Film Studio Ghibli Terbaru Terinspirasi dari Mitologi Kematian Jepang

By Tri Wahyu Prasetyo, Sabtu, 23 Desember 2023 | 14:00 WIB
Sebuah lukisan dari akhir tahun 1700-an menggambarkan seekor burung kuntul yang sedang bertengger di cabang pohon willow. (Via National Geographic)

Nationalgeographic.co.id - Dalam film terbaru Studio Ghibli, The Boy and the Heron, kematian menjadi salah satu tema utamanya. Film ini juga menunjukkan bagaimana kematian dapat menjadi awal dari kehidupan baru.

Seekor burung kuntul muncul sebagai teman petualangan tokoh utama, Mahito. Kuntul yang dapat berbicara itu secara misterius menuntun anak muda 12 tahun dalam sebuah pencarian ibunya yang telah meninggal dalam Perang Pasifik di Jepang.

Film terbaru dari studio peraih Oscar ini mengambil inspirasi dari buku How Do You Live? tahun 1937 dan mitologi burung kuntul selama berabad-abad. 

Poster The Boy and the Heron. (IMDb/The Boy and the Heron)

Faktanya, kuntul telah mengepakkan sayapnya ke dalam literatur, seni, dan mitologi Jepang selama lebih dari satu milenium. Bahkan, keberadaan kuntul dalam mitologi Jepang memiliki makna yang berbeda dibandingkan pada beberapa budaya lain.

Burung Kuntul dalam Mitologi Jepang

Burung kuntul, atau sagi dalam bahasa Jepang, biasanya terlihat berdiri dengan tenang di sungai, rawa-rawa, dan sawah. Ia memiliki bentuk yang mudah dikenali seperti kaki ramping dan panjang, leher melengkung, serta paruh yang runcing.

Penulis Jepang, Selena Takigawa Hoy, menjelaskan bahwa burung ini memiliki makna yang misterius. Ia dikaitkan dengan roh, dewa, kematian, dan hubungan dengan dimensi lain.

“Referensi pertama yang diketahui tentang kuntul dalam literatur Jepang mungkin ada di Kojiki,” kata Selena menukil Mariko Nagai, profesor literatur Jepang di Temple University Jepang.

Kojiki secara harfiah berarti "Catatan Hal-hal Kuno”, yang merupakan karya sastra tertua di Jepang, disusun pada tahun 712. Di dalamnya memuat sejumlah mitos penciptaan yang menjadi tulang punggung agama Shinto dan kisah mitologi di negara Jepang.

Dalam sebuah cerita, ketika seorang pangeran meninggal jauh dari rumah, jiwanya berubah menjadi seekor burung putih. Meskipun tidak secara eksplisit disebut sebagai kuntul, para ahli menduga bahwa hal itu mungkin saja benar. 

Kuntul putih yang memiliki penampilan mencolok, sering digambarkan dalam cerita dan cetakan ukiyo-e (balok kayu). Ia bertindak sebagai pembawa pesan para dewa atau melambangkan kemurnian dan transisi.

Ketika kuntul lainnya, seperti aosagi (kuntul biru) atau goisagi (kuntul malam) muncul, kehadiran mereka mungkin lebih terasa sebagai pertanda.

Selena menjelaskan, “bahkan seorang ahli burung menulis sebuah buku yang mengeksplorasi mengapa orang Jepang menganggap kuntul abu-abu (seperti yang ada di film The Boy and the Heron) menyeramkan atau melankolis dibandingkan dengan citra mereka yang lebih positif di daerah lain.”

Sebuah yokai (monster) yang disebut Aosagibi yang berasal dari setidaknya tahun 1700-an menampilkan seekor aosagi atau goisagi. Ia digambarkan dengan hinggap di pohon, bercahaya api biru mengerikan.

Penampakan burung bercahaya tersebut memunculkan spekulasi bahwa makhluk itu mungkin hantu atau makhluk yang bisa berubah bentuk. 

Aosagi membaur dan lebih berkonotasi dengan kegelapan. Saat terbang, mereka menyatu dengan malam dan menghilang, muncul kembali saat hari mulai terang. 

Hal Ini mungkin merupakan petunjuk simbolis tentang siklus kehidupan, tentang bagaimana ketika orang meninggal, mereka kembali ke alam baka.

Aosagibi. (Toriyama Sekien/Wikimedia Commons)

Tema tentang dunia lain berlanjut dalam drama Noh yang berjudul Sagi, berdasarkan cerita dari Kisah Heike, yang ditulis pada tahun 1300-an.

Di dalamnya, Kaisar Daigo melihat seekor burung kuntul dan memerintahkan untuk menangkapnya, kemudian senang saat burung itu menari di depan istana dan membebaskannya untuk terbang.

Para aktor dalam drama ini mengenakan kostum putih untuk melambangkan kesucian burung tersebut, kata Diego Pellecchia, seorang ahli Noh dan profesor di Fakultas Studi Budaya di Kyoto Sangyo University.

Meskipun topeng biasanya diperlukan dalam Noh ketika para aktor memerankan karakter supernatural, dalam pertunjukan yang jarang dilakukan ini, "peran kuntul dilakukan oleh para pemuda atau aktor lanjut usia," kata Pellecchia.

Dia menjelaskan bahwa para pemuda dan orang tua dianggap lebih dekat dengan dunia lain dan lebih mampu mengakses dan menyalurkan dunia spiritual, karena "hal itu hanya bisa dicapai pada tahap akhir kehidupan."

Kuntul banyak muncul dalam cerita rakyat karena mereka adalah karakter yang akrab dengan para petani, yang sering terlihat di ladang. 

Sebuah tarian ritual yang disebut Shirasagi no Mai (Tarian Kuntul Putih) telah dipertunjukkan secara rutin di kuil Sensoji di Tokyo sejak tahun 1652, tetapi berasal dari masa lampau yang lebih jauh lagi, yaitu sekitar abad ke-11.

Dalam pertunjukan ini, para penari yang mengenakan pakaian seperti burung kuntul perlahan-lahan berputar, menukik, dan melangkah tinggi. Setiap gerakan diiringi dengan alunan seruling dan drum yang merdu. 

“Awalnya ditampilkan di Kuil Yasaka di Kyoto, tarian ini dimaksudkan untuk mengusir wabah penyakit,” kata Selena.