Politik Demokrasi Sejagat, dari Mana Sistem Pemilu Modern Hadir?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 18 Februari 2024 | 13:00 WIB
Jari bertinta ungu identik dengan pemilu. Sistem pemilu banyak diterapkan oleh negara-negara demokrasi. Meski telah dilakukan sejak zaman Yunani dan Romawi kuno, sistem yang lebih modern muncul pada abad ke-17. (GeorginaCaptures/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id Berbagai peradaban kuno telah melahirkan sistem berpolitik yang demokratis. Yang paling tua adadalah Yunani kuno dan Kekaisaran Romawi yang menyelenggarakan sistem pemilihan umum.

Meski demikian, sejarah pemilu modern hari ini bermula pada abad ke-17 di Eropa dan koloninya di Amerika Utara.

Awalnya, seperti pada zaman Yunani dan Romawi kuno, pemilu hanya dilakukan secara perwakilan yang masih digunakan pada Abad Pertengahan. Kemudian, gagasan suara individu diperhitungkan seiring perkembangan waktu.

Misalnya, pada zaman Romawi kuno, kelas pekerja memiliki suara di Dewan Pleb (Concilium Plebis). Dewan sejenis masih berlaku di beberapa kerajaan atau negara di Eropa setelah kejatuhan Romawi.

Namun kesadaran individu berkembang pada era Pencerahan Eropa, seperti hasil pemikiran John Locke. Di Inggris, ketika jajak pendapat untuk undang-undang awalnya harus dari keputusan setiap kelompok seperti perkebunan, korporasi, dan kepentingan pribadi.

Lalu, perubahan parlemen berubah. Inggris tidak lagi menganggap perwakilan di parlemen bukan lagi sebagai kelompok, melainkan suara manusia sebenarnya.

Lebih lanjut, suatu kawasan tidak lagi dikuasai oleh satu keluarga, melainkan setiap individu berhak untuk menyatakan pendapat. Perubahan ini didorong oleh UU Reformasi tahun 1832 di Inggris yang mengusung representasi individu.

Hanya saja, dalam sejarah pemilu, selama abad ke-18 pemilihan belum terbuka seperti sekarang. Negara-negara merdeka seperti Amerika Serikat dan Prancis yang telah melancarkan revolusi dari monarki ke republik memang telah mendeklarasikan kesetaraan suara individu warga. Namun, instrumen kekuasaan politik masih dipegang segelintir orang, terutama aristokrat.

Inggris, bahkan, memberikan jumlah suara besar bagi kalangan menengah ke atas seperti lulusan universitas dan pebisnis di daerah pemilihan (Dapil). Sampai tahun 1948, kalangan ini mendapatkan surat suara lebih dari satu.

Pemilu untuk menentukan kepala negaraAmerika Serikat merupakan salah satu negara republik yang menyelenggarakan pemilu untuk menentukan kepala negara. Pada awal konstitusinya, AS tidak menetapkan hak suara tertentu, namun mempersilakan setiap negara bagian mengatur pemungutan suara.

Pemungutan suara hanya boleh dilakukan oleh penduduk kewarganegaraan AS. Akan tetapi, hampir setiap negara bagian mensyaratkan hanya laki-laki kulit putih pemilik tanah yang berhak.

Rakyat berhak untuk menentukan perwakilannya. Sedangkan senator atau setingkat DPD di Indonesia dipilih oleh badan legislatif negara bagian, lembaga setingkat DPRD. Sementara presiden ditentukan oleh badan legislatif negara bagian.

Perlahan-lahan, AS semakin terbuka dalam demokrasi. Keterbukaan ini dimulai pada 1856 ketika semua laki-laki kulit putih dewasa bisa memilih tanpa harus memiliki properti sampai hak pemilih wanita pada 1920 dan kulit hitam pada 1965.

Revolusi Prancis yang membuat Napeoleon sebagai kaisar menghadirkan sistem pemilihan demokratis terbatas. Pemerintah Prancis memberikan kesempatan pemungutan suara dari masyarakat yang beragam, namun terbatas pada kelas ekonomi tertentu.

Pemilihan langsung secara massalPemilu secara massal yang kompetitif berjalan selama abad ke-19 dan ke-20. Negara-negara di Eropa Barat adalah pengusungnya. Pemilu seperit ini berdampak pada keberagaman masyarakat seperti kehadiran partai.

Namun, konsekuensinya adalah di bawah rezim otoriter komunis yang menggunakan sistem satu partai. Sistem seperti ini berlangsung tidak kompetitif. Penerapan ini dilakukan oleh negara-negara Eropa Timur dan Uni Soviet. Sampa hari ini, negara satu partai berlaku di Tiongkok dan Korea Utara.

Pemilu yang dilakukan secara langsung oleh rakyat sebuah negara terjadi setelah dekolonisasi. Banyak negara-negara merdeka mulai menetapkan pemilihan umum untuk presiden-wakil presiden, dan lembaga legislatif (DPR dan DPD).

Namun, tidak sedikit negara-negara yang kembali ke rezim otoriter akibat pemilihan umum dan sistem pemerintahan demokratis yang lemah.

Gubernur jenderalAda banyak koloni atau jajahan milik negara-negara Eropa, sampai hari ini. Setiap koloni dipimpin oleh gubernur jenderal.

Pemerintah menunjuk gubernur jenderal sebagai agen pemerintahnya di koloni dan perwakilan raja. Baik raja maupun pemerintah dapat menolak gubernur jenderal. Biasanya kandidat gubernur jenderal berasal dari kalangan panglima tertinggi angkatan bersenjata di wilayahnya.

Sistem ini diadopsi oleh negara-negara Eropa, termasuk Indonesia yang saat itu masih menjadi Hindia Belanda di bawah Kerajaan Belanda. Sejak era VOC, pemerintah Belanda menentukan gubernur jenderal ditunjuk oleh raja Belanda. Pada 1848, gubernur jenderal dipilih oleh raja atas saran kabinet metropolitan Belanda.

Di Inggris, peraturan penentuan gubernur jenderal berubah pada 1920-an, terutama sejak Deklarasi Balfour. Fungsi gubernur jenderal bergeser menjadi lebih independen, namun tetap mewakili raja Inggris.

Sampai saat ini, di bawah Raja Charles III, ada tiga koloni yang memiliki status independen secara pemerintahan, yakni Kanada, Australia, dan Selandia Baru.