Gajah Purba Menyeruak dari Ladang Jagung di Situs Purbakala Patiayam

By National Geographic Indonesia, Selasa, 23 Januari 2024 | 09:31 WIB
Arkeolog Ruly Fauzi (berbaju merah) bersama Wagiran, pemilik kebun jagung tempat fosil ditemukan di hamparan ladang jagung di Patiayam. Temuan elephas yang diekskavasi baru sebatas tulang rusuk sampai kepala. (Feri Latief)

  

Oleh Feri Latief, Kontributor National Geographic Indonesia

    

Nationalgeographic.co.id—Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra BRIN melakukan penelitian di situs purbakala di Patiayam, Kudus, Jawa Tengah.

Penelitian arkeologi pada pertengahan Januari silam telah dipimpin oleh Prof. Truman Simanjuntak, arkeolog dan pakar prasejarah senior yang kini juga mengepalai lembaga CPAS (Centre for Preshistory and Austronesian Studies) atau Yayasan Pusat Studi Prasejarah dan Austronesia. 

Bagi Truman, penelitian di Patiayam bukan perkara baru. Pada tahun 1981-1983, Dia pernah memimpin survei dan ekskavasi di kawasan purbakala ini, serta pengamatan muka tanah di sekitar situs di sepanjang aliran Kali Balong dan Kali Ampo dari hulu hingga hilirnya. 

Pada masa purba, Gunung Patiayam merupakan daratan yang terpisah dengan Pulau Jawa. Gunung ini diapit pulau lain di sisi utaranya—yang sekarang menjadi Gunung Muria—dan di selatannya—kini Pegunungan Kendeng. Sejauh ini Patiayam menyimpan artefak batu yang melimpah dan fauna yang tidak ditemukan di situs lainnya.

"Situs Patiayam penting karena kekayaan fosil kandungannya (hewan dan manusia purba), termasuk peralatannya yg dibuat dari batu," kata Truman di lokasi penelitian. "Situs ini menjadi lebih menarik lagi, karena lokasinya—bersama Gunung Muria—yang terisolasi dari daratan Jawa pada masa itu."

Lokasi temuan fosil elephas menyeruak di ladang jagung di lereng Gunung Patiayam, Kudus, Jawa Tengah. (Feri Latief)

Truman menambahkan tentang keunikan situs ini, "Biasanya erectus memilih wilayah hunian di daerah aliran sungai seperti Bengawan Solo, tapi di Patiayam tidak ada sungai besar, kecuali sungai kecil yang sebagian besar musiman. Situs ini juga lebih jarang dibicarakan jika dibandingkan dengan situs Sangiran, Trinil, Ngandong, dan lain-lain."

Tim peneliti berhasil menemukan fosil elephas, jenis gajah yang paling modern dan merupakan generasi ketiga gajah purba. Kendati kerap disebut gajah purba, bentuknya relatif sama dengan gajah sekarang. Fosil itu berada di kebun jagung milik Wagiran, warga Dusun Rangit Baru, Desa Terban, Kecamatan Jekulo. 

Mirza Ansyori, arkeolog yang terlibat dalam ekskavasi, menyatakan, "Satu dari sedikit penemuan kerangka elephas dari situs kala Pleistosen Tengah yang masih berada pada konteks kesatuan anatomis."

Anggota Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Tri Mumpuni (tengah) didampingi arkeolog Retno Handini (kiri) mengunjungi tempat temuan kerangka elephas di Patiayam. (Feri Latief)

Temuan fosil kerangka elephas ini memiliki anatomi yang lengkap. Menurut Mirza, jarang sekali terjadi temuan semacam ini. Di situs manusia purba Patiayam inilah malah beberapa kali temuan serupa mampu disingkap para arkeolog. Hal inilah yang menjadi keunikan situs Patiayam. Para peneliti pun kerap berkelakar: Situs Patiayam sebagai kebun binatang purba.

Dalam konteks biostratigrafi, berdasarkan temuan fosil, peneliti sering menghubungkannya dengan berbagai lokalitas dalam kawasan. Hubungan ini diperlukan untuk mengetahui umur relatif dari sebuah situs, sekaligus melihat sebaran faunanya. 

Truman mengatakan, "Perkiraan sementara saya, berdasarkan posisi stratigrafisnya, di bagian tengah Formasi Slumprit dari kala Pleistosen Tengah, umur di sekitar 500-300 ribu tahun." 

Proses ekskavasi oleh Takim yang seorang tenaga lokal, dan para arkeolog Ruly Fauzi (baju merah), Mirza Ansyori (baju biru) dan Kasman (baju hitam). (Feri Latief)

Formasi Slumprit, satu dari lima formasi di Patiayam, dikenal sebagai lapisan tanah di situs Patiayam yang sangat kaya akan tinggalan fosil mamalia darat. Bahkan arkeolog kerap menemukan fosil Hono erectus di lapisan ini sehingga Formasi Slumprit menjadi lapisan terpenting secara arkeologis.

Berikut formasi-formasi tatanan stratigrafi di Patiayam yang dihimpun M. Mirza Ansyori, M. Ruly Fauzi, dan Kasman Setiagama dalam buku Bertualang ke Zaman Purba di Situs Patiayam Kudus: 

Formasi Jambe, lapisan tanah yang tertua yakni 3 juta tahun yang lalu, mengandung fosil-fosil organisme yang hidup di laut.

Tulang tengkorak bersama rahang atas dan gigi elephas yang ditemukan di Patiayam. (Feri Latief)

Costae atau tulang rusuk dari elephas yang ditemukan di Patiayam. (Feri Latief)

Cervical vertebrae atau tulang leher dari elephas yang ditemukan di Patiayam. (Feri Latief)

Distal humerus atau tulang lengan dari elephas, yang ditemukan di situs Patiayam. (Feri Latief)

Formasi Kancilan, lapisan di atas formasi Jambe yang berupa batuan vulkanik dari letusan Gunung Muria ketika kawasan ini masih lautan, berasal sekitar 0,9 juta tahun silam. 

Formasi Slumprit, lapisan tanah yang sangat kaya akan tinggalan fosil mamalia darat, usianya Plestosen tengah sampai 0,8 juta tahun silam.

Formasi Kedungmojo, lapisan yang didominasi pasir kasar batuan konglomerat dengan butiran-butiran krikil dan krakal keras, yang menyimpan fosil vertebrata berasal sekitar 800.000 – 100.000 ribu tahun yang lalu.

Formasi Sukobubuk, lapisan berupa bongkah-bongkah batuan yang merekat bersama pasir kasar, diduga bagian bencana erupsi Gunung Muria yang memusnahkan kehidupan di atasnya, sekitar 10.000 tahun silam.

Fosil yang tersingkap akibat longsoran lapisan tanah di Situs Patiayam. Raden Saleh Syarif Bustaman, pada 1850-an, mengumpulkan fosil-fosil di kawasan ini untuk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. (Feri Latief)

Para peneliti yang terlibat: Retno Handini, Ruly Fauzy, Sofwan Noerwidi, Harry Octavianus, Mirza Ansori, Unggul Prasetyo, Ferry Fredy Kawur, Ngadiran, dan pakar biomolekuler Wuryantari, serta mahasiswa Departemen Arkeologi FIB-UGM. Mereka juga dibantu tenaga lokal yang berpengalaman dalam penelitian arkeologi. Mereka melakukan eskavasi di beberapa lokasi pada 8 sampai 21 Januari 2024. Namun survei pendahuluan telah dilakukan sebelumnya pada November silam.

Histori Penelitian Patiayam 

Situs purbakala ini telah memikat Raden Saleh Syarif Bustaman dan Frans Wilhelm Junghuhn yang tertarik mengumpulkan fosil-fosil di kawasan Patiayam pada 1857. 

Dua serdadu KNIL, Anthonie de Winter dan Gerardus Kriele, melaporkan pengamatan mereka tentang fosil-fosil di Patiayam kepada Eugene Dubois pada 1891.

Willem Albertus "Wim" van Es meneliti aspek paleontologi, arkeologi, dan geologi Patiayam. Kajiannya berdasar sembilan fosil yang ditemukan di kawasan itu pada 1931.

Bukit-bukit Patiayam yang diduga terbentuk setelah erupsi Gunung Muria. Bentang alamnya bercerita tentang manusia-manusia purba yang beradaptasi dengan lingkungan setempat dan fauna-faunanya. (Feri Latief)

Reinout Willem van Bemmelen, pada 1949, mengungkapkan hasil pengamatannya bahwa terjadinya bukit-bukit Patiayam berkaitan dengan erupsi Gunung Muria. 

Sartono dari Departemen Teknik Geologi dan Hidayat Syarif dari Departemen Biologi pada Institut Teknologi Bandung memimpin penelitian di Situs Patiayam pada 1978. Mereka melanjutkan penelitian Willem Albertus van Es, menemukan gigi premolar, fragmen tengkorak manusia purba, dan 17 spesies fauna.

Elephas hysudrindicus, generasi ketiga dari gajah purba, di Museum Geologi Bandung. (Wikimedia Commons)

Truman Simanjuntak memimpin penelitian arkeologi di Patiayam, sekaligus pengamatan permukaan tanah sepanjang dua aliran sungai dari hulu hingga hilir pada 1981-1983. 

Belakangan, pada 2007, Balai Arkeologi Yogyakarta menemukan perkakas batu berupa serpih, kapak genggam, serut, dan kapak perimbas di Situs Patiayam.

Patiayam merupakan salah satu situs manusia purba terpenting yang kita miliki. Bentang alamnya tidak hanya bercerita tentang migrasi dan adaptasi manusia, tetapi juga hubungan erat fauna antara fauna yang menghuni daratan Asia dan fauna di sebaran pulau di tenggaranya.