Nationalgeographic.co.id–Yamato merupakan kapal perang milik Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang menyandang gelar kapal terbesar dalam Perang Dunia II.
Beroperasi pertama kali pada bulan Desember 1941, Yamato dan saudaranya, Musashi, menjadi satu-satunya kapal yang dipersenjatai dengan meriam kaliber 460 milimeter.
Mengambil bagian dalam beberapa misi selama Perang Dunia II, kapal perang ini sayangnya harus dikorbankan selama invasi Sekutu ke Okinawa.
Desain IJN Yamato Kekaisaran Jepang
Arsitek angkatan laut di Jepang mulai mengerjakan kapal perang kelas Yamato pada tahun 1934, dengan Keiji Fukuda sebagai kepala perancang.
Kekaisaran Jepang memiliki ambisi untuk merancang kapal-kapal perang dengan keunggulan mutlak di laut. Mereka ingin membuat kapal paling besar dan kuat, hingga bagaimana caranya para musuh di kemudian hari tidak bisa menyainginnya.
Hal inilah yang mendorong kelahiran Yamato sebagai kapal perang raksasa dengan bobot 68.000 ton. Di sisi lain, meskipun sangat kuat, Yamato memiliki kecepatan maksimum sangat rendah. Hal ini dikarenakan mesin yang kurang bertenaga.
Meriam kaliber 460 milimeter dipilih sebagai senjata utama karena diyakini tidak ada kapal AS dengan senjata serupa yang mampu melewati Terusan Panama.
Menurut sejarawan dan pengamat militer dari Amerika, Kennedy Hickman, awalnya Yamato dirancang sebagai kelas yang terdiri dari lima kapal.
Namun, “hanya dua Yamato yang selesai dibangun sebagai kapal perang, sementara kapal ketiga, Shinano, diubah menjadi kapal induk selama pembangunan.” jelas Hickman.
Dengan disetujuinya desain Fukuda, rencana diam-diam bergerak maju untuk memperluas dan secara khusus menyiapkan dermaga kering di Galangan Angkatan Laut Kure. Yamato mulai dibangun pada tanggal 4 November 1937.
Untuk mencegah negara-negara asing mengetahui ukuran kapal yang sebenarnya, desain dan biaya Yamato dikotak-kotakkan. Hanya sedikit orang yang mengetahui ruang lingkup proyek sebenarnya.
Diluncurkan tanpa gembar-gembor pada 8 Agustus 1940, Yamato selesai dibangun dan mulai beroperasi pada 16 Desember 1941, tak lama setelah serangan ke Pearl Harbor dan awal Perang Dunia II di Pasifik.
Kapal ini dikomandani oleh Kapten Gihachi Takayanagi, dan bergabung dengan Divisi Kapal Perang ke-1.
Sejarah Operasional
Pada 12 Februari 1942, dua bulan setelah pengoperasiannya, Yamato menjadi kapal utama Armada Gabungan Kekaisaran Jepang yang dipimpin oleh Laksamana Isoroku Yamamoto.
Pada bulan Mei, Yamato berlayar sebagai bagian dari Badan Utama Yamamoto untuk mendukung serangan di Midway. Setelah kekalahan Jepang di Pertempuran Midway, kapal perang ini pindah ke tempat berlabuh di Atol Truk dan tiba pada bulan Agustus 1942.
“Kapal ini tetap berada di Truk selama hampir sepanjang tahun berikutnya sebagian besar karena kecepatannya yang lambat, konsumsi bahan bakar yang tinggi, dan kurangnya amunisi untuk pengeboman pantai,” terang Hickman.
Pada bulan 1943, Yamato berlayar ke Kure dengan beberapa senjata sekunder yang diubah dan penambahan radar baru Tipe-22. Namun, ketika kembali ke Truk pada bulan desember, kapal ini dihantam torpedo dari USS Skate dalam perjalanan.
Setelah perbaikan selesai pada bulan April 1944, Yamato bergabung dengan armada selama Pertempuran Laut Filipina pada bulan Juni.
Selama kekalahan Jepang, kapal perang ini bertugas sebagai pengawal Armada Bergerak Laksamana Muda Jisaburo Ozawa.
Menurut Hickman, pada bulan Oktober, Yamato menembakkan senjata utama untuk pertama kalinya dalam pertempuran selama kemenangan Amerika di Teluk Leyte.
“Meskipun terkena dua bom di Laut Sibuyan, kapal perang ini membantu menenggelamkan sebuah kapal pengawal dan beberapa kapal perusak di lepas pantai Samar,” jelas Hickman.
Pada bulan berikutnya, Yamato kembali ke Jepang untuk meningkatkan persenjataan anti-pesawatnya. Setelah pemutakhiran ini selesai, Yamato diserang oleh pesawat AS ketika berlayar di Laut Pedalaman pada 19 Maret 1945. Beruntung hanya terdapat kerusakan kecil.
Dengan invasi Sekutu ke Okinawa pada tanggal 1 April 1945, para petinggi militer Kekaisaran Jepang merancang Operasi Ten-Go.
Misi ini pada dasarnya adalah misi bunuh diri, di mana mereka memerintahkan Laksamana Muda Seiichi Ito untuk membawa Yamato ke selatan dan menyerang armada invasi Sekutu sebelum merapat di Pulau Okinawa.
Operasi Ten-Go
Meninggalkan Jepang pada tanggal 6 April 1945, Hickman menjelaskan, “para perwira Yamato memahami bahwa itu adalah pelayaran terakhir kapal tersebut.” Oleh karena itu, “mereka mengizinkan para kru untuk menikmati saki pada malam hari.”
Berlayar dengan pengawalan delapan kapal perusak dan satu kapal penjelajah ringan, Yamato tidak dilengkapi perlindungan udara.
Saat keluar dari Laut Pedalaman Seto, keberadaan Yamato terdeteksi oleh kapal selam Sekutu. Posisi Yamato dikunci oleh pesawat pengintai PBY Catalina AS keesokan paginya.
Menyerang dalam tiga gelombang, pesawat tukik SB2C Helldiver, menghujani rombongan kapal perang Jepang dengan bom dan roket. Pesawat pengebom torpedo TBF Avenger juga turut mengambil bagian dalam penyerangan ini.
Hickman menjabarkan, “pada pukul 14.02, laksamana memilih untuk membatalkan misi dan memerintahkan kru untuk meninggalkan kapal.”
Sekitar pukul 14.20, “kapal perang tersebut terguling dan mulai tenggelam sebelum akhirnya pecah akibat ledakan besar.”
Dari 2.778 awak kapal, hanya 280 orang yang berhasil diselamatkan. Angkatan Laut AS kehilangan sepuluh pesawat dan dua belas penerbang dalam serangan tersebut.