Nationalgeographic.co.id—Peradaban Mesir kuno era Kerajaan Baru (skt. 1550 SM–sekitar 1069 SM) telah memperluas kekuasaan hingga Syam (Levant). Perluasan ini berawal dari upaya pengusiran bangsa Hyksos yang sebelumnya berkuasa.
Firaun Kerajaan Baru pun melakukan kampanye militernya lebih agresif ke Kanaan setelah 1550 SM. Bangsa Mesir kuno hendak membangun kembali daerah pengaruhnya yang hilang dengan menciptakan zona penyangga agar tidak ada serangan lagi dari bangsa asing di utara.
Kampanye ini semakin ke utara, di mana Mesopotamia berada dan lebih dikenal sebagai daerah Syam. Daerah ini sangat penting dalam perdagangan dalam sejarah dunia kuno di Timur Tengah. Salah satu yang dirugikan dari ekspansi Mesir ini adalah bangsa Het.
Siapa bangsa Het?
Ada berbagai temuan merujuk bangsa Het termasuk tulisan paku. Informasi mengenai mereka cukup populer dari Mesir kuno, Tanakh Ibrani, dan Alkitab. Kejadian 10 menyebut bahwa Het adalah keturunan Kanaan, cucu Nuh dari Ham.
Bangsa Het, dalam sejarah dunia kuno, menduduki wilayah kuno Anatolia, Turki sejak sebelum 1700 SM. Penelitian tahun 2022 bertajuk The genetic history of the Southern Arc: A bridge between West Asia and Europe menyingkap bahwa asal-usul bangsa Het berasal dari rumpun Proto-Anatolia antara 5000 dan 3000 SM.
Alwin Kloekhorst dalam salah satu bab di The Indo-European Language Family A Phylogenetic Perspective mengungkapkan, penutur bahasa Anatolia kemudian berpisah dari rumpun Proto Indo Eropa sekitar 4400 SM dan 4100 SM. Bahasa Het sendiri diyakini telah berkembang antara 1900 SM dan 1100 SM.
Kajian sejarah dan arkeologis tentang bangsa Het merujuk pada Hattusa, sebuah situs yang diyakini sebagai ibukota bangsa Het. Situs ini berbentuk benteng luas dengan medan berbatu yang menjadi basis terkuat suku Hatti sejak 2500 SM.
Christopher Scarre dan Brian M Fagan dalam Ancient Civilizations (2007) menyebutkan, bangunan di Hattusa cukup rumit sebagai basis pertahanan dan membangun kekuasaan besar. Tidak heran, pada masanya, kekuatan besar mereka menjadi ancaman yang tangguh untuk Mesir kuno.
Kerajaan Lama dan pertengahan
Ahli sejarah dunia kuno dari Belgia Marc Van De Mieroop dalam A History of the Ancient Near East ca. 3000 - 323 BC (2006), menerangkan bahwa Kerajaan Het terbentuk akibat penjarahan Hattusa oleh kerajaan bangsa Het dari Kussara yang dipimpin oleh Raja Anita pada 1700 SM.
Raja Hattusili I kemudian membangun kembali Hattusa sebagai basis pertahanan kerajaan. Setelah semakin kuat, Kerajaan Lama bangsa Het dalam sejarah dunia kuno memperluas kekuasaannya di Anatolia.
Akan tetapi, Kerajaan Lama bangsa Het tidak berlangsung lama karena perselisihan di dalam tubuh keluarga kerajaan, kalangan militer, dan daerah-daerah yang dikuasai menghendaki kemerdekaan.
Raja Ammuna (skt. 1486–1466 SM) tampaknya tidak melakukan upaya menghentikan pemberontakan. Pemberontakan terakhir menyebabkan istri dan dua anak sah tertua yang seharusnya naik takhta terbunuh. Raja terakhirnya, dalam kronologi sejarah, adalah Telipinu (skt 1525-1500 SM).
Setelah runtuhnya Kerajaan Lama, Kerajaan Het memasuki "era kegelapan" di mana tidak ada penguasa tunggal di Anatolia. Tahurwaili, sepupu Telipinu, mewarisi kerajaan yang kini tidak sejaya sebelumnya.
Para ahli sejarah dunia kuno berdebat untuk mengakui Kerajaan Pertengahan. Alasan tidak diakuinya Kerajaan Pertengahan ini karena kekuasaan Kerajaan Baru (1430-1180 SM) tidak punya hubungan keturunan penguasa dengan Kerajaan Lama.
Kerajaan Baru: menantang Mesopotamia dan Mesir kuno
Scarre dan Fagan menyebut kehadiran Kerajaan Baru dipimpin oleh Tudhaliya I (skt. 1430-1400 BC). Sosok ini bukan raja pertama, namun memimpin persatuan kembali penduduk bangsa Het dengan mendirikan persekutuan. Kepemimpinan ini memperluas kekuasaan ke Aleppo, Suriah.
Joshua J. Mark, penulis sejarah dunia kuno di World History lebih memilih Suppiluliuma I sebagai awal sejarah Kerajaan Baru.
Pasalnya, raja yang diperkirakan naik takhta sekitar 1380 SM ini mendominasi kawasan Timur Tengah lebih lua selama abad ke-14 SM. Dia mempersempit kuasa Kekaisaran Mittani yang sebelumnya mendominasi di Mesopotamia. Di Anatolia sendiri, Suppiluliuma I memperkuat konsolidasi sesama bangas Het dan meningkatkan pertahanan Kota Hattusa.
Pada saat ini, Suppiluliuma I dan Firaun Mesir Akhenaten memperluas kekuasaannya di Suriah. Suppiluliuma I terus memperluas kerajaannya dengan mengambil negara bawah Mesir seperti Byblos dengan mudah.
Mesir kuno sempat melawan di bawah Jenderal Horemheb yang diutus Tutankhamun. Akan tetapi, kampanye militer pertama ini gagal mendulang kemenangan bagi Mesir kuno. Sementara, tentara bangsa Het semakin kuat. Suppiluliuma I terus menaklukkan sisa-sisa wilayah Mesir di Syam.
Raja bangsa Het selanjutnya yang paling signifikan dalam sejarah dunia kuno adalah Muwatalli II (1295-1275 SM). Dia yang menghadapi Ramses II dalam Pertempuran Kadesh pada 1274 SM. Pertempuran ini dimenangkan oleh Mesir kuno.
Setelah Muwatalli II mangkat, saudaranya bernama Hatusili III berdamai dengan Mesir kuno dalam Perjanjian Kadesh 1258 SM. Oleh ahli sejarah, kesepakatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak bisa disebut sebagai perjanjian damai pertama di dunia.
Akhir kekuasaan bangsa Het di Turki
Bangsa Het mengalami kemunduran ketika Kekaisaran Assyria atau bangsa Asyur di Syam bangkit. Mitanni yang dulunya dikuasai bangsa Het dikuasai Assyria pada sekitar 1230 SM. Perkembangan bangsa Asyur pun seiring dengan penyusutan bangsa Het di Syam.
Raja terakhir bangsa Het adalah Raja Suppiluliuma II (skt. 1207–1178 SM). Kekuasaannya begitu rumit untuk mempertahankan bangsa Het karena invasi Kekaisaran Assyria, serangan berulang oleh "Orang Laut" dan suku Kaska dari tepi Laut Hitam.
Scarre menulis, suku Kaska bahkan merampok Hattusa yang meruntuhkan stabilitas kerajaan. Namun, bangsa Asyur menghancurkan berbagai sisa-sisa kekuasaan bangsa Het, dan memberi pengaruh kebudayaannya sendiri. Peradaban-peradaban berikutnya lupa bahwa daerah ini pernah berdiri kerajaan hebat yang dikuasai bangsa Het.