Nationalgeographic.co.id—Mangir merupakan nama dari sebuah dusun yang berada di Kelurahan Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul. Dusun ini terbilang bersejarah, karena latar belakang legenda yang mengakar kuat di masyarakatnya.
Secara historis, berangsur-angsur, Mangir dipimpin oleh Dinasti Wonoboyo. Di mana, pada saat Panembahan Senapati, penguasa Mataram berkuasa, Mangir dipimpin oleh Wonoboyo III, yang melanjutkan tahta dari Wonoboyo I dan Wonoboyo II.
Dalam legenda ini, Wonoboyo III juga lekat dengan julukan Ki Ageng Mangir atau lengkapnya Ki Ageng Mangir Wonoboyo III.
Wonoboyo III mengemban mandat dari para leluhurnya dengan menganggap "Mangir sebagai perdikan dari Kerajaan Majapahit," tulis Sudartomo Macaryus dalam prosidingnya berjudul Legenda Wonoboyo: Persepsi Masyarakat Perdikan Mangir, terbitan tahun 2017.
Akibat status perdikan itu, Wonoboyo III dan masyarakatnya merasa bahwa mereka tidak memiliki kewajiban untuk pasok glondhong pengareng-areng, atau menyerahkan hasil panen sebagai pajak kepada Majapahit.
Setelah Majapahit runtuh, Perdikan Mangir menjadi incaran Kerajaan Mataram. Namun, sejarah mencatat bahwa Wonoboyo III tidak mau tunduk kepada Mataram. Oleh Wonoboyo III, Mangir dipertahankan sebagai daerah perdikan yang bebas dari intervensi kuasa.
Beberapa kali Panembahan Senapati mengirimkan delegasi untuk berunding dan bernegosiasi. Tujuannya untuk membawa Mangir ke dalam bagian dari vassal Mataram. Namun, beberapa kali pula tawaran itu ditolak Wonoboyo III.
Bukan tanpa alasan penolakan itu. Bagi masyarakat Mangir, wilayah mereka sangat subur dan berpotensi menjadi lumbung padi dari Kerajaan Mataram. Dengan keberaniannya, Wonoboyo III tidak mau memenuhi harapan Kerajaan Mataram.
Penolakan demi penolakan inilah yang pada akhirnya menimbulkan gejolak di antara Mangir dengan Mataram. Panembahan Senapati mulai menyusun rencana yang tak terduga demi membawa Mangir ke dalam integrasi kuasa Mataram.
Menyadari tentang kesulitan untuk menaklukkan Mangir lewat sebuah peperangan, Panembahan Senapati juga menghindarkan adanya konflik berdarah yang akan merugikan kedua belah pihak.
Maka dari itu, siasat yang dilakukan adalah menyusun rencana agar putri dari Panembahan Senapati bernama Pembayun, untuk menyamar menjadi penari jalanan. Tujuannya untuk menarik Wonoboyo III yang keras kepala.
Terdapat beberapa versi dalam prosiding karya Widya Putri Ryolita yang berjudul Variasi Legenda Ki Ageng Mangir Berdasarkan Tradisi Masyarakat Pendukung (2017), yakni dari versi abdi dalem dan versi keturunan dari Wonoboyo III.
Versi pertama, setelah Putri Pembayun melaksanakan tugas dari ayahnya, ia mulai memasuki kawasan Mangir dan menarik perhatian orang-orang yang ada di sana. Tak terkecuali Wonoboyo III yang terpesona melihatnya.
Wonoboyo III pun melakukan pendekatan karena telah jatuh hati. Tak terkecuali juga Pembayun yang ternyata juga mencintai Wonoboyo III. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk menikah.
Ketika prosesi penikahan dilangsungkan, dalam adat Mataram, Wonoboyo III melakukan sungkeman kepada bapak mertuanya, Panembahan Senapati. Tanpa persenjataan yang melindungi dan keikhlasan hati, ia merunduk ke kaki mertuanya.
Nampak dalam jiwa Panembahan Senapati untuk dapat menaklukkan Mangir, dengan cara menyerang Wonoboyo III, menantunya sendiri. Dalam keadaan tidak siap, secara mengejutkan sang raja membenturkan kepala Wonoboyo ke batu yang dipijaknya.
Benturan kerasnya itu membuat lekukan pada batu yang dipijak Panembahan Senapati yang dikenal dengan watu gilang. Digambarkan bahwa kepala Wononoyo III dibenturkan hingga pecah dan mati seketika secara tragis.
Pada versi kedua, hampir tak jauh berbeda. Setelah jatuh hati dan menikah, Pembayuan yang tengah mengandung anak Wonoboyo III, mengaku bahwa dia merupakan putri dari Panembahan Senapati, lawannya dalam sengketa Mangir.
Mengetahui hal tersebut, Wonoboyo III pun marah bukan kepalang karena merasa dikhianati. Ia pun bahkan dengan tega berencana akan membunuh istrinya itu. Namun, bagi Pembayun, anak yang dikandungnya adalah bukti cintanya kepada Wonoboyo III.
Mendengar hal tersebut, Wonoboyo III pun luluh dan menggagalkan rencananya. Hingga momen sowan menghadap mertuanya pun terjadi. Sejak memasuki singgasana sang raja, abdi dalem Mataram telah meminta Wonoboyo III untuk meletakkan semua senjatanya.
Tanpa ada perlindungan diri, dengan ikhlas menghadap mertuanya, Wonoboyo III pun melakukan prosesi sungkem. Merunduk penuh dengan kerendahan dan hormat kepada mertuanya. Namun, tidak dengan Panembahan Senapati.
Ia masih menempatkan dendam dan ambisinya untuk mendapatkan Mangir sebagai bagian dari kekuasaan Mataram. Maka dengan sekejap, ritus sungkenan berubah menjadi tragedi berdarah. Dihantamkannya kepala Wonoboyo III ke batu pijakan Panembahan hingga pecah.
Batu itu bahkan digambarkan hingga berubah menjadi cekung akibat kerasnya hantaman. Kisah ini menjadi legenda tragis yang menyelimuti kisah Wonoboyo III yang kemudian dikenal juga dengan Ki Ageng Mangir.