Kisah Mitologi Berperan Penting dalam Pembangunan Kekaisaran Jepang

By Tri Wahyu Prasetyo, Rabu, 10 Januari 2024 | 16:15 WIB
Susanoo, dewa badai, yang karakternya telah menjadi bagian dari karakter Kekaisaran Jepang. (Via Science ABC)

Sistem pendidikan memainkan peran penting dalam menyebarkan pendidikan nasionalisme, menumbuhkan rasa kebanggaan nasional dan identitas kolektif di antara penduduk Jepang.

Dongeng, termasuk kisah populer "Momotaro," dimasukkan ke dalam buku bacaan pendidikan dasar dari tahun 1890-an hingga akhir Perang Dunia II. Buku ini diakui secara luas berkontribusi pada penanaman kesadaran nasional.

Melalui kisah-kisah dalam buku tersebut, Shreya menjelaskan , “anak-anak diperkenalkan pada elemen-elemen fundamental dari tradisi nasional Jepang, seperti yang dipahami dan dipromosikan oleh kepemimpinan politik negara.

Momotaro

Momontaro mengalahkan iblis. (Public Domain/Wikimedia Commons)

Momotaro merupakan cerita rakyat Jepang tentang seorang anak laki-laki yang lahir dari buah persik. Saat tumbuh dewasa, laki-laki ajaib dianggap sebagai pahlawan.

Dengan bantuan teman-teman binatangnya, ia mengalahkan iblis di Pulau Iblis, yang mewakili musuh-musuh asing.

Kisah tersebut, menurut Shreya, menekankan keberanian, kesetiaan, dan kemenangan bagi orang-orang baik.

“Kisah Momotaro, termasuk variasinya ‘Peach Boy’, secara historis telah memainkan berbagai peran yang menjadikannya pilihan ideal untuk menumbuhkan sentimen nasionalis,” jelas Shreya.

Momotaro secara eksplisit ditempatkan dalam latar belakang Jepang, dan hal ini sangat cocok dengan konsep identitas nasional. Tokoh utamanya, Momotaro, sering digambarkan memiliki asal-usul sebagai keturunan dewa–menekankan hubungannya dengan keilahian keluarga kekaisaran.

Mitos Shinto, agama orisinal Jepang, juga tak luput dalam kisah ini. Melalui berbagai kisah tentang Kami (roh atau dewa) dan garis keturunan kekaisaran, memperkuat identitas yang unik bagi Jepang dan warisannya.

Momotaro melambangkan Jepang, sementara setan Pulau Iblis mewakili musuh asing. Hal ini merupakan ciri khas dari gagasan nasionalisme pada masa itu.