Hiroo Onoda, Tentara Jepang Terus Bertempur Meski Perang Dunia II Usai

By Hanny Nur Fadhilah, Senin, 26 Februari 2024 | 18:00 WIB
Dokumentasi ketika Hiroo Onoda dijemput di Pulau Lubang, Filipina. Presiden Marcos memaafkannya atas kejahatan perang dan memulangkannya ke negeri asalnya. Onoda bersedia pulang setelah bergerilya selama 29 tahun sejak Perang Dunia Kedua berakhir. (Public Domain)

Nationalgeographic.co.id—Hiroo Onoda adalah tentara Jepang berpegang teguh pada perintahnya. Dia bertahan selama 29 tahun di hutan Filipina dan tidak menyadari bahwa sejarah Perang Dunia II telah berakhir.

Hiroo Onoda melanjutkan perjuangannya, tabah dalam perang yang sudah lama berakhir di seluruh dunia.

Kisahnya adalah tentang kesetiaan yang tak tergoyahkan, kelangsungan hidup melawan segala rintangan, dan keterputusan yang mengejutkan dari dunia yang berubah dengan cepat.

Onoda lahir pada tanggal 19 Maret 1922, Jepang. Kehidupan awalnya, tipikal pemuda Jepang awal abad ke-20, dibentuk oleh masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai kesetiaan dan kewajiban.

Pada tahun 1940, pada usia 18 tahun, Onoda mendaftar di Tentara Kekaisaran Jepang. Selama menjadi tentara, Onoda menjalani pelatihan ketat, yang dirancang untuk menanamkan rasa disiplin yang kuat dan komitmen yang teguh kepada bangsa dan Kaisar.

Baca Juga: Perang Usai, Kenapa 3.500 Prajurit Perang Dunia II Masih 'Berpatroli'?

Baca Juga: Film 'Onoda', Kisah Nyata Gerilya Tentara Jepang Meski Perang Usai

Pada tahun 1944, ketika sejarah Perang Dunia II berkecamuk, nasib Onoda mengalami perubahan yang signifikan. Dia terpilih untuk pelatihan khusus di Sekolah Nakano, sebuah pusat pelatihan intelijen elit di Tokyo.

Di sini, Onoda dan orang-orang seperti dia dilatih dalam perang gerilya dan keterampilan bertahan hidup, sebuah kurikulum yang mencerminkan perubahan strategis Jepang dalam menanggapi perubahan gelombang perang. 

Pelatihan ini menekankan pentingnya pengumpulan intelijen, sabotase, dan kemampuan untuk hidup di lingkungan yang tidak bersahabat dan terisolasi. 

Keterampilan dan pola pikir yang dikembangkan selama periode ini di Sekolah Nakano nantinya menjadi penting bagi kelangsungan hidup Onoda di hutan Filipina.

Kenapa Hiroo Onoda ada di Pulau Lubang, Filipina?

Pada akhir Desember 1944, ketika sejarah Perang Dunia II mencapai tahap klimaksnya, Hiroo Onoda dikirim ke Pulau Lubang di Filipina. 

Dia dikirim dengan misi penting untuk mengganggu dan mengumpulkan intelijen mengenai operasi Sekutu.

Onoda, yang saat itu masih seorang letnan muda, tiba di pulau itu pada tanggal 26 Desember 1944. 

Setibanya di sana, Onoda dengan cepat menilai situasinya. Pulau ini, meskipun relatif kecil, memiliki medan yang menantang berupa hutan lebat dan perbukitan terjal, ideal untuk taktik perang gerilya yang dilatihnya.

Perintahnya dia harus melakukan operasi gerilya dan tidak menyerah dalam keadaan apa pun.

Hutan lebat di Pulau Lubang memberikan perlindungan sekaligus tantangan. Onoda dan kelompoknya harus beradaptasi dengan lingkungan yang keras, mencari makanan dan air dari daratan, dan terus bergerak untuk menghindari pasukan musuh.

Mereka bertahan hidup dengan makan kelapa, pisang, dan buah-buahan lainnya, kadang-kadang ditambah dengan ternak curian dari peternakan setempat.

Ketidaktahuan Onoda atas Kekalahan Jepang 

Pada awal tahun 1945, gelombang Perang Dunia II telah berbalik melawan Jepang. Pasukan Amerika mulai merebut kembali Filipina, termasuk mendarat di Pulau Lubang pada bulan Februari 1945.

Komunikasi dengan komando Jepang dibatasi dan akhirnya terhenti sama sekali. Kelompok tersebut telah diberi perintah tegas untuk tidak menyerah.

Jika tidak ada perintah langsung yang menyatakan sebaliknya, Onoda menafsirkan ini sebagai arahan untuk terus berperang.

Selebaran dan berita penyerahan Jepang pada bulan Agustus 1945 sampai kepada mereka, tetapi Onoda dan anak buahnya menganggap ini sebagai propaganda musuh, yang dirancang untuk memancing mereka keluar dari persembunyiannya.

Namun Onoda merasa skeptis. Terlatih dalam perang propaganda, dia menduga pesan-pesan ini adalah upaya Sekutu untuk mengelabui mereka agar menyerah. 

Hiroo Onoda adalah tentara Jepang bertahan di hutan Filipina dan tidak menyadari bahwa sejarah Perang Dunia II telah berakhir. (Yourstory)

Pelatihannya di Sekolah Nakano telah mempersiapkannya untuk mewaspadai taktik semacam itu, memperkuat tekadnya untuk terus berjuang sampai dia menerima perintah resmi dari atasannya.

Terisolasi di hutan lebat, Onoda dan sekelompok kecil rekan prajuritnya harus mengandalkan pelatihan dan kecerdikan mereka untuk bertahan.

Mereka terus-menerus hidup sembunyi-sembunyi, menghindari penangkapan dan tidak menonjolkan diri.

Dia mencari buah-buahan tropis, berburu binatang liar, dan memancing di sungai.

Selama tahun-tahun berikutnya, Onoda memimpin kelompoknya dalam melakukan operasi gerilya, percaya bahwa tindakan mereka berkontribusi terhadap upaya perang.

Mereka memperbaiki senjata dengan sedikit sumber daya yang mereka miliki dan membuat pakaian dari kulit pohon untuk menggantikan seragam mereka.

Meskipun banyak upaya yang dilakukan oleh penduduk setempat dan Angkatan Darat Filipina untuk meyakinkan mereka bahwa perang telah berakhir, keyakinan Onoda yang tak tergoyahkan terhadap perintahnya. 

Hal ini membuatnya tetap berperang dalam perang yang telah berakhir di seluruh dunia.

Seiring berlalunya waktu, ketiga rekan Onoda menyerah atau dibunuh, meninggalkannya sendirian pada tahun 1972. 

Onoda juga menjaga senjata dan amunisinya dengan sangat hati-hati. Meskipun iklim tropis, yang sangat keras terhadap logam dan material, ia berhasil menjaga senapan dan amunisinya yang terbatas dalam kondisi kerja selama ia tinggal. 

Kenapa Onoda Akhirnya Menyerah?

Bagi penduduk setempat, penolakan Onoda untuk menyerah dan operasi militer yang terus dilakukannya menimbulkan masalah yang nyata dan seringkali berbahaya.

Ada beberapa insiden di mana Onoda dan rekan-rekannya terlibat bentrokan dengan petani lokal dan polisi Filipina.

Pertemuan ini terkadang mengakibatkan cedera dan tragisnya, kematian. Onoda, yang beroperasi dengan keyakinan bahwa ia masih berperang, memandang warga sipil dan otoritas lokal ini sebagai ancaman potensial, sehingga menyebabkan konflik yang tidak dapat dihindari.

Masyarakat setempat hidup dalam ketidakpastian dan ketakutan akibat pertemuan yang sporadis namun berbahaya ini.

Kemungkinan tersandung pada Onoda atau kelompoknya menyebabkan kecemasan di antara penduduk pulau, yang mempengaruhi kehidupan dan aktivitas mereka sehari-hari.

Pertanian dan perikanan, yang penting bagi perekonomian dan penghidupan lokal, sering kali terganggu.

Beberapa wilayah di pulau itu menjadi zona larangan bepergian, karena penduduk setempat berusaha menghindari potensi konfrontasi dengan para penguasa.

Titik balik terjadi pada tahun 1974, hampir 30 tahun setelah perang berakhir. Norio Suzuki, seorang petualang muda Jepang yang tertarik dengan cerita Onoda, pergi ke Pulau Lubang untuk menemukannya.

Suzuki berhasil menemukan Onoda dan mencoba meyakinkannya untuk menyerah.

Namun Onoda yang masih konsisten dengan disiplin militernya menyatakan bahwa ia hanya akan menyerah jika komandannya memerintahkannya.

Pemerintah Filipina, pada gilirannya, menghadapi situasi yang sulit. Upaya untuk menyingkirkan Onoda secara damai dipersulit oleh penolakannya yang teguh untuk percaya bahwa perang telah berakhir.

Situasi ini memberikan tantangan bagi pihak berwenang dalam menyeimbangkan kebutuhan untuk menjamin keselamatan warga negaranya sambil mencoba menyelesaikan situasi tersebut tanpa kekerasan lebih lanjut.

Menyadari gawatnya situasi ini, pemerintah Jepang menemukan mantan komandan Onoda, Mayor Yoshimi Taniguchi, yang kemudian menjadi penjual buku.

Dalam kejadian yang tidak nyata, Taniguchi diterbangkan ke Pulau Lubang untuk memenuhi tugas terakhir masa perang.

Pada tanggal 9 Maret 1974, dalam momen yang emosional dan bersejarah, Taniguchi secara resmi memecat Onoda dari tugasnya.

Tindakan ini sangat penting bagi Onoda, yang menghormati rantai komando dan membutuhkan perintah resmi untuk mengakhiri kampanyenya.

Setelah menerima perintah tersebut, Onoda menyerah, menyerahkan pedangnya, senapan Arisaka yang masih berfungsi, amunisi, dan beberapa granat tangan, beserta belati keluarganya.

Onoda dan Kehidupan Modern

Setelah penyerahannya pada tahun 1974, Hiroo Onoda kembali ke Jepang. Pria yang telah begitu lama berpegang pada masa lalu tiba-tiba mendapati dirinya dibawa ke Jepang modern yang sangat berbeda dari apa yang ia tinggalkan pada tahun 1940an.

Transisi ini menimbulkan tantangan besar bagi Onoda, yang harus beradaptasi dengan masyarakat yang telah mengalami perubahan besar dalam teknologi, budaya, dan nilai-nilai.

Awalnya, Onoda berjuang dengan ketenaran barunya dan laju kehidupan modern. Dia mendapat perhatian luas dari media, dan kisahnya menjadi subjek buku dan dokumenter.

Dalam penampilan publik dan wawancara, ia sering bercerita tentang pengalamannya dan kesulitannya menyesuaikan diri dengan dunia yang hampir tidak ia kenali.

Meskipun awalnya mengalami kejutan budaya, ketahanan dan kemampuan beradaptasi Onoda, yang telah membantunya selama bertahun-tahun di hutan, membantunya menavigasi fase baru dalam hidupnya.

Pada tahun-tahun setelah kepulangannya, perspektif Onoda tentang ketidaksepakatannya yang lama mulai berkembang.

Ia menyatakan penyesalannya atas banyak nyawa yang hilang selama berada di Pulau Lubang, baik di kalangan rekan-rekannya maupun masyarakat setempat.

Refleksi ini mengarah pada perenungan yang lebih luas mengenai perang dan dampaknya terhadap individu dan masyarakat. 

Pengalaman unik Onoda membuatnya menjadi pembicara yang banyak dicari, dan ia sering berbagi pemikirannya tentang perang, perdamaian, dan semangat manusia.

Mencari kehidupan yang lebih tenang, Onoda pindah ke Brasil pada tahun 1975, di mana ia menjadi peternak sapi.

Onoda kembali ke Jepang pada tahun 1984 dan mendirikan kamp pendidikan bagi kaum muda di prefektur asalnya, Wakayama.

Melalui usaha ini, ia berupaya menanamkan nilai-nilai disiplin, keterampilan bertahan hidup, dan apresiasi terhadap alam kepada generasi muda.

Kehidupannya pasca menyerah menjadi perjalanan rekonsiliasi dengan masa lalunya dan upaya berkontribusi positif kepada masyarakat. Hiroo Onoda meninggal dunia pada 16 Januari 2014 di usia 91 tahun.