Nationalgeographic.co.id - Di balik sejarah Kekaisaran Ottoman yang panjang dan kaya, terdapat kisah-kisah mistis yang jarang diketahui oleh khalayak umum.
Di dunia akademis, ilmu gaib Ottoman telah diteliti secara sporadis sejak tahun 1990-an. Namun, perhatian yang lebih besar terhadap ilmu gaib dan supranatural Ottoman baru diberikan pada tahun 2010-an.
Lantas, seperti apa kisah-kisah mistis yang beredar di Kekaisaran Ottoman? Dan apakah sebagian besar masyarakat kala itu mempercayainya?
Literatur Aja'ib Kekaisaran Ottoman
Menurut Rama Narendra, dilansir dari laman HistoryHub, salah satu sumber supranatural Ottoman yang paling utama adalah “aja'ib”.
“Literatur aja’ib adalah sebuah genre sastra Islam yang berakar pada abad ke-9, meskipun baru berkembang pesat pada abad ke-13 dan ke-14 dengan kemunculan penulis sohor al-Qazwini (1203-1283) dan al-Dimashqi (wafat 1327),” kata Narendra.
Literatur ini terdiri dari cerita-cerita kecil atau anekdot tentang keajaiban dunia, seperti kisah-kisah jin, raksasa, putri duyung, bukit yang bisa bergerak, dan cermin ajaib. Literatur ini juga membahas keajaiban 'alamiah' seperti kembar siam dan hermafrodit.
Dibandingkan dengan era sebelumnya, penulis Ottoman hanya menghasilkan karya sastra aja'ib yang relatif sedikit.
Beberapa literatur aja'ib Kekaisaran Ottoman kebanyakan berasal dari abad ke-15 hingga ke-16. Penulis seperti Yazıcıoglu Ahmed Bican, Asik Mehmed, atau Cinani, menciptakan karya-karyanya dengan berbagai kisah orisinil dari Balkan dan bagian lain Kekaisaran.
Sastra Aja'ib mulai ditinggalkan pada abad ke-18, dengan sebagian besar karya sastra yang diterbitkan adalah reproduksi dari karya-karya yang lebih tua. Tidak diketahui pasti mengapa hal ini terjadi.
Namun, Narendra menduga, “salah satu alasannya adalah pendekatan ‘rasionalis’ yang semakin meningkat dari kaum intelektual Ottoman yang dipengaruhi oleh pemikiran Pencerahan membuat sedikit ruang untuk keajaiban yang luar biasa, meskipun mereka tidak sepenuhnya menyangkal keberadaannya.”
Kendati demikian, tidak berarti literatur aja’ib hilang dari kekaisaran Ottoman. Karya-karya tersebut masih beredar luas dan secara teratur dipesan oleh para pangeran dan pejabat tinggi. Hanya saja jumlah karya aja'ib yang diterbitkan merosot.
Hantu dan Roh dalam Kekaisaran Ottoman
Di era Ottoman, kisah-kisah seputar roh baik dan jahat yang berkeliaran di dunia adalah hal yang umum.
Roh-roh 'baik' biasanya adalah jiwa-jiwa prajurit yang gagah berani atau orang suci yang taat. Mereka kembali ke dunia untuk membantu orang yang masih hidup maupun menangani urusan yang belum selesai semasa hidup.
Seorang cendekiawan dan mistikus abad ke-15, Hoca Sinan Pasha, mengungkap tentara tak kasat mata yang berada dalam barisan pasukan sultan.
“Mereka adalah pasukan jiwa-jiwa dari dunia gaib, dan salah satunya adalah yang tertinggi. Mereka mengenakan kostum mereka berupa topi berpuncak, terkadang berpakaian putih dan terkadang berpakaian hitam, dan mereka mengendarai kuda yang terkadang jinak dan terkadang liar,” tulisnya.
Menurut Sinan, tentara gaib ini adalah pasukan yang akan menyerang terlebih dahulu sebelum pertempuran fisik sesungguhnya dimulai. “ … jika Anda tidak dapat melihat bagaimana mereka melakukannya, itu karena Anda tidak memiliki penglihatan [yang tepat]."
Di sisi lain, roh-roh 'Jahat' adalah roh-roh yang mengganggu atau merasuki orang yang masih hidup karena satu dan lain hal. Kisah-kisah tentang roh-roh ini sering muncul dalam literatur aja'ib.
Perlu dicatat, cendekiawan dan mazhab-mazhab Islam, memiliki pandangan yang bervariasi tentang roh. Beberapa sarjana Islam yang setuju bahwa roh bisa mengembara dan bahkan berinteraksi dengan yang hidup ialah al-Ghazali, al-Jawziya, dan al-Suyuti.
Antara Kebenaran dan Fiksi
Salah satu pertanyaan terbesar dari kisah-kisah hantu ini adalah masalah kepercayaan. Tentu saja, kisah-kisah ini sulit dipercaya oleh akal kita saat ini.
Lantas, apakah orang-orang Ottoman percaya begitu saja pada kisah-kisah ini? Jawaban pastinya masih belum jelas, meskipun tampaknya campuran dari keduanya.
“Kisah-kisah Aja'ib tidak ditulis secara merata, ada yang ditulis untuk tujuan hiburan atau sastra, ada pula yang ditulis untuk membuktikan suatu hal dalam pemikiran keagamaan,” jelas Narendra.
Penulis seperti Evliya Celebi, misalnya, meskipun ia menulis cerita aja'ib seolah-olah ia percaya pada hantu, penyihir, dan tempat-tempat magis, Celebi sering mengakui bahwa ia hanya menceritakan sebuah dongeng untuk hiburan.
Banyak literatur aja'ib Ottoman yang ditulis sebagai hiburan, meskipun beberapa lainya ditulis seperti karya kosmologis–kisah-kisah ini diceritakan sebagai kejadian nyata yang bersandar dengan sumber-sumber dapat dipercaya dan diandalkan.
Pada abad ke-17 dan ke-18, berbagai kisah tentang roh-roh baik, khususnya, ditulis seolah-olah sebuah kebenaran dan tampaknya untuk dipercaya. Masa ini bertepatan dengan "pengagungan ulama dan syekh sufi".
“Para ulama dan mistikus Sufi semakin digambarkan sebagai sosok yang mampu melakukan perjalanan melalui alam spiritual,” jelas Narendra. “Kisah-kisah Aja'ib tentang orang-orang suci yang taat mengunjungi orang-orang yang masih hidup ditulis untuk menegaskan keyakinan ini lebih jauh.”