Ketika Peradaban Islam Perkenalkan Obat Kontrasepsi dalam Sejarah Abad Pertengahan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 26 Januari 2024 | 20:16 WIB
Persalinan operasi sesar di dari catatan Syahnama karya Al-Firdausi. Sebelum hamil, pasangan suami-istri peradaban Islam dalam sejarah abad pertengahan memiliki hak untuk menggunakan kontrasepsi dan aborsi. Kontrol kelahiran ini penting untuk menjaga populasi tetap berkualitas dan akses yang cukup u (Hakim Abu al Qasim Firdausi Tusi (Al-Firdausi)/Topkapi Palace Library, MS H 1479.)

Nationalgeographic.co.id—Jauh sebelum hari ini, kontrasepsi sudah diperkenalkan duluan oleh peradaban. Pembatasan angka kelahiran ini berfungsi untuk menekan permasalahan sosial akibat ledakan populasi.

Sayangnya, program kontrasepsi seperti penggunaan pil KB, IUD, dan kondom sering dianggap tindakan tidak bermoral. Ada banyak teori konspirasi, misalnya menganggap kontrasepsi sebagai cara "elite global" untuk mengontrol populasi suatu bangsa tidak berkembang lebih banyak.

Padahal yang terjadi hari ini, akibat kelebihan populasi di berbagai tempat, marak terjadinya perselisihan sosial, perebutan sumber daya, dan krisis lahan. Oleh karena itu angka kelahiran dan jumlah populasi menjadi hal yang harus dipertimbangkan.

Dalam sejarah abad pertengahan, peradaban Islam telah mengenal kontrasepsi, sebagaimana yang juga diperkenalkan oleh peradaban terdahulunya. Pemahaman ini berbeda dengan situasi Eropa pada saat itu yang erat dengan gagasan Kekristenan Barat mengenai seksual yang mengutuk kontrasepsi dan aborsi.

Pemikiran peradaban Islam yang memperkenalkan kontrasepsi menjadi sentimen peradaban Kekristenan Eropa kala itu, terutama saat pecahnya Perang Salib yang berjilid-jilid.

Kekristenan Eropa Barat lebih menekankan kepada pernikahan monogami sebagai kontrol kelahirannya, namun salah kaprah dalam memandang praktik Islam.

"Umat ​​Kristen [kala itu] percaya bahwa Islam menganjurkan sodomi dan umat Islam terbiasa mempraktikkannya; minat mereka terhadap kehidupan seksual Nabi [Muhammad] tidak terbatas," terang B. F. Musallam dalam buku Sex and Society in Islam: Birth Control before the Nineteenth Century.

Seiring perkembangan zaman, pengetahuan tentang kontrasepsi yang berkembang dari peradaban Islam dalam sejarah abad pertengahan, dimanfaatkan oleh ilmuwan Barat kemudian hari. Musallam mengungkapkan, sumber pengetahuan dari dunia Arab kerap tidak disebutkan, walau sebenarnya jelas-jelas memanfaatkannya.

Kontrasepsi peradaban Islam

Islam muncul pada abad ketujuh Masehi. Oleh sejarawan, periode ini terhitung sebagai masa awal sejarah abad pertengahan. Saat itu, masalah seksualitas menjadi yang diperhitungkan dalam penyebaran agama Islam di bawah Nabi Muhammad.

Zuliana dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus dalam skripsi bertajuk Hadis Mengenai Kontrasepsi Keluarga Berencana Pada Masa Rasulullah (Kajian Mukhtalif al-Hadis) mengungkapkan ada banyak pernyataan Nabi (hadis) yang mendukung gagasan program kontrasepsi.

Ada dua riwayat yang memiliki cerita serupa, yakni oleh Ahamad bin Hanbal dalam riwayat nomor 11.497 dan Muhammad bin Isa at-Tirmidzi (Ibnu Tirmidzi) dalam musnad nomor 1.136.

Dikisahkan, seseorang berkonsultasi kepada Nabi akan keinginan untuk melakukan azl. Tindakannya dipandang buruk oleh komunitas Yahudi karena dianggap sebagai pembunuhan terselubung. Azl adalah aktivitas membuang sperma di luar vagina.

Atas pernyataan itu, Nabi Muhammad mengatakan bahwa Islam tidak melarang azl karena "sesungguhnya Allah jika ingin menciptakan maka tidak ada seorang pun yang dapat menghalanginya."

Masih ada beberapa lagi riwayat yang mendukung. Nur Achmad, pengajar Pusat Studi Islam Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) dalam Hadis Nabi tentang KB di Rahima, juga mengungkapkan beberapa ayat Alquran, menjadi dasar diperbolehkannya kontrasepsi.

Sejarah kedokteran peradaban Islam dalam sejarah abad pertengahan ternyata berpengaruh terhadap dunia, termasuk tentang kontrasepsi, vasektomi, dan aborsi. (Bridgeman Images)

Musallam para ulama Islam di sejarah abad pertengahan memperbolehkan kontrasepsi. Hal ini mendorong kemajuan sains Islam untuk mengembangkan pengobatan kontrasepsi.

Bahkan, Ibnu Sina (980-1037), ilmuwan pengobatan dari Kekaisaran Samaniyah menuliskan peracikan ilmu medis terkait kontrasepsi. Jafar Rezaian dan Alireza Mehdizadeh dalam Avicenna's Controbution of Contracetption menjelaskan, kanon kedokteran Ibnu Sina membantu pengobatan kontrasepsi modern untuk pencegahan dan pengurangan efek samping.

"Karena para cendekiawan Islam mengizinkan kontrasepsi, dokter-dokter Arab bisa saja menanganinya semaksimal mungkin, dengan catatan dibatasi oleh sumber daya dan pengalaman medis mereka," terang Musallam.

Ahli kodekteran asal Kekaisaran Abbasiyah Ibnu Hubal (1122-1213) menyerukan agar kontrol kelahiran harus diawasi. Penggunaannya harus dilakukan oleh ahli medis. Ibnu Hubbal menulis dalam Al-Mukhtarat, "obat-obatan kontrasepsi dan aborsi tidak boleh digunakan oleh orang biasa, namun harus dibatasi pada kalangan dokter agar dapat digunakan dalam kasus-kasus tertentu."

Muhammad bin Zakariya ar-Razi (Al-Razi) dalam Kitab al-Hawi, mencatat setidaknya ada sekitar 176 kontrasepsi yang diperkenalkan di peradaban Islam.

Musallam meringkasnya menjadi lima jenis cara pemakaian. Pertama konsumsi obat lewat mulut yang biasanya digunakan untuk perempuan, cara ajaib seperti doa dan mantra, intravaginal dan tampon, teknik penetrasi pria, teknik lainnya yang lebih banyak dilakukan perempuan.

Vasektomi dan aborsi

Sejarah abad pertengahan juga mencatat bahwa kontrasepsi yang dikembangkan dalam peradaban Islam juga diperuntukkan pria. Peradaban Islam memperkenalkan kastrasi, di mana testis dan gonad laki-laki diangkat. Kebiasaan ini amat ditentang oleh pemeluk agama Yahudi dan Kekristenan kala itu.

Meski demikian, kastrasi dalam sejarah abad pertengahan hanya diberlakukan kepada pihak tertentu seperti budak atau sebagai hukuman.

Ilustrasi kastrasi yang dibuat oleh dokter Persia abad ke-15, Syarafiddin Ali' Yazdi. (Syarafiddin Ali' Yazdi/Bibliothèque Nationale)

Magdalena Moorthy Kloss dalam Slavery in Medieval Arabia, praktik kastrasi telah berkembang di Timur Tengah sejak peradaban Sumeria untuk para kasim (pelayan kerajaan). Bagaimanapun, inilah awal mula kehadiran vasektomi dalam kontrasepsi modern.

Secara praktik, metode kontrasepsi yang paling dikenal adalah penarikan penis saat ejakulasi dan pemasangan perangkat di dalam organ wanita. Cara ini sangat efektif dan rasional, ketimbang menggunakan pengobatan yang sedang berkembang.

Musallam menjelaskan, peradaban Islam memberlakukan praktik aborsi, seperti yang dibahas juga oleh Ibnu Hubal sebelumnya. Musallam mengungkapkan, hampir seluruh mazhab Islam memperbolehkan aborsi dengan syarat tertentu, dan "hanya Mazhab Maliki yang jelas-jelas melarangnya".

"Para dokter Timur Tengah pada Abad Pertengahan menggunakan indikasi medis yang sama untuk mencegah kehamilan dan mencegah kelahiran. Mereka menganggap kontrasepsi dan aborsi sebagai 'kontrol kelahiran'," tulis Musallam.

Syarat diperbolehkannya pasien melakukan aborsi adalah tidak boleh lebih dari empat bulan kehamilan. Islam meyakini, janin sidah diberikan ruh oleh Tuhan pada akhir bulan keempat. Banyak ulama dan cendekiawan muslim dalam sejarah abad pertengahan, termasuk al-Razi memperbolehkan selama penanganan dilakukan kalangan profesional.

Dalam kanonnya, Ibnu Sina menulis tentang syarat aborsi:

"Yaitu bila ibu hamil masih muda dan kecil dan dikhawatirkan persalinannya akan menyebabkan kematiannya, atau bila ia menderita penyakit rahim atau bila ada pertumbuhan daging di dalam rahim sehingga menyulitkan janin untuk keluar. Juga ketika janin meninggal dalam kandungan wanita. Ketahuilah bahwa bila persalinan berlanjut selama empat hari berarti janin sudah meninggal. Oleh karena itu jagala nyawa sang ibu, dan bukan nyawa janinnya. Adapun keluarkan janinnya."

Musallam berpendapat, "Hal ini merupakan konsekuensi besar terhadap hubungan antara agama dan sains pada umumnya, dan khususnya pada pemikiran biologi abad pertengahan, ketika Alquran menggambarkan perkembangan janin dalam bahasa ilmu biologis saat itu."

"Keadaan ini tidak mengejutkan umat Islam abad pertengahan, yang pada umumnya yakin bahwa Tuhan berbicara kepada umat manusia dalam bahasa yang dapat mereka pahami," lanjutnya.