Tak Sekadar Fiksi, Roh Mitologi Jepang Ini Lahir dari Sejarah Kelam

By Tri Wahyu Prasetyo, Kamis, 11 Januari 2024 | 07:00 WIB
Kappa telah berevolusi dari makhluk yang mematikan menjadi karakter yang lebih lucu di zaman modern, bahkan menjadi inspirasi bagi Pokemon. (BRITISH LIBRARY BOARD)

Nationalgeographic.co.id—Tohoku, wilayah paling utara di pulau utama Kekaisaran Jepang, dihuni oleh berbagai cerita rakyat menarik. Lokasinya yang terpencil dan memiliki iklim yang ekstrem, agaknya cukup untuk menyediakan makanan untuk imajinasi orang-orang yang tinggal di sana.

Cerita rakyat Jepang berasal dari tradisi lisan yang diceritakan oleh penduduk asli Jepang, seperti dari Tohoku, yang berpadu dengan konsep agama Shinto dan Buddha, serta cerita-cerita rakyat yang diimpor dari seluruh dunia. 

Seiring berjalannya waktu, cerita-cerita lokal ini berevolusi menjadi versi modern yang kita lihat saat ini, mulai dari ritual keagamaan Jepang, seni rupa, dan video game.

Bagaimana sejarah Tohoku menjadi sumber cerita rakyat Jepang

“Kisah-kisah dari Tohoku bukanlah fantasi belaka; banyak di antaranya yang dibentuk oleh sejarah sulitnya bencana alam, kelaparan, dan isolasi geografis di wilayah tersebut,” tulis Lance Handerstein, pada laman National Geographic.

Kota Tono di prefektur Iwate adalah sumber penting dari berbagai mitologi yang ada. Dikelilingi oleh pegunungan, Tono terletak di lembah yang terisolasi. Keterpencilan tersebut memungkinkan banyak cerita rakyat kuno Jepang bertahan hingga zaman modern.

Di sanalah Kunio Yanagita, seorang penulis dan folkloris, membuat koleksinya yang bertajuk “Tales of Tono”. Ia menyusunnya dari ingatan seorang penduduk lokal bernama Kizen Sasaki.

Koleksi Yanagita dan Sasaki ini mengukuhkan kembali versi lokal yokai, mengantarkan budaya lokal ke dalam kesadaran nasional dan internasional.

"Kami dan yokai tidak seperti konsep Barat tentang dewa, pencipta alam semesta, atau terpisah dari dunia kita. Mereka sepenuhnya merupakan bagian dari dunia alami," kata Toshiaki Ishikura, profesor mitologi dan antropologi seni di Akita Art University.

Hampir semua fenomena misterius dalam cerita rakyat Jepang, termasuk banyak dari Kami, dapat dianggap sebagai yokai.

"Yokai hanyalah makhluk mitos dari cerita rakyat Jepang. Namun, mereka bertindak sebagai lensa untuk melihat berbagai aspek kepercayaan, masyarakat, dan sejarah Jepang," jelas Hiroko Yoda, penulis dan salah satu penulis buku ‘Yokai Attack!’ Panduan Bertahan Hidup dari Monster Jepang.

Kappa dalam Kisah Mitologi Jepang

Salah satu yokai paling populer dari cerita rakyat Jepang adalah kappa. Makhluk ini digambarkan dengan perawakan kecil berwarna hijau serta memiliki paruh dan tempurung kura-kura. Penggambaran ini cocok dengan gelarnya sebagai monster amfibi.

Awalnya, kappa memberikan kisah mengerikan tentang bahaya tenggelam di sungai jika tidak berhati-hati. Seiring berjalannya waktu ia berevolusi menjadi lebih lucu dan lebih ramah industri.

Karakter Pokémon Golduck dan Lotad serta Gamakichi dari Naruto adalah versi animasi dari yokai yang dulunya menakutkan ini.

Cerita rakyat Jepang bukan sekadar fiksi, ini adalah bagian dari sejarah kehidupan masyarakatnya. Karena itu, sebagian makhluk mitologi muncul atau tercipta dari bencana. (Kanegen/CC BY 2.0)

Gambar kappa modern muncul dari budaya cetak Jepang dan desain ukiyo-e (cetak balok kayu) pada era Meiji (1868-1912), jelas Ishikura. "Para pencetak dan seniman di kota menata ulang karakter yokai dari orang-orang pedesaan yang telah menciptakannya. Gambar-gambar yang diproduksi secara massal itu segera menggantikan versi lokal."

Ishikura menjelaskan bahwa adanya kemungkinan peristiwa gelap di balik penciptaan karakter Kappa. Mungkin ia merupakan gema dari sejarah tragis kelaparan di wilayah tersebut dan tingginya angka kematian bayi yang disebabkan oleh iklim yang keras, bencana alam dan sistem pajak.

"Di wilayah Tohoku, pembunuhan bayi kadang-kadang digunakan sebagai bentuk pengendalian kelahiran karena kelaparan yang berulang. Mayat anak-anak yang tidak diinginkan sering kali dibuang di sungai atau danau," kata Prof. Ishikura. "Banyak orang di Tono percaya bahwa sejarah tragis tersebut merupakan salah satu asal mula kisah-kisah kappa."

Zashiki-warashi: Roh Anak-anak

Dalam sebuah gambar dari karya Kyōsai, orang dewasa dan anak-anak berkumpul di sekitar anglo, atau api unggun, untuk mendengarkan cerita hantu. (Metropolitan Museum of Art)

Yokai Tohoku lainnya yang dibuat terkenal oleh Tono Monogatari adalah zashiki-warashi. Yokai ini akan membawa keberuntungan bagi rumah tangga yang dikunjungi dan membuat kekacauan ketika ditinggalkan.

Kisah-kisah Zashiki-warashi menceritakan tentang nasib keluarga-keluarga di Tono yang selalu berubah-ubah, mengalami musim dingin yang panjang, kelaparan, kekurangan gizi, dan bencana alam.

Sasaki menyatakan bahwa zashiki-warashi adalah arwah anak-anak yang dibunuh dan dikubur di rumah tersebut. Hal ini sekali lagi membangkitkan kembali momok pembunuhan bayi yang meluas di wilayah Tohoku di masa lalu. 

Namahage: dewa-dewi yang berbakti

Cerita rakyat Jepang bukanlah fiksi yang hanya terbatas pada halaman buku, melainkan adalah bagian dari sejarah yang hidup. 

Salah satunya dapat dilihat dalam tradisi namahage di Semenanjung Oga di prefektur Akita. Di sana, para pria mengenakan kostum seperti raksasa dan mengobarkan api kepercayaan terhadap kami kuno agar tradisi mereka dapat diteruskan.

Namahage adalah entitas yang menarik dalam budaya Jepang. Mereka memainkan peran penting sebagai makhluk yang menakut-nakuti orang-orang dalam rangka mendorong kedisiplinan dan kerja keras.

Festival yang paling terkenal adalah Festival Sedo Namahage di Semenanjung Oga, Akita, di mana namahage turun dari gunung untuk menandai hari ke-15 tahun baru Imlek untuk menakut-nakuti anak-anak yang nakal.

Meskipun penampilan mereka seperti oni, namahage mempertahankan status mereka sebagai kami, bukan yokai. 

"Mereka dihormati sebagai kami oleh anak-anak yang mereka takuti dan oleh keluarga yang memberi mereka sake, kue beras, dan makanan lainnya. Namahage tetap menjadi kami karena mereka masih dihormati," kata Ishikura.