Para arkeolog mengidentifikasi salah satu jantung tersebut sebagai milik Toussaint de Perrien.
Ia menempatkan jantungnya di dalam cardiotaph (guci timah berbentuk hati). Jantung tersebut kemudian dikuburkan bersama istrinya, Louise de Quengo.
Praktik menyimpan jantung di abad ke-18 sebagai lambang cinta dalam sejarah dunia
Praktik menyimpan jantung—simbol kuno jiwa dan emosi—bukanlah hal yang aneh. Namun bagi orang-orang di abad ke-18, hal ini juga melambangkan sepasang kekasih yang dipersatukan dalam kematian.
Mungkin tokoh sastra yang paling terkenal adalah penyair, Percy Bysshe Shelley (1792-1822).
Shelley meninggal secara tragis pada usia 30 tahun, tenggelam ketika kapalnya, Don Juan, karam saat badai di lepas pantai Italia.
Jenazah Shelley, bersama dua temannya, terdampar di Teluk Spezia sepuluh hari kemudian.
Hukum Italia mengharuskan kremasi tubuh korban yang tenggelam. Jenazah Shelley dibaringkan di atas tumpukan kayu pemakaman di tepi laut. Pemakamannya dihadiri oleh tokoh-tokoh sastra seperti Lord Byron dan Leigh Hunt.
Kisah grafis novelis Edward John Trelawney yang mengekstraksi hati Shelley yang mengapur mengukuhkan legenda romantis yang mengerikan itu.
Disimpan oleh Hunt, hati itu akhirnya dikembalikan kepada istri Shelley, novelis Mary Shelley. Sang istri menyimpannya di laci meja selama sisa hidupnya.
Setahun setelah kematiannya, jantung itu ditemukan di mejanya. Jantung itu terbungkus dalam tas sutra dan dikelilingi oleh halaman-halaman Adonais, karya Percy.
Putra keluarga Shelley, Sir Percy Florence, membungkus dan menyimpan jantung ayahnya di Boscombe Manor. Setelah kematiannya pada tahun 1889, jantungnya disimpan di lemari besi keluarga di Gereja St Peter, Bournemouth.