Cerita dari Bali: Berziarah ke Desa Taro, 'Tempat Segala Keinginan Terkabul'

By Utomo Priyambodo, Senin, 4 Maret 2024 | 11:00 WIB
Para peserta Famtrip Desa Taro berfoto bersama di objek wisata Semara Ratih, salah satu destinasi wisata di Desa Taro yang berupa kawasan konservasi hutan bambu, dengan kafe menggantung di tepi jurang dan tempat melukat di sungai. (I Made Suparsa/Famtrip Desa Taro 2024)

Nationalgeographic.co.id—Malam liburan. Bulan di atas persawahan. Seribu kunang-kunang pedesaan, bukan kunang-kunang Manhattan, menerangi kawasan The Fire Flies Garden atau Taman Kunang-Kunang di Desa Taro, Bali.

Saya tidak sempat berkunjung ke Taman Kunang-Kunang pada Rabu malam itu, sepekan sebelum Hari Raya Galungan 2024. Ketika saya tiba di Nang Taro Homestay di Desa Taro, jarum pendek pada jam dinding sudah nyaris menunjuk ke angka 12. Hampir pukul 12 malam. Aga Akbel Pratama, Ramon Yusuf Tungka, dan saya tiba di Desa Taro ketika orang-orang lain dalam rombongan Famtrip Desa Taro yang akan kami ikuti sudah pulang dari taman konservasi "permata malam" tersebut.

Cerita mengenai suasana Taman Kunang-Kunang saya dapatkan dari Akmal Rafi Diara Putra yang menjadi salah satu peserta dalam rombongan famtrip tersebut dan I Ketut David, warga asli Desa Taro yang menjadi salah satu sopir dalam rangkaian perjalanan ini. Ribuan kunang-kunang itu, kata David, diambil dari tempat penangkaran yang tak jauh dari taman tersebut. Selain itu, kawasan persawahan tersebut sejak dahulu memang sudah menjadi habitat alami kawanan serangga nokturnal itu.

Ada dua kepercayaan mistis mengenai kunang-kunang dalam kebudayaan Bali. Yang pertama, kunang-kunang adalah pembimbing dari jiwa yang hilang. Yang kedua, kunang-kunang adalah sisa kuku dari seseorang yang telah meninggal. Mana yang Anda percayai?

The Fire Flies Garden atau Taman Kunang-Kunang adalah salah satu destinasi wisata pilihan di Desa Taro yang dapat dikunjungi saat malam hari. (I Made Suparsa/Famtrip Desa Taro 2024)

Saya lebih percaya bahwa perut yang lapar bisa membuat mata berkunang-kunang. Jadi, setibanya di Desa Taro, saya langsung menyantap nasi kotak yang telah disediakan panitia. Ini makan malam yang terlampau telat. Bahkan hari sudah nyaris berganti. Namun saya bersyukur mendapatkan makanan ini karena bagi orang Depok seperti saya, nasi campur bali adalah menu makan yang jarang sekali ditemui.

Selesai makan nasi campur bali dalam kotak kemasan di teras sekaligus ruang makan Nang Taro Homestay, Aga langsung masuk ke kamar dan tidur. Saya dan Ramon masih menghabiskan waktu bercengkrama.

Bhumi Sarwa Ada

Sebelumnya, kami sempat bertanya-tanya mengapa Desa Taro berjuluk Pusering Jagat atau pusat semesta? Mengapa pula desa ini sempat diberi nama Bhumi Sarwa Ada yang berarti bumi serba ada atau tempat segala keinginan terkabul? Kami berencana akan mencari tahu jawabannya.

Obrolan kami tidak melulu soal pekerjaan meliput desa ini yang bagi Ramon sudah seperti mengerjakan hobi jalan-jalan dan bagi saya cuma sekadar melakoni hobi menulis. Kebanyakan obrolan kami lebih cenderung ke topik umum dan personal.

Dalam perbincangan itu Ramon menceritakan riwayat kariernya sebelum kini dikenal sebagai pembawa acara jalan-jalan atau petualangan. Saya bertanya, mana yang lebih dahulu ia lakoni di awal karier: menjadi VJ MTV atau aktor utama dalam film Catatan Akhir Sekolah?

Jawabannya terbang ke masa kuliahnya. Kegiatan pertama yang Ramon geluti dan cintai, sejatinya adalah menjadi anggota mahasiwa pecinta alam di kampusnya di Surabaya. Di masa kuliah itulah ia menyambi menjadi penyiar radio dan kemudian lolos seleksi VJ Hunt MTV yang diadakan di kantor radionya.

Dan saat menjalani karantina dalam program MTV itulah dia ditawari casting sebuah film. Lalu akhirnya dia terpilih untuk beradu akting dengan Vino G. Bastian, Marcel Chandrawinata, Joanna Alexandra, dan Christian Sugiono dalam film Catatan Akhir Sekolah karya Hanung Bramantyo.

Perbincangan kami berakhir pukul 1 dini hari saat tiba-tiba terdengar suara berisik dari sepasang warga asing alias bule dari satu kamar homestay yang paling dekat dengan area makan ini. "Wah, ngewe tuh!" seru Ramon. Kami pun bubar, masuk kamar masing-masing.

Para peserta Famtrip Desa Taro berfoto di depan gerbang Pura Agung Gunung Raung, pura tertua di Bali. (I Made Suparsa/Famtrip Desa Taro 2024)

Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Taro, I Wayan Gede Ardika, mengatakan kepada saya bahwa warga Bali, termasuk warga Desa Taro, tidak pernah terganggu dengan kehadiran turis asing yang berpakaian agak terbuka. Bahkan saat mereka sedang beribadah sekalipun.

Warga Bali biasa beribadah atau sembahyang di mana saja dan para turis biasa lewat di depan atau di samping orang-orang Bali yang sedang beribadah itu. "Kami tidak pernah terganggu kalaupun ada pengunjung yang anaknya nangis, ada yang ribut-ribut, atau ada yang berpakaian seksi. Kekhusyukan ibadah tergantung pada diri masing-masing," tutur Ardika.

Kekhusyukan tidur saya jelas tergantung pada kebersihan tubuh saya. Saya sudah terbiasa untuk selalu mandi sebelum tidur malam. Jadi pada dini hari itu pun saya memutuskan untuk mandi dahulu sebelum tidur. Setelah meratakan busa sabun di badan dan sampo di kepala, tiba-tiba shower di kamar mandi berhenti beroperasi. Saya teriak bertanya apakah Aga, teman sekamar saya, memencet saklar tertentu sehingga air kamar mandi berhenti mengalir.

Aga tersentak, terbangun dari tidurnya. Dia terkejut mendengar teriakan saya dari kamar mandi dalam kamar kami padahal yaum sudah dini hari. Dia lantas bersumpah tidak menekan tombol atau saklar apa pun bahkan dalam mimpinya sekalipun.

Mata saya masih perih karena sampo yang belum sempat dibilas. Saya pakai kembali celana kotor saya dan beranjak ke kamar mandi luar kamar. Sama, air di dua kamar mandi luar pun habis, tidak keluar. Akhirnya saya mendapat ide memakai air minum dari beberapa botol kemasan untuk membilas tubuh yang penuh sampo dan sabun.

Besok paginya, Kamis, Ramon mengalami kejadian serupa. Dia mengirim pesan WhatsApp kepada saya dari kamarnya, "Tom. Air mati ya?"

"Iya, Bang. Dari semalem."

"Jir, badan gw separo sabun."

"Wkwkwk semalem mata gw masih pedih sampoan, Bang, tiba2 air mati."

"Trus. Udah nih kaga nyala?"

"Pake air minum, Bang,"

"Fakkk + (emoticon lol)."

Hari itu I Wayan Warke, Kepala Desa Taro sekaligus pemilik Nang Taro Homestay, menjelaskan kepada kami bahwa saklar otomatis (on-off) mesin airnya rusak. Dia berjanji akan menggantinya pada hari itu juga.

Para peserta lain famtrip menginap di beberapa homestay yang berbeda. Cerita kehabisan air atau air mati tidak kami dapatkan dari para peserta lain tersebut.

Desa Taro memiliki lebih dari 20 kamar homestay yang tersebar di beberapa titik. Kini, penduduk desa sedang membangun puluhan kamar lainnya, menargetkan mereka akan memiliki total 50 kamar homestay pada akhir tahun 2024 ini. Harga sewa kamar homestay di Desa Taro berkisar Rp250.000 hingga Rp350.000 per kamar per malam, bisa diisi dua orang, dan sudah termasuk jatah sarapan (breakfast).

Perjalanan menyusuri Sungai Yeh Pikat hingga bertemu Air Terjun Yeh Pikat di Desa Taro. (I Made Suparsa/Famtrip Desa Taro 2024)

Yeh Pikat

Kamis pagi hari. Destinasi pertama saya, Aga, dan Ramon, tetapi kesekian bagi para peserta lain dalam rombongan famtrip ini adalah Sungai Yeh Pikat. Yeh Pikat berasal dari kata “Yeh” yang artinya air, dan “Pikat” yang artinya menarik. Sungai Yeh Pikat merupakan pertemuan antara dua aliran sungai yang biasa disebut campuhan.

Yeh Pikat tersebut adalah mata air di desa Taro yang memberi banyak manfaat bagi masyarakat Desa Taro. Baik untuk kegiatan keagamaan maupun kegiatan keperluan sehari-hari lainnya. Sumber mata air Yeh Pikat sering digunakan sebagai tempat upacara pembersihan pikiran dan jiwa secara spiritual oleh masyarakat Bali yang disebut melukat, yakni dengan menggunakan air sebagai sarana upacara tersebut.

Pagi itu kami melakukan trekking menyusuri Sungai Yeh Pikat yang berujung ke Air Terjun Yeh Pikat. Ini adalah air terjun kecil. Tidak sebesar Air Terjun Trummelbach di Lauterbrunnen yang pernah saya lihat. Meski kecil, Air Terjun Yeh Pikat sangat berfaedah karena menjelma menjadi salah satu sumber kehidupan bagi warga Desa Taro.

Meski tidak terlalu berat, rute menuju Air Terjun Yeh Pikat cukup menantang. Kami harus menuruni tebing dengan tangga-tangga batu yang curam. Lalu meniti jalan di atas jalinan batang-batang bambu di tepi sungai. Bambu-bambu itu berderak setiap kali diinjak.

Meniti jalan di jalinan bambu saat trekking di Sungai Yeh Pikat di Desa Taro. (Instagram @desawisatataro)

Belakangan kami, para peserta famtrip, baru tahu bahwa ada opsi jalur lain untuk mencapai air terjun itu. Jalur yang rutenya lebih pendek dan lebih mudah untuk dilalui. Saya bersyukur kami diarahkan pulang lewat jalur lain itu setelah sebelumnya melewati jalur yang lebih jauh dan berliku.

Di jalur pergi, kami semua "dipaksa" merendamkan kaki ke air sungai. Pada awalnya saya bisa melangkahi dan memijaki batu-batu di sungai agar kaki tak basah. Namun pada akhirnya saya harus menceburkan kaki juga di aliran air sungai karena di segmen tertentu tak ada batu yang bisa dipijak.

Sepatu saya lepas, saya ganti dengan sandal jepit. Air sungai yang dangkal, hanya sebetis, terasa dingin dan segar mengisi pori-pori kulit.

Saya terus jalan nyeker hingga mencapai Air Terjun Yeh Pikat. Air terjun ini adalah shower alami yang memikat.

Ramon membasuh mukanya dengan air dari Air Terjun Yeh Pikat. (Dok Pribadi)

Tak jauh dari air terjun ada kolam melukat. Kolam yang dipancuri dengan tiga pipa air alami. Melukat adalah upacara pembersihan pikiran dan jiwa secara spiritual dalam diri manusia lewat metode membasuh tubuh dengan air.

Saya membasuh tubuh saya dengan air di kolam melukat itu. Segar! Terkadang kita memang perlu tahu bagaimana rasanya kesulitan mendapatkan air agar bisa menghargai betapa pentingnya keberadaan air bersih ini.

Keringnya tubuh saya yang belum mandi pagi lantaran perkara mesin air mati bisa terobati dengan segarnya air alami di Yeh Pikat. Keinginan saya untuk mendapatkan air segar untuk membilas tubuh akhirnya terkabul!

Udara segar pagi di Yeh Pikat juga menambah unsur kenikmatan. Jalur sungai Yeh Pikat ini dihimpit oleh tebing-tebing curam yang ditumbuhi oleh palem, bambu, dan pohon-pohon lainnya. Oksigen yang diproduksi oleh pohon-pohon hutan itu menyegarkan paru-paru saya seperti halnya air alami yang membasuh pori-pori kulit.

Di sekitar kolam melukat itu, rombongan kami kemudian menyantap bubur taro yang dibuat dari bubur beras tawar yang kemudian dibubuhi bumbu kacang, sayur-sayuran berupa labu, bayam, dan tauge, bawang goreng, dan kerupuk. Peralatan makan yang disediakan Pokdarwis Desa Taro ini seluruhnya terbuat dari alam dan ramah lingkungan.

Piring kami terbuat dari anyaman rotan yang bisa dipakan berulang lain, lalu dialasi daum pisang. Adapun sendok kami terbuat dari potongan janur, daun muda dari pohon palem-paleman.

Bubur taro yang dihidangkan di atas piranti makan yang ramah lingkungan. (Dok Pribadi)

Kearifan Lokal

Piranti makan itu hanya salah satu dari banyak bentuk kearifan lokal Desa Taro. Banyaknya destinasi wisata dan nila-nilai keberlanjutan yang ada dalam Desa Taro membuatnya masuk ke dalam Ppgrade Programme di United Nations World Tourism Organization (UNWTO) 2023.

Desa Taro menjadi salah satu dari 20 desa bimbingan yang dipersiapkan untuk menjadi Best Tourism Villages UNWTO di periode selanjutnya, yang berarti pada tahun 2024 ini. Desa-desa tersebut terdaftar di bawah UNWTO Best Tourism Villages Upgrade Programme yang merupakan desa-desa dengan potensi besar dari berbagai penjuru dunia.

Jalur trekking di Sungai Yeh Pikat di Desa Taro. (I Made Suparsa/Famtrip Desa Taro 2024)

Best Tourism Villages diadakan untuk menjaring desa percontohan yang berhasil mengembangkan pariwisata, dengan memberdayakan komunitas masyarakat setempat, dan melestarikan tradisi serta warisan lokal. Upgrade programme sendiri merupakan program pemberian dukungan dari UNWTO dan mitra kepada desa wisata yang hampir memenuhi kriteria sebagai Best Tourism Villages, tetapi masih kurang dalam beberapa aspek penilaian.

Dari kegiatan famtrip ini saya jadi tahu bahwa Desa Taro punya reputasi sebagai desa eco-spiritual. Ada banyak cerita "mistis" atau terkait spiritual yang saya temui di sini. Mulai dari cerita relawan pengurus objek wisata Lembu Putih hingga cerita keluarga jero mangku atau pemangku adat di Desa Taro.

Cerita kearifan lokal mengenai praktik-praktik menjaga lingkungan juga sarat di desa adat tertua di Bali ini. Cerita pengalaman saya menziarahi desa yang memiliki pura tertua di Bali ini masih akan terus berlanjut....