Terdapat beberapa versi dalam prosiding karya Widya Putri Ryolita yang berjudul Variasi Legenda Ki Ageng Mangir Berdasarkan Tradisi Masyarakat Pendukung (2017), yakni dari versi abdi dalem dan versi keturunan dari Wonoboyo III.
Versi pertama, setelah Putri Pembayun melaksanakan tugas dari ayahnya, ia mulai memasuki kawasan Mangir dan menarik perhatian orang-orang yang ada di sana. Tak terkecuali Wonoboyo III yang terpesona melihatnya.
Wonoboyo III pun melakukan pendekatan karena telah jatuh hati. Tak terkecuali juga Pembayun yang ternyata juga mencintai Wonoboyo III. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk menikah.
Ketika prosesi penikahan dilangsungkan, dalam adat Mataram, Wonoboyo III melakukan sungkeman kepada bapak mertuanya, Panembahan Senapati. Tanpa persenjataan yang melindungi dan keikhlasan hati, ia merunduk ke kaki mertuanya.
Nampak dalam jiwa Panembahan Senapati untuk dapat menaklukkan Mangir, dengan cara menyerang Wonoboyo III, menantunya sendiri. Dalam keadaan tidak siap, secara mengejutkan sang raja membenturkan kepala Wonoboyo ke batu yang dipijaknya.
Benturan kerasnya itu membuat lekukan pada batu yang dipijak Panembahan Senapati yang dikenal dengan watu gilang. Digambarkan bahwa kepala Wononoyo III dibenturkan hingga pecah dan mati seketika secara tragis.
Pada versi kedua, hampir tak jauh berbeda. Setelah jatuh hati dan menikah, Pembayuan yang tengah mengandung anak Wonoboyo III, mengaku bahwa dia merupakan putri dari Panembahan Senapati, lawannya dalam sengketa Mangir.
Mengetahui hal tersebut, Wonoboyo III pun marah bukan kepalang karena merasa dikhianati. Ia pun bahkan dengan tega berencana akan membunuh istrinya itu. Namun, bagi Pembayun, anak yang dikandungnya adalah bukti cintanya kepada Wonoboyo III.
Mendengar hal tersebut, Wonoboyo III pun luluh dan menggagalkan rencananya. Hingga momen sowan menghadap mertuanya pun terjadi. Sejak memasuki singgasana sang raja, abdi dalem Mataram telah meminta Wonoboyo III untuk meletakkan semua senjatanya.
Tanpa ada perlindungan diri, dengan ikhlas menghadap mertuanya, Wonoboyo III pun melakukan prosesi sungkem. Merunduk penuh dengan kerendahan dan hormat kepada mertuanya. Namun, tidak dengan Panembahan Senapati.
Ia masih menempatkan dendam dan ambisinya untuk mendapatkan Mangir sebagai bagian dari kekuasaan Mataram. Maka dengan sekejap, ritus sungkenan berubah menjadi tragedi berdarah. Dihantamkannya kepala Wonoboyo III ke batu pijakan Panembahan hingga pecah.
Batu itu bahkan digambarkan hingga berubah menjadi cekung akibat kerasnya hantaman. Kisah ini menjadi legenda tragis yang menyelimuti kisah Wonoboyo III yang kemudian dikenal juga dengan Ki Ageng Mangir.