutan Unviersitas Padjadjaran Irwan Tamrin yang juga mitra National Geographic Indonesia. "Cuma ini semua (berbagai situs wisata di Baktiraja) perlu dijahit dalam bentuk perjalanan wisata."

Oleh karena itu, dalam perjalanan kali ini kami bermaksud untuk memetakan potensi wisata. Dengan demikian, rute perjalanan bisa dirajut untuk menawarkan pengalaman pariwisata di Danau Toba yang berbeda dan melibatkan masyarakat lokal.

Rute perjalanan ini juga yang akan menghasilkan standar operasi berwisata di sekitar Danau Toba, termasuk Kecamatan Baktiraja. Rencana ini, kemudian, dibahas bersama BPODT untuk mematangkan gotong-royong antara pemerintah dan masyarakat di sekitar Danau Toba.

Para Raja Batak

Keindahan alam Danau Toba membuat imajinasi saya dan fotogragfer Donny Fernando melayang ke dalam berbagai cerita fiksi fantasi seperti Lord of the Rings dan Game of Thrones. Kedua karya fiksi itu, ketika ditayangkan di layar kaca, menyuguhkan pemandangan yang sebenarnya lebih elok jika syuting di Danau Toba.

Cerita itu mengenai pertumpahan darah untuk menguasai daerah dan harga diri. Ternyata, hal tersebut pernah terjadi di masa-masa silam antara kerajaan-kerajaan kecil masyarakat Batak. Buktinya, Air Terjun Janji diyakini sebagai tempat kesepakatan untuk menghentikan pertikaian tersebut.

Resepsi Purba (46) merupakan warga Huta Lumbantonga, kampung asal marga Manalu, yang bekerja sebagai peladang jagung. Setiap harinya, dia melalui harbangan atau gerbang pintu tembok batu keluar-masuk huta. Namun, seiring perkembangan pendududuk, sebagian tembok diruntuhkan. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Yang tidak kalah menarik mengenai perang antara para raja Batak adalah tempat mereka tinggal. Masing-masing raja atau pemimpin dari marga tinggal di perkampungan tradisional (huta). Kami pun berkunjung ke  salah satu perkampungan tua Lumbantonga yang berada di antara rute perjalanan dari Puncak Gonting dan Air Terjun Janji. Kampung ini disebut sebagai Huta Simanalu atau perkampungan asal marga Batak Manalu.

Seperti huta lainnya, Lumbantonga yang tidak muncul di Google Maps ini berbentuk seperti benteng yang terdiri dari 12 rumah bolon. Di setiap sisinya dipagari oleh tembok berbatu dan tersusun rapi yang disebut sebagai parik. 

Parik melindungi huta dari ancaman musuh ketika ada pertikaian dengan pihak luar. Pada bagian depannya terdapat harbangan yang merupakan gerbang masuk.

Kondisi parik di Lumbantonga mengenaskan karena sebagian telah dibongkar oleh masyarakat di dalam huta sendiri. Penduduk telah bertumbuh, bahkan sebagian di antaranya bukan hanya marga Manalu yang tinggal. Pertumbuhan penduduk ini membuat dinding dibongkar agar rumah baru yang bergaya modern dibangun, dan membuka jalan bagi warga yang memiliki mobil.

Kami diajak berkeliling huta bersama BPODT dari huta hingga situs sarkofagus leluhur marga Manalu. Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata, Kabupaten Humbang Hasundutan Nelson Lumban Toruan memimpin rombongan. Dialah yang paling mengerti tentang kebudayaan Batak Toba, dan sempat menjadi tim penyusun buku Kamus Budaya Batak Toba.

"Rumah seperti ini," kata Nelson menunjuk bagian bawah rumah tradisional bolon berupa ruas-ruas kayu "yang bikin tangguh warga dari bencana alam". Dia melanjutkan "Bagian yang menancap [ke bawah tanah] di bawahnya ada batu yang membuat rumah bolon tidak bergoyang kalau ada gempa."

Rumah bolon di Huta Simanalu, Kampung Lumbantonga. Untuk menyokong warga, rumah tradisional khas Batak ini dijadikan rumah singgah bagi wisatawan yang ingin merasakan langsung gaya hidup tradisional. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Arsitektur ini merupakan sains masyarakat tradisional masyarakat Batak di sekitar Danau Toba untuk memitigasi bencana. Mereka menyadari bahwa Danau Toba merupakan kawasan aktif sampai hari ini.

Tidak jarang beberapa gempa bumi pernah terjadi. Tanah pun pernah longsor secara tiba-tiba yang diperkirakan adanya aktivitas bumi masih berlangsung di balik tebing-tebingnya yang megah.

Rumah bolon di Kampung Lumbantonga ini memang milik masyarakat yang dikelola bersama. Kini, fungsi rumah bolon dijadikan sebagai penginapan rumah singgah untuk wisatawan yang menginginkan pengalaman hidup ala masyarakat Batak Toba.

Walau masyarakat Batak tidak lagi tinggal di rumah bolon dan tembok pemisah mereka runtuh, setidaknya mereka kini memiliki harta berharga bersama: Danau Toba. Kebersamaan mereka sebagai masyarakat Batak telah dipayungi sejak Dinasti Sisingamangaraja dari Bakkara berkuasa. 

Pada paruh akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Sisingamangaraja XII menjadi pimpinan masyarakat Batak di Danau Toba untuk bersatu melawan kolonialisme Belanda. Sayangnya, sang raja wafat pada 1907 dalam gerilya bersama anak-anaknya.