Mengulik Sejarah Dunia, Praktik Kuno Pengorbanan Anak di Kartago

By Hanny Nur Fadhilah, Kamis, 4 Januari 2024 | 18:00 WIB
Dalam catatan sejarah dunia, terdapat praktik kontroversial pengorbanan anak di Kartago. (Archaelogy Magazine)

Nationalgeographic.co.id—Kartago adalah pusat kekuatan maritim kuno dalam sejarah dunia. Tidak hanya dikenal karena kehebatan angkatan lautnya dan pertempuran sengitnya dengan Roma, tetapi juga karena praktik keagamaannya yang mengerikan.

Salah satu praktik yang paling kontroversial adalah dugaan ritual pengorbanan anak. Tapi apakah orang Kartago benar-benar melakukan ritual mengerikan seperti itu?

Kelahiran Kekaisaran Kartago

Kekaisaran Kartago dalam sejarah dunia didirikan pada abad ke-9 SM, pada tahun 814 SM oleh pemukim Fenisia dari kota Tirus. Kartago dengan cepat berkembang menjadi kekuatan maritim dan komersial yang dominan di Mediterania Barat.

Lokasinya yang strategis di pesisir Tunisia modern memungkinkannya mengendalikan jalur perdagangan dan membangun koloni di seluruh Mediterania, dari pesisir Spanyol hingga Sisilia.

Kemakmuran kota ini sebagian besar disebabkan oleh dominasinya dalam perdagangan, khususnya logam, tekstil, dan produk pertanian.

Sepanjang sejarahnya, negara ini menghadapi banyak konflik, terutama dengan negara-negara kota Yunani dan Republik Romawi.

Perang Sisilia, yang berlangsung dari abad ke-6 hingga ke-4 SM, menyaksikan Kartago dan berbagai negara kota Yunani, khususnya Syracuse, bersaing untuk menguasai pulau Sisilia. Konflik-konflik ini memicu Perang Punisia yang lebih terkenal melawan Roma.

Kartago adalah pusat kebudayaan, agama, dan pembelajaran di dunia kuno. Jajaran dewa-dewanya, yang diambil dari akar Fenisia, memainkan peran sentral dalam kehidupan sehari-hari dan upacara sipil.

Arsitektur, kesusastraan dan seni kota ini berpengaruh, meskipun sebagian besar warisan budayanya hilang karena kehancuran total yang dilakukan oleh Roma dan Romanisasi wilayah tersebut.

Ritual Pengorbanan Anak Kartago di Sejarah Dunia

Ritual dan upacara yang terkait dengan pengorbanan anak di Kartago mengungkapkan proses yang sangat religius dan terstruktur.

Inti dari upacara ini adalah tindakan mempersembahkan anak kepada para dewa, terutama kepada Tanit, dewi utama Kartago yang sering dikaitkan dengan kesuburan dan bulan serta Ba'al Hammon, yang dianggap sebagai dewa utama dan sering dikaitkan dengan matahari dan langit. 

Tophet sebagai kawasan suci tempat ritual ini berlangsung diyakini berasal dari kata Ibrani yang berarti "perapian" atau "tempat pemanggangan".

Hal ini menunjukkan metode pengorbanan, anak-anak kemungkinan besar dibakar sebagai persembahan. Daerah Tophet dipilih dengan cermat, seringkali terletak di pinggiran kota atau di daerah terpencil, menekankan kesucian dan eksklusivitas ritual.

Saat memasuki Tophet, orang akan menemukan stelae, monumen batu, banyak di antaranya memuat prasasti yang didedikasikan untuk para dewa.

Prasasti ini sering kali berisi kalimat-kalimat yang dirumuskan, memohon berkah dari para dewa atau mengungkapkan rasa syukur.

Upacara dimulai dengan doa, nyanyian pujian, dan mungkin tarian, dipimpin oleh imam Kartago. Anak itu, yang mengenakan pakaian upacara khusus, kemudian akan ditempatkan di altar yang ditinggikan. 

Dipercaya bahwa tumpukan kayu dinyalakan di bawah altar, dan saat nyala api membesar, anak tersebut akan dilalap api. Abu dan sisa-sisanya kemudian dikumpulkan, ditempatkan di guci khusus, dan dikuburkan di dalam Tophet.

Dalam beberapa kasus, pengorbanan hewan, khususnya domba atau kambing muda, disertai atau bahkan mungkin menggantikan persembahan manusia.

Meskipun alasan sebenarnya dari pengorbanan ini masih menjadi topik perdebatan. Beberapa ahli percaya bahwa pengorbanan tersebut dilakukan pada saat krisis, seperti kekeringan, perang, atau kerusuhan masyarakat, untuk menenangkan para dewa dan meminta bantuan mereka.

Yang lain berpendapat bahwa itu adalah peristiwa kalender biasa yang menandai waktu-waktu penting dalam kalender keagamaan Kartago.

Bukti pengorbanan anak di Kartago adalah situs arkeologi yang dikenal dengan Tophet. Lokasi ini adalah tempat perlindungan khusus yang terletak di pinggiran Kartago dan pemukiman Fenisia dan Punisia lainnya, terutama di Tunisia dan Sardinia modern.

Tophet berisi guci berisi sisa-sisa bayi yang dikremasi, dan dalam beberapa kasus, hewan. Di samping guci-guci ini terdapat stelae, lempengan batu, sering kali bertuliskan prasasti pengabdian kepada para dewa, khususnya kepada Tanit dan Ba'al Hammon, dewa utama jajaran dewa Kartago.

Tulisan-tulisan kuno, terutama karya sejarawan Yunani dan Romawi, memberikan bukti lain. Penulis seperti Diodorus Siculus dan Tertullian menulis kisah tentang orang Kartago yang mengorbankan anak-anak mereka dengan membakar mereka hidup-hidup sebagai persembahan kepada dewa-dewa mereka.

Penggalian baru-baru ini di Tophet utama Carthage, yang terletak di lingkungan Salammbo, telah menambah pemahaman kita.

Banyaknya jumlah guci dan konsistensi usia jenazah menunjukkan adanya praktik ritual. Beberapa jenazah menunjukkan tanda-tanda trauma pra-mortem, yang mengisyaratkan kemungkinan kematian sebagai korban. 

Banyak sejarawan kuno, terutama yang berasal dari tradisi Yunani dan Romawi, menulis tentang dugaan praktik orang Kartago yang mengorbankan anak-anak mereka. 

Kisah-kisah ini sering kali menggambarkan orang Kartago secara negatif, menggambarkan mereka sebagai orang barbar dan sangat kontras dengan orang Yunani dan Romawi yang "beradab".

Mengingat sejarah permusuhan, terutama antara Roma dan Kartago, ada kekhawatiran yang sah bahwa laporan ini mungkin dilebih-lebihkan atau bahkan dibuat-buat untuk memfitnah orang Kartago.

Potensi bias dalam tulisan-tulisan ini telah menyebabkan beberapa sarjana modern mempertanyakan keandalannya dalam catatan sejarah dunia.

Bukti arkeologis dalam catatan sejarah dunia terutama dari suku Tophet, telah menjadi pusat perdebatan. Meskipun keberadaan sisa-sisa bayi dan prasasti tampaknya menunjukkan praktik ritual, beberapa pakar berpendapat bahwa situs-situs tersebut mungkin sekadar tempat pemakaman anak-anak yang meninggal karena sebab alamiah.

Tingginya angka kematian bayi pada zaman dahulu mungkin menjadi penyebab banyaknya sisa-sisa bayi. Selain itu, keberadaan sisa-sisa hewan di beberapa guci telah memunculkan teori bahwa hewan sering kali dijadikan pengganti pengorbanan manusia, atau bahwa Tophets adalah tempat pemakaman campuran bagi manusia dan hewan.