Isabella juga menuliskan keprihatinannya dalam artikelnya, bahwa "seorang pendidik dapat menggunakan pengaruh kedudukannya untuk menyalahgunakan kekuasaannya dengan mendisiplinkan siswa yang mungkin tidak sependapat dengan mereka."
"Hal ini dapat menimbulkan masalah bagi siswa atau menimbulkan konsekuensi lain bagi mereka yang tidak setuju dengan pendangan ideologi politik gurunya," terusnya. Kita perlu meyakini, masing-masing individu dari siswa atau anak didik, sudah menetapkan pilihannya.
Intervensi ideologi politik semacam ini malah meresahkan, bahkan dipandang memberikan dampak buruk pada sistem demokrasi yang berjalan dalam suatu konstitusi tingkat rendah: sekolah.
Seloroh Isabella yang juga diamini penulis adalah "adanya ketakutan" siswa tentang nilai (angka)—menentukan prestasi akademik—yang ditentukan dari pertentangan ideologi politik dengan gurunya atau pengajarnya.
Di satu sisi, motif dongengan ideologi seorang guru di kelas adalah untuk dapat mengarahkan anak-anak didiknya yang masih "culun" perihal politik, untuk turut dalam ideologi politiknya.
Para guru yang menyalahgunakan kuasanya, menjejal ideologi kepada target sasarannya, agar bisa menambah suara dengan menjadikan pilihan guru tersebut sebagai pilihan kolektif untuk dimenangkan dalam pemilu.
Sebaliknya, anak-anak didik yang didominasi oleh Gen Z, melek teknologi, dengan cepat menangkap berbagai informasi politik yang mereka perlukan. Terkadang, siswa yang berani berpendapat dan bertentangan, akan menimbulkan pedebatan dan kemelut di ruang kelas.
Atau lebih buruk, mereka terjejal kebosanan jika saja tidak sesuai dengan ideologi politik gurunya dan takut mengambil risiko kalau nilai akademiknya tidak tuntas, akibat menentang ideologi sang guru.
Setidaknya, edukasi politik tentang upaya mempelajari calon presiden dan wakilnya lebih diutamakan, ketimbang mendongeng demi hasrat kepentingan semata.
Alefiyah Vahanvaty menulis kepada SHS News dalam artikelnya berjudul Should teachers express their political opinions in the classroom?, terbitan 9 Maret 2019, menulis tentang ketidakwajaran guru berkampanye gelap di kelas dalam kasus di Inggris.
Terlebih, guru menghadirkan isu kontroversial (negative campaign) tentang lawan jagoan politiknya, atau yang lebih ekstrem, memberitakan hoaks (black campaign) untuk membunuh pilihan yang mungkin sudah dipilih oleh anak didiknya.