Anjing di Abad Pertengahan: Dari Penjaga Setia hingga Pekerja Dapur

By Tri Wahyu Prasetyo, Sabtu, 3 Februari 2024 | 17:00 WIB
Anjing-anjing yang sedang dirawat dalam sebuah gambar dari Livre de la Chasse (Buku Perburuan). (Perpustakaan dan Museum Morgan )

Nationalgeographic.co.id – Pada abad pertengahan, anjing memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Mereka tidak hanya dianggap sebagai hewan peliharaan, tetapi juga bekerja dalam berbagai kapasitas

De Canibus karya seorang dokter dan cendekiawan Inggris abad ke-16, John Caius, menggambarkan hierarki anjing, yang ia klasifikasikan berdasarkan fungsinya dalam masyarakat.

Di posisi paling puncak adalah anjing pemburu. Salah satu dari mereka adalah anjing ras greyhound yang terkenal karena kecepatannya. 

Ada juga ras bloodhound, dengan indra penciuman tajamnya–mampu melacak dan mengejar targetnya dalam jarak yang jauh–menempatkan ras ini di posisi atas.

Bahkan, ras mongrel atau ras campuan yang menduduki posisi paling bawah dari tangga sosial anjing pun memiliki ciri khas dalam hal pekerjaan atau status mereka. Misalnya sebagai pengamen jalanan, atau mengerjakan tugas-tugas dapur--berlari di atas roda yang memutar daging di panggangan.

“Keberadaan anjing di masyarakat berubah ketika berburu menjadi hobi aristokrat alih-alih sebuah kebutuhan,” kata Emily Savage, dosen Studi Abad Pertengahan Universitas St Andrews, pada laman The Conversation

Pada saat yang sama, Emily menambahkan, “anjing disambut baik di dalam rumah-rumah bangsawan–terutama oleh para wanita.”

Meskipun gereja secara resmi tidak menyetujui adanya hewan peliharaan, para pendeta sendiri sering kali memiliki anjing. Seperti halnya kebanyakan wanita, anjing para pendeta umumnya adalah anjing peliharaan, yang cocok untuk kegiatan di dalam ruangan.

Hewan Istimewa Abad Pertengahan

Seekor anjing dengan kerah berduri dan anjing greyhound dengan tali panjang dari Helmingham Herbal and Bestiary (sekitar tahun 1500). (Yale Center for British Art)

Di abad pertengahan, pandangan terhadap anjing tidak selalu dipenuhi dengan kasih sayang dan kepedulian. Beberapa pemerintah kota di Inggris mengatur pemeliharaan anjing, terutama yang memiliki peran sebagai anjing penjaga.

Hal ini dimaksudkan untuk mengendalikan potensi kekerasan dan konflik di masyarakat. Regulasi ini mungkin mencakup batasan jumlah anjing yang diizinkan, pemeliharaan, dan pelatihan agar anjing tetap dapat dikendalikan. 

Selain itu, hiburan populer pada masa itu cenderung penuh kekerasan dan dapat melibatkan binatang, seperti babi hutan, beruang, dan banteng. Kegiatan seperti memancing babi hutan melibatkan anjing berburu dan pemburu yang berusaha untuk menaklukkan binatang incaran sebagai bentuk hiburan. 

Agar kegiatan semacam itu tidak menjadi terlalu berbahaya atau berdarah-darah, pemerintah dan otoritas setempat juga mengatur dan mengawasi acara-acara tersebut.

Dalam Alkitab, anjing sering digambarkan sebagai bintang yang kotor. Amsal 26:11 secara terkenal menggambarkan bagaimana mereka kembali ke muntahannya sendiri.

Di sisi lain, kisah St. Roch adalah salah satu contoh dari sudut pandang yang berbeda. Kisah St Roch dalam Legenda Emas, sebuah koleksi populer abad ke-13 tentang kehidupan orang-orang kudus, menceritakan tentang seekor anjing yang membawa roti kepada orang kudus yang kelaparan, lalu menyembuhkan lukanya dengan menjilati luka tersebut.

Kisah anjing yang membela pemiliknya atau meratapi pemiliknya yang telah meninggal juga dapat ditelusuri kembali ke periode klasik, seperti Sejarah Alam Pliny the Elder. 

Detail miniatur Raja Garamantes, yang diselamatkan oleh anjing-anjingnya, dari Rochester Bestiary (sekitar tahun 1230). ( British Library)

Tema tersebut diulang dalam tradisi bestiary abad pertengahan, sebuah ringkasan moral tentang pengetahuan tentang hewan, baik yang nyata maupun mitos.

Kisah seekor anjing greyhound, Guinefort, bahkan mengilhami sebuah kultus santo yang tidak resmi. Kisah ini ditulis di abad ke-13, oleh inkuisitor dan pengkhotbah Dominika, Stephen.

Ceritanya berkisar pada seorang bayi yang ditemukan tak bernyawa di rumah seorang bangsawan. Tanpa mengetahui fakta sebenarnya, keluarga bangsawan berspekulasi bahwa Guinefort, anjing peliharaan keluarga tersebut, telah membunuh bayi itu. Mereka pun kemudian membunuh Guinefort sebagai pembalasan.

Setelah menemukan sang anak tidak terluka (anjing itu benar-benar telah menyelamatkannya dari ular berbisa), mereka menghormati anjing yang "mati syahid" itu dengan penguburan yang layak. Hal ini juga menyebabkan pemujaan dan dugaan mukjizat penyembuhan.

“Meskipun kisah Stephen dimaksudkan untuk menyoroti dosa dan … takhayul, kisah ini tetap menggarisbawahi apa yang orang abad pertengahan anggap sebagai kualitas khusus yang membedakan anjing dari hewan lain,” kata Emily.

Menyitir sebuah Aberdeen Bestiary yang diduga berasal dari tahun 1200-an, Emily menambahkan, "Tidak ada makhluk yang lebih cerdas daripada anjing, karena anjing memiliki lebih banyak pemahaman daripada hewan lain; mereka sendiri mengenali nama mereka dan mencintai tuannya."

Anjing-anjing yang dimanjakan

Seperti halnya saat ini, pemilik anjing di abad pertengahan juga melengkapi anjing peliharaan mereka dengan berbagai aksesori. 

Meskipun tak menyeluruh, biasanya pemilik yang mampu akan memberikan pernak-pernik kepada anjing mereka, termasuk kalung, mantel, dan bantal yang terbuat dari bahan lembut.

Investasi material semacam itu merupakan pusat dari budaya aristokrat vivre noblement (seni hidup mulia), di mana konsumsi komoditas mewah yang disengaja secara terbuka menunjukkan status seseorang.

Menurut Emily, persepsi populer tentang kepemilikan dan penggunaan aksesori anjing juga mendorong stereotip gender. 

“Sementara pria lebih cenderung memiliki anjing aktif untuk melindungi nyawa dan harta benda mereka, wanita lebih memilih anjing peliharaan yang dapat mereka pelihara,” ungkap Emily.