Kisah Mitologi Berperan Penting dalam Pembangunan Kekaisaran Jepang

By Tri Wahyu Prasetyo, Rabu, 10 Januari 2024 | 16:15 WIB
Susanoo, dewa badai, yang karakternya telah menjadi bagian dari karakter Kekaisaran Jepang. (Via Science ABC)

Nationalgeographic.co.id—Cerita rakyat Jepang telah meninggalkan jejak abadi pada nasionalisme Kekaisaran Jepang serta membentuk identitas dan nilai-nilai penting. 

Legenda dan narasi mitos, bersama dengan tradisi asli, telah menanamkan rasa kebanggaan, kesetiaan, dan persatuan di antara orang-orang Jepang.

Kojiki (712) dan Nihongi (720), merupakan contoh utama teks-teks dengan asal-usul mitologi yang disusun secara strategis untuk membangun dan melegitimasi kekuasaan kekaisaran.

“Teks-teks tersebut menggabungkan berbagai mitos, legenda, dan dongeng ke dalam sebuah narasi yang kohesif, dengan tujuan politis dan legitimasi,” tulis Shreya Sethi pada laman Science ABC.

Akibatnya, Shreya menambahkan, “dongeng-dongeng ini tidak hanya dianggap sebagai fondasi budaya, tetapi juga manifestasi dari esensi Jepang, terutama di kalangan Shinto tradisional.”

Naskah Kaisar Meiji tentang Pendidikan

Pada akhir abad ke-19, Kekaisaran Jepang mengalami perubahan sosial dan budaya yang signifikan. Hal ini merupakan bagian dari modernisasi dan reformasi dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan dan budaya.

Salah satu instrumen kunci dari gerakan ini adalah dikeluarkannya “Naskah Kekaisaran tentang Pendidikan” pada Oktober 1890.

Pendidikan menjadi alat untuk modernisasi melalui (Nagazane Motoda/Wikimedia Commons)

“Naskah ini bertujuan untuk menetapkan seperangkat nilai etika dan standar moral untuk mendorong upaya modernisasi bangsa, dengan menguraikan tujuan utama dari sistem pendidikan Jepang, yaitu untuk menanamkan rasa patriotisme pada anak-anak,” jelas Shreya.

Kebijakan ini mengatur prinsip-prinsip pendidikan di sekolah dasar dan memberikan penekanan kuat pada pengajaran moral wajib (shushin). Hal ini dimaksudkan demi mewujudkan esensi spiritual Kekaisaran Jepang (kokutai).

Perubahan ini sangat penting mengingat fondasi Jepang sedang dalam masa transisi akibat terpapar oleh Barat.

Sistem pendidikan memainkan peran penting dalam menyebarkan pendidikan nasionalisme, menumbuhkan rasa kebanggaan nasional dan identitas kolektif di antara penduduk Jepang.

Dongeng, termasuk kisah populer "Momotaro," dimasukkan ke dalam buku bacaan pendidikan dasar dari tahun 1890-an hingga akhir Perang Dunia II. Buku ini diakui secara luas berkontribusi pada penanaman kesadaran nasional.

Melalui kisah-kisah dalam buku tersebut, Shreya menjelaskan , “anak-anak diperkenalkan pada elemen-elemen fundamental dari tradisi nasional Jepang, seperti yang dipahami dan dipromosikan oleh kepemimpinan politik negara.

Momotaro

Momontaro mengalahkan iblis. (Public Domain/Wikimedia Commons)

Momotaro merupakan cerita rakyat Jepang tentang seorang anak laki-laki yang lahir dari buah persik. Saat tumbuh dewasa, laki-laki ajaib dianggap sebagai pahlawan.

Dengan bantuan teman-teman binatangnya, ia mengalahkan iblis di Pulau Iblis, yang mewakili musuh-musuh asing.

Kisah tersebut, menurut Shreya, menekankan keberanian, kesetiaan, dan kemenangan bagi orang-orang baik.

“Kisah Momotaro, termasuk variasinya ‘Peach Boy’, secara historis telah memainkan berbagai peran yang menjadikannya pilihan ideal untuk menumbuhkan sentimen nasionalis,” jelas Shreya.

Momotaro secara eksplisit ditempatkan dalam latar belakang Jepang, dan hal ini sangat cocok dengan konsep identitas nasional. Tokoh utamanya, Momotaro, sering digambarkan memiliki asal-usul sebagai keturunan dewa–menekankan hubungannya dengan keilahian keluarga kekaisaran.

Mitos Shinto, agama orisinal Jepang, juga tak luput dalam kisah ini. Melalui berbagai kisah tentang Kami (roh atau dewa) dan garis keturunan kekaisaran, memperkuat identitas yang unik bagi Jepang dan warisannya.

Momotaro melambangkan Jepang, sementara setan Pulau Iblis mewakili musuh asing. Hal ini merupakan ciri khas dari gagasan nasionalisme pada masa itu.

Legenda dan Mitologi Shinto

Kesadaran bangsa Jepang, yang dipengaruhi oleh mitos dan nasionalisme Shinto, telah berperan penting dalam membentuk identitas negara, terutama selama era sebelum perang. 

Faktor-faktor seperti homogenitas budaya yang dirasakan, batas-batas geografis, dan isolasi historis telah berkontribusi pada pengembangan kesadaran nasional yang kuat.

Rumah kekaisaran yang dihormati, yang berakar kuat pada kepercayaan Shinto, semakin memperkuat gagasan tentang identitas nasional yang bersatu.

“Mitos Shinto, dengan penekanannya pada asal-usul ilahi dan hubungan dengan tanah, telah memainkan peran penting dalam menumbuhkan kesadaran nasional ini,” kata Shreya.

Legenda seperti mitos Amaterasu, dewi matahari dan nenek moyang keluarga kekaisaran, menyoroti garis keturunan ilahi kaisar dan perannya sebagai tokoh pemersatu. Ritual di Kuil Agung Ise yang didedikasikan untuk Amaterasu menggarisbawahi makna religius dan nasional dari kekaisaran.

Mitos Susanoo, dewa badai, melambangkan kemampuan Jepang untuk mengatasi tantangan dan melindungi rakyatnya.

Narasi kemenangan ini memiliki resonansi yang kuat di negara tersebut, menggambarkan Jepang sebagai sebuah bangsa yang tangguh, mampu menghadapi ancaman dari luar.

Sentimen semacam itu telah membantu Jepang melalui masa-masa sulit, termasuk periode perang yang menghancurkan dan proses perombakan ekonomi setelahnya.

Konsep "Yamato-damashii," yang mencerminkan kesetiaan, pengorbanan diri, dan dedikasi kepada negara, telah tumbuh dari mitos-mitos ini serta memainkan peran penting dalam mempromosikan nasionalisme di Jepang. 

Legenda seperti kisah Empat Puluh Tujuh Ronin adalah contoh yang menonjol dari nilai-nilai ini dan telah menjadi simbol cita-cita masyarakat Jepang yang patriotik dan bersatu.