Film Studio Ghibli Terbaru Terinspirasi dari Mitologi Kematian Jepang

By Tri Wahyu Prasetyo, Sabtu, 23 Desember 2023 | 14:00 WIB
Sebuah lukisan dari akhir tahun 1700-an menggambarkan seekor burung kuntul yang sedang bertengger di cabang pohon willow. (Via National Geographic)

Ketika kuntul lainnya, seperti aosagi (kuntul biru) atau goisagi (kuntul malam) muncul, kehadiran mereka mungkin lebih terasa sebagai pertanda.

Selena menjelaskan, “bahkan seorang ahli burung menulis sebuah buku yang mengeksplorasi mengapa orang Jepang menganggap kuntul abu-abu (seperti yang ada di film The Boy and the Heron) menyeramkan atau melankolis dibandingkan dengan citra mereka yang lebih positif di daerah lain.”

Sebuah yokai (monster) yang disebut Aosagibi yang berasal dari setidaknya tahun 1700-an menampilkan seekor aosagi atau goisagi. Ia digambarkan dengan hinggap di pohon, bercahaya api biru mengerikan.

Penampakan burung bercahaya tersebut memunculkan spekulasi bahwa makhluk itu mungkin hantu atau makhluk yang bisa berubah bentuk. 

Aosagi membaur dan lebih berkonotasi dengan kegelapan. Saat terbang, mereka menyatu dengan malam dan menghilang, muncul kembali saat hari mulai terang. 

Hal Ini mungkin merupakan petunjuk simbolis tentang siklus kehidupan, tentang bagaimana ketika orang meninggal, mereka kembali ke alam baka.

Aosagibi. (Toriyama Sekien/Wikimedia Commons)

Tema tentang dunia lain berlanjut dalam drama Noh yang berjudul Sagi, berdasarkan cerita dari Kisah Heike, yang ditulis pada tahun 1300-an.

Di dalamnya, Kaisar Daigo melihat seekor burung kuntul dan memerintahkan untuk menangkapnya, kemudian senang saat burung itu menari di depan istana dan membebaskannya untuk terbang.

Para aktor dalam drama ini mengenakan kostum putih untuk melambangkan kesucian burung tersebut, kata Diego Pellecchia, seorang ahli Noh dan profesor di Fakultas Studi Budaya di Kyoto Sangyo University.

Meskipun topeng biasanya diperlukan dalam Noh ketika para aktor memerankan karakter supernatural, dalam pertunjukan yang jarang dilakukan ini, "peran kuntul dilakukan oleh para pemuda atau aktor lanjut usia," kata Pellecchia.

Dia menjelaskan bahwa para pemuda dan orang tua dianggap lebih dekat dengan dunia lain dan lebih mampu mengakses dan menyalurkan dunia spiritual, karena "hal itu hanya bisa dicapai pada tahap akhir kehidupan."

Kuntul banyak muncul dalam cerita rakyat karena mereka adalah karakter yang akrab dengan para petani, yang sering terlihat di ladang. 

Sebuah tarian ritual yang disebut Shirasagi no Mai (Tarian Kuntul Putih) telah dipertunjukkan secara rutin di kuil Sensoji di Tokyo sejak tahun 1652, tetapi berasal dari masa lampau yang lebih jauh lagi, yaitu sekitar abad ke-11.

Dalam pertunjukan ini, para penari yang mengenakan pakaian seperti burung kuntul perlahan-lahan berputar, menukik, dan melangkah tinggi. Setiap gerakan diiringi dengan alunan seruling dan drum yang merdu. 

“Awalnya ditampilkan di Kuil Yasaka di Kyoto, tarian ini dimaksudkan untuk mengusir wabah penyakit,” kata Selena.