Namun alat pelindung tersebut memperpanjang pertarungan. Dan tujuannya adalah tontonan serta pengurbanan manusia, bukan kelangsungan hidup.
Hasilnya, baju besi tersebut disingkirkan, meninggalkan para gladiator dengan kombinasi ikonik berupa duka, helm, dan perisai. Hanya ada sedikit perlindungan pada bagian dada, sehingga luka lebih mungkin berakibat fatal. Tontonannya dibuat penuh darah.
Dari penghormatan hingga alat politik
Pada abad pertama SM, munus telah menjadi alat politik, meskipun masih dikaitkan dengan upacara penguburan, setidaknya di atas kertas.
Setiap pejabat Romawi yang ingin dipilih untuk menduduki jabatan publik yang penting akan mengadakan pesta pemakaman yang mewah. Hal ini dilakukan untuk memenangkan hati rakyat.
Julius Caesar, yang ingin melanjutkan karir politiknya pada tahun 65 SM, mengadakan munus untuk ayahnya (yang telah meninggal selama 20 tahun).
Pada acara itu, 640 gladiator bertarung dengan mengenakan baju besi yang terbuat dari perak murni. 19 tahun kemudian, Caesar mengulangi kemenangannya dengan munus lainnya. Kali ini untuk putrinya yang telah meninggal selama hampir satu dekade.
Caesar tidak hanya memasukkan pertarungan antara gladiator yang diperbudak, tetapi juga pertarungan spektakuler antara dua anggota aristokrasi Romawi yang secara tidak bijaksana mendukung lawan politik Caesar, Pompey.
Dalam waktu 1 tahun setelah pertandingan tersebut, Caesar telah dibunuh oleh anggota Senat Romawi. Romawi pun terjerumus ke dalam perang saudara. Selama era Kekaisaran, kaisar melarang munus diselenggarakan oleh individu tanpa izin tertulis.
Namun ini tidak berarti akhir dari pertarungan gladiator. Sebaliknya, pertarungan tersebut menjadi tontonan yang dikelola kekaisaran.
Karena itu, pertarungan dimaksudkan untuk menghormati kaisar. Selain itu juga untuk meningkatkan popularitas kaisar di kalangan rakyat jelata yang masih haus akan darah, roti, dan sirkus.