Mengapa Filsuf Socrates Tidak Percaya pada Sistem Demokrasi?

By Tri Wahyu Prasetyo, Sabtu, 16 Desember 2023 | 20:00 WIB
Socrates adalah bapak filsafat barat berasal dari Yunani. Dia adalah sosok yang menkritik demokrasi di Athena. (Edgar Serrano)

Nationalgeographic.co.id – Saat ini banyak orang yang mungkin mengira bahwa filsuf Socrates mendukung demokrasi. Bukan tanpa sebab, bagaimanapun, Athena–kota Socrates tinggal–adalah tempat kelahiran demokrasi.

Namun faktanya, filsuf Athena ini justru menentang demokrasi sebagai sistem pemerintahan. Bahkan menurut Philip Chryspoulos, dilansir dari laman Greek Reporter, Socrate justru “lebih condong pada monarki Sparta.”

Semasa Socrates hidup, Pericles adalah sosok negarawan yang terpilih. Ia dipuji oleh warga Athena karena dianggap telah memberikan kebebasan kepada mereka melalui sistem demokrasi yang Pericles dukung dan promosikan.

Menurut Pericles, demokrasi Athena setara dengan kebebasan. Tidak seperti di negara kota lainnya, demokrasi Athena tidak melarang seseorang untuk memulai karier politik.

Bahkan, Philip menjelaskan “orang-orang dengan status sosial yang lebih rendah pun memiliki kesempatan untuk menduduki jabatan publik.”

Bagi seorang filsuf Athena yang berpikiran luas seperti Socrates, demokrasi boleh jadi adalah sesuatu yang ideal. Namun, kenyataannya tidak demikian.

Gagasan Socrates tentang Penguasa

The Republic karya Plato–yang berisi pandangan Socrates tentang demokrasi–menjabarkan perspektif sang filsuf tentang bagaimana seharusnya seorang penguasa dan bagaimana ia bisa berkuasa.

Bagi Socrates, seorang penguasa haruslah orang yang dipilih bukan hanya karena dia populer. Sebaliknya, keahlian, kebajikan, pengetahuan, dan pemahaman yang mendalam tentang tugas-tugas pemerintahan adalah hal-hal yang esensial dalam memilih seorang penguasa yang tepat.

Socrates percaya bahwa tidak masuk akal jika sembarang warga negara diberi kesempatan untuk memerintah sebuah negara. Hal ini, menurut Socrates, berarti bahwa orang yang tidak kompeten pun dapat berpotensi untuk memerintah jika dipilih oleh warga negara.

Karena alasan tersebutlah, Socrates mengagumi monarki Sparta. Dia percaya bahwa Sparta adalah negara kota yang paling baik.

“Filsuf besar ini percaya bahwa demokrasi memberikan kesempatan kepada para demagog untuk menyesatkan orang dengan menarik emosi mereka daripada logika mereka dan naik ke tampuk kekuasaan tanpa pantas melakukannya,” kata Philip.

Menurut Socrates, hasutan merupakan ancaman besar bagi keamanan dan kemakmuran masyarakat demokratis. Dia percaya pada bentuk pemerintahan yang bertanggung jawab, yang didasarkan pada evaluasi yang cermat terhadap fakta dan pencarian kebenaran.

Pada masa Socrates, majelis demokratis adalah arena di mana retorika yang tidak dibatasi berkuasa tanpa bertanggung jawab terhadap fakta dan realitas. Para orator yang berpendidikan lebih banyak mengendalikan emosi audiens daripada mempengaruhi logika mereka.

Baginya, demokrasi akan tunduk pada pengaruh para demagog yang memangsa emosi dan bias orang banyak.

Demagog, Manipulator, dan Pemikiran Socrates tentang Demokrasi

Munculnya para demagog merupakan pertanda adanya masalah genting dalam masyarakat demokratis. Hal ini menandakan kurangnya pendidikan dan tidak adanya pemikiran kritis di kalangan masyarakat.

Socrates percaya bahwa demokrasi membutuhkan masyarakat yang terdidik dan terinformasi. Masyarakat seperti itulah yang mampu membedakan antara kebenaran dan kepalsuan serta membentuk kesimpulan logis berdasarkan fakta dan alasan.

Dalam buku Plato berjudul The Republic, Socrates bercakap-cakap dengan seorang tokoh bernama Adeimantus. Ia berusaha membuatnya melihat kekurangan yang melekat dalam demokrasi melalui analogi sebuah kapal.

Jika Anda sedang dalam perjalanan melalui laut, tanya Socrates, siapa yang Anda inginkan untuk memutuskan siapa yang bertanggung jawab atas kapal? Sembarang orang atau orang-orang yang berpengalaman dalam pelayaran? 

Tentu saja yang terakhir, kata Adeimantus. Jadi mengapa, jawab Socrates, kita tetap berpikir bahwa setiap orang dewasa layak untuk menilai siapa yang pantas menjadi penguasa sebuah negara?

Dalam pandangan Socrates, memilih adalah sebuah keterampilan dan bukan intuisi acak, oleh karenanya hanya mereka yang berkompeten yang boleh memilih.

Dia bukan seorang elitis, tetapi percaya bahwa orang yang memilih harus melakukannya dengan hati-hati dan kritis. Bagi Socrates, jika para pemilih memberikan suara mereka secara sembarangan, demokrasi akan rentan terhadap hasutan.

“Socrates tahu bahwa seorang demagog yang ingin memenangkan pemilu dapat mengeksploitasi keinginan orang untuk mendapatkan jawaban yang mudah dengan mengatakan apa yang ingin mereka dengar,” jelas Philip.

Ia juga menyoroti bahwa demokrasi rentan terhadap ketidakstabilan dan kekacauan karena adanya perebutan kekuasaan antarkelompok. Baginya, hal ini dapat membahayakan stabilitas dan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem demokratis.

Kematian Socrates melalui Pemungutan Suara Demokratis

Socrates, filsuf Yunani kuno berpengaruh dalam sejarah dunia di akhir kehidupannya begitu tragis. (Wikimedia Commons)

Socrates mengecam sistem demokrasi Athena karena merasa bahwa demokrasi memprioritaskan pendapat mayoritas tanpa mempertimbangkan kebenaran. Ironisnya, dia sendiri diadili dan dihukum mati melalui proses demokratis yang ada di Athena pada masa itu.

Saat itu, Philip menjelaskan, hampir semua warga Athena dapat mengajukan tuntutan terhadap orang lain agar orang tersebut diadili.

“Tuduhan terhadap Socrates tidak jelas dan tidak lengkap, dan tidak ada badan peradilan yang mengawasi prosesnya,” kata Philip.

Secara keseluruhan, Philip menambahkan, “mudah bagi para jaksa penuntut untuk memutarbalikkan kebenaran dan mengekspresikan sentimen mayoritas.”

Sebagai seorang filsuf yang teguh pada prinsip-prinsip etika, Socrates menerima vonis mati dengan menenggak racun hemlock.

Kematian tragisnya adalah hasil dari sistem demokrasi yang belum matang, di mana keadilan sering kali terabaikan demi kepentingan mayoritas. Ini adalah ironi yang menggambarkan kerapuhan dari demokrasi Athena pada masa itu.