Kami diajak berkeliling huta bersama BPODT dari huta hingga situs sarkofagus leluhur marga Manalu. Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata, Kabupaten Humbang Hasundutan Nelson Lumban Toruan memimpin rombongan. Dialah yang paling mengerti tentang kebudayaan Batak Toba, dan sempat menjadi tim penyusun buku Kamus Budaya Batak Toba.
"Rumah seperti ini," kata Nelson menunjuk bagian bawah rumah tradisional bolon berupa ruas-ruas kayu "yang bikin tangguh warga dari bencana alam". Dia melanjutkan "Bagian yang menancap [ke bawah tanah] di bawahnya ada batu yang membuat rumah bolon tidak bergoyang kalau ada gempa."
Arsitektur ini merupakan sains masyarakat tradisional masyarakat Batak di sekitar Danau Toba untuk memitigasi bencana. Mereka menyadari bahwa Danau Toba merupakan kawasan aktif sampai hari ini.
Tidak jarang beberapa gempa bumi pernah terjadi. Tanah pun pernah longsor secara tiba-tiba yang diperkirakan adanya aktivitas bumi masih berlangsung di balik tebing-tebingnya yang megah.
Rumah bolon di Kampung Lumbantonga ini memang milik masyarakat yang dikelola bersama. Kini, fungsi rumah bolon dijadikan sebagai penginapan rumah singgah untuk wisatawan yang menginginkan pengalaman hidup ala masyarakat Batak Toba.
Walau masyarakat Batak tidak lagi tinggal di rumah bolon dan tembok pemisah mereka runtuh, setidaknya mereka kini memiliki harta berharga bersama: Danau Toba. Kebersamaan mereka sebagai masyarakat Batak telah dipayungi sejak Dinasti Sisingamangaraja dari Bakkara berkuasa.
Pada paruh akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Sisingamangaraja XII menjadi pimpinan masyarakat Batak di Danau Toba untuk bersatu melawan kolonialisme Belanda. Sayangnya, sang raja wafat pada 1907 dalam gerilya bersama anak-anaknya.