Nationalgeographic.co.id—Setiap kali menjelang hajat politik akbar, kebanyakan orang telah memegang kendali atas "jagoan" politiknya. Kendali kepada sosok pemimpin sudah semestinya dipelajari lewat adu tanding argumen dan jejak digital capres dan cawapres.
Semua bisa merasakan gegap gempita tahun politik, dan menyasarkan ekspektasinya melalui ruang-ruang maya sebagai luapan ekspresinya. Kampanye sana-sini dilakukan demi menggiring opini publik.
Tentu, anak-anak di usia tujuh belas sudah saatnya menyuarakan hak pilih atas jagoan politiknya. Di usia inilah, anak-anak yang masih berseragam putih-abu yang duduk di kelas XI (sebelas) dan XII (dua belas) Sekolah Menengah Atas.
Edukasi politik menjadi sarana yang dibutuhkan untuk setidaknya memberikan wawasan kepada anak-anak yang baru saja "melek politik." Memberi pandangan yang gamblang tentang kontestasi politik yang marak belakangan, agar tidak salah arah.
Namun, alih-alih mengedukasi pandangan politik secara holistik, seorang pendidik atau guru yang bertanggung jawab memberikan edukasi politik kepada anak-anak didiknya, malah kerap mendongeng ideologi politiknya sendiri.
Isabella Morena (2023) dalam hasil pengamatannya menyebut bahwa siswa dianggap "merasa lelah secara emosional mendengar seorang pendidik berbicara tentang ideologi politik mereka."
Ia menulisnya kepada The Round Up News dalam artikel berjudul Con: Teachers should not express their political opinion in the classroom, yang diterbitkan pada 21 Oktober 2023. Tentu, tulisan ini menarik untuk dibahas lebih lanjut.
Pasalnya, guru dalam sebagian besar paradigma pendidikan nasional di negeri ini, dikenal punya superioritas dalam ruang-ruang kelas.
Stereotip yang melekat memandang bahwa figur guru tetap konvensional meskipun kurikulum terus berganti dan dimutakhirkan: Guru selalu dianggap sebagai pendoktrin handal.
Setiap ucapan yang terlontar dari mulut seorang guru bagai aji-aji yang diamini setiap anak didik di kelasnya. Hal ini kerap jadi aji mumpung bagi guru yang ingin menyasarkan ideologi politik kepada anak-anak yang baru melek politik.
Tentang pasangan calon pemimpin atau presiden yang akan ditarungkan dalam hajat politik nanti, guru-guru ini kerap kali menggiring opini politiknya, seolah sedang berkampanye meski dilakukan dengan cara yang halus dan tidak kentara.
Terkadang, yang lebih memprihatinkan lagi, seorang guru menyelipkan kampanye terselubungnya di sela-sela pembelajaran. Terselip di antara materi yang sedang dibahas atau disampaikan. Tentunya, sudah tidak sejalan dengan orientasi pendidikan sejak awal.
Isabella juga menuliskan keprihatinannya dalam artikelnya, bahwa "seorang pendidik dapat menggunakan pengaruh kedudukannya untuk menyalahgunakan kekuasaannya dengan mendisiplinkan siswa yang mungkin tidak sependapat dengan mereka."
"Hal ini dapat menimbulkan masalah bagi siswa atau menimbulkan konsekuensi lain bagi mereka yang tidak setuju dengan pendangan ideologi politik gurunya," terusnya. Kita perlu meyakini, masing-masing individu dari siswa atau anak didik, sudah menetapkan pilihannya.
Intervensi ideologi politik semacam ini malah meresahkan, bahkan dipandang memberikan dampak buruk pada sistem demokrasi yang berjalan dalam suatu konstitusi tingkat rendah: sekolah.
Seloroh Isabella yang juga diamini penulis adalah "adanya ketakutan" siswa tentang nilai (angka)—menentukan prestasi akademik—yang ditentukan dari pertentangan ideologi politik dengan gurunya atau pengajarnya.
Di satu sisi, motif dongengan ideologi seorang guru di kelas adalah untuk dapat mengarahkan anak-anak didiknya yang masih "culun" perihal politik, untuk turut dalam ideologi politiknya.
Para guru yang menyalahgunakan kuasanya, menjejal ideologi kepada target sasarannya, agar bisa menambah suara dengan menjadikan pilihan guru tersebut sebagai pilihan kolektif untuk dimenangkan dalam pemilu.
Sebaliknya, anak-anak didik yang didominasi oleh Gen Z, melek teknologi, dengan cepat menangkap berbagai informasi politik yang mereka perlukan. Terkadang, siswa yang berani berpendapat dan bertentangan, akan menimbulkan pedebatan dan kemelut di ruang kelas.
Atau lebih buruk, mereka terjejal kebosanan jika saja tidak sesuai dengan ideologi politik gurunya dan takut mengambil risiko kalau nilai akademiknya tidak tuntas, akibat menentang ideologi sang guru.
Setidaknya, edukasi politik tentang upaya mempelajari calon presiden dan wakilnya lebih diutamakan, ketimbang mendongeng demi hasrat kepentingan semata.
Alefiyah Vahanvaty menulis kepada SHS News dalam artikelnya berjudul Should teachers express their political opinions in the classroom?, terbitan 9 Maret 2019, menulis tentang ketidakwajaran guru berkampanye gelap di kelas dalam kasus di Inggris.
Terlebih, guru menghadirkan isu kontroversial (negative campaign) tentang lawan jagoan politiknya, atau yang lebih ekstrem, memberitakan hoaks (black campaign) untuk membunuh pilihan yang mungkin sudah dipilih oleh anak didiknya.
Alefiyah meyakinkan bahwa "guru tidak semestinya memberikan ruang bagi opininya sebagai fakta publik (perihal politik)." Guru tidak sewajarnya memunculkan isu kontroversial yang melemahkan lawan-lawan ideologi jagoan politiknya.
Dalam literatur lain, koresponden Career Teachers merilis artikel berjudul Should teachers talk about politics in the classroom? menyebut bahwa "di Inggris, bahasan politik di kelas semestinya ditiadakan."
Bagi mereka, "keuntungan utama bagi guru yang merahasiakan pendapat politiknya adalah tidak ada tempat bagi perdebatan politik yang tidak perlu di dalam kelas," imbuh koresponden Career Teachers.
Di sisi lain, "siswa yang merasa tidak nyaman dengan politik pribadi seorang guru, tidak akan terganggu oleh kemungkinan bahwa keyakinan pribadinya bertentangan dengan keyakinan gurunya," terusnya.
Guru bisa mendorong siswa untuk memiliki idealisme politik melalui edukasi yang benar—tanpa bermaksud menggiring melalui opini. Tampaknya, itulah langkah terbaik supaya demokrasi tetap hidup dari tempat bermulanya suatu peradaban.