Sejarah Dunia Kuno: Singkap Misteri Kehidupan Sang Buddha di Lumbini

By Sysilia Tanhati, Rabu, 6 Maret 2024 | 17:00 WIB
Dalam sejarah dunia kuno, Lumbini diyakini sebagai tempat lahirnya Siddharta Gautama. ()

Nationalgeographic.co.id—Berabad-abad yang lalu, seorang pria dari Kapilavastu (sekarang Nepal), meninggalkan keluarga dan kekayaannya untuk mencari ilmu sejati. Dia meninggalkan istananya sebagai Siddhartha Gautama dan menjadi Buddha—Yang Tercerahkan. Dalam sejarah dunia, ajarannya menjadi landasan keyakinan yang saat ini memiliki 500 juta pengikut.

Pakar agama Karen Armstrong menulis biografi tentang Sang Buddha pada tahun 2001. Menurutnya, sebagian umat Buddha mungkin menyatakan bahwa menulis biografi tersebut adalah hal yang sangat tidak sesuai dengan ajaran Buddha. Semasa hidupnya, Sang Buddha terkenal dengan ajarannya, namun Beliau tidak ingin pengikutnya mengabdi secara eksklusif kepadanya.

“Para sejarawan pun menemukan beberapa tantangan,” tulis Veronica Walker di laman National Geographic. Teks-teks keagamaan tentang ajaran Buddha berlimpah. Namun fakta-fakta konkrit tentang kehidupan pribadinya—termasuk masa hidupnya—hanya sedikit.

Para sarjana beralih ke arkeologi untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang kehidupan Buddha. Mereka pun menjelajahi situs-situs suci yang berkaitan dengan Buddha. Dalam dua dekade terakhir, penggalian di situs Warisan Dunia UNESCO di Lumbini, Nepal, telah menemukan beberapa penemuan menakjubkan. Termasuk kuil Buddha paling awal di dunia. Lumbini adalah tempat lahirnya Siddhartha Gautama menurut tradisi.

Temuan-temuan ini memberikan lebih banyak pencerahan mengenai perkembangan awal agama Buddha dan peran Ashoka Agung dalam penyebaran ajaran Buddha. Temuan tersebut juga memberikan informasi penting dalam upaya menentukan kapan Siddhartha lahir, kapan dia hidup, dan kapan dia meninggal.

Menjadi Buddha

Umat ​​Buddha saat ini mengamalkan keyakinan mereka di seluruh dunia. “Konsentrasi besar umat Buddha terdapat di Asia Timur, khususnya Tiongkok, Thailand, dan Jepang,” tambah Walker.

Ketika menyebar, agama ini terpecah menjadi aliran-aliran yang berbeda dengan penafsiran agama yang berbeda-beda. Termasuk teks-teks utama yang berbeda-beda yang memerinci keyakinan inti masing-masing aliran.

Teks suci tersebut menggambarkan kehidupan awal Siddhartha sebagai bagian dari Klan Shakya yang kaya dan berkuasa. Klan tersebut menguasai suatu wilayah di timur laut anak benua India. Orang tuanya adalah Suddhodana dan Maya. Dalam upaya untuk melindungi Siddhartha dari kejahatan dunia, ayahnya mengisolasi dia di Kapilavastu. Tujuannya adalah untuk mengisolasi sang putra dari rasa sakit dan penderitaan.

Baru pada usia 29 tahun Siddhartha, yang telah menjadi seorang suami dan ayah, menjadi kecewa dengan kehidupan di istana. Ia berkelana ke dunia di mana untuk pertama kalinya dia menghadapi kenyataan hidup yang keras. Ia menemukan penyakit, usia tua, dan kematian.

Meninggalkan keluarga, ia melepaskan kenyamanan untuk pergi ke dunia mencari kebijaksanaan dan mengakhiri penderitaan manusia.

Di Bodh Gaya, timur laut India, Siddhartha menemukan jawabannya saat dia duduk di bawah pohon ara suci (Ficus religiosa). Pohon tersebut juga dikenal sebagai bodhi. Di sana, ia mencapai pencerahan, atau nirwana. Dalam keadaan baru ini, ia dikenal sebagai Buddha, yang berarti “yang telah mencapai pencerahan”.

Di Bodh Gaya, timur laut India, Siddhartha menemukan jawabannya saat dia duduk di bawah pohon ara suci (Ficus religiosa). Pohon tersebut juga dikenal sebagai bhodi. Di sana, ia mencapai pencerahan, atau nirwana. (Neil Satyam)

Para ahli percaya bahwa Siddhartha mengajar orang lain dan sebuah sekte, yang kemudian dikenal sebagai Sangha. Di antara ajarannya adalah anjuran untuk meninggalkan keduniawian dan keterikatan untuk mencapai keadaan nirwana. Keyakinan umum umat Buddha adalah bahwa kebanyakan orang harus mengulangi siklus kematian dan kelahiran kembali selama beberapa masa kehidupan, sebuah proses yang disebut samsara. Setelah itu, mereka dapat mencapai pencerahan dan terbebas dari penderitaan.

Kitab sucinya di masa awal memberikan narasi biografi umum tentang kehidupan Sang Buddha, namun menyajikan skenario yang berbeda mengenai kapan hal itu terjadi. Beberapa pihak menyebutkan peristiwa tersebut terjadi pada pertengahan milenium ketiga SM. Sementara yang lain menyebutkan peristiwa tersebut pada akhir abad ketiga SM.

Setelah kematian Sang Buddha, ajarannya perlahan-lahan berkembang menjadi keyakinan baru yang khas. Pengikut yang berdedikasi menyebarkan ajarannya ke seluruh Asia.

Ashoka dan penyebaran ajaran Buddha

Pada abad ketiga SM, seorang raja yang sangat luar biasa berkuasa dan membantu keyakinan baru ini berkembang dan bertumbuh. Namanya Ashoka, cucu pendiri kerajaan Maurya, sebuah dinasti kuat yang berpusat di kota Pataliputra kuno (dekat Patna modern). Bangsa Maurya mengeksploitasi kekosongan kekuasaan setelah kematian Aleksander Agung pada tahun 323 SM. Mereka memperluas kekuasaan Maurya di seluruh India utara.

Ashoka Agung menjadi penguasa sekitar tahun 265 SM. Ia terus menaklukkan wilayah baru untuk kerajaannya. Pada tahun ke-8 pemerintahannya, ia mengalami perubahan spiritual yang mendalam.

Menurut catatannya sendiri, hal ini terjadi setelah penaklukan Ashoka atas wilayah tetangga Kalinga. Setelah mengamati penderitaan yang diakibatkan oleh perangnya, raja merasa sangat menyesal. Hal ini membuatnya meninggalkan kekerasan dan memeluk agama Buddha. Ashoka menerapkan ajaran Buddha sebagai kebijakan kerajaannya. “Ia menuliskan prinsip-prinsip dan strategi barunya pada tengara dan pilar di seluruh kerajaannya,” Walker menambahkan lagi.

Tindakan Ashoka ini mendorong penyebaran agama Buddha secara besar-besaran di seluruh India. Sekitar tahun 50 SM berbagai aliran ajaran Buddha mulai “berkelana” melalui jaringan perdagangan, termasuk Jalur Sutra. Ajaran Buddha mulai berakar ribuan kilometer di sebelah timur tanah airnya dan mencapai Jepang pada abad kelima.

Seiring berkembangnya ajaran Buddha, penganutnya mulai melakukan ziarah ke tempat kelahiran Buddha—Lumbini.

Cahaya baru di Lumbini

Teks-teks Buddhis menggambarkan peristiwa persalinan Maya. Ia sedang bepergian ke rumah orang tuanya ketika dia melahirkan di Lumbini. Maya pun melahirkan sambil berpegangan pada dahan pohon sal. Selama beberapa abad setelah wafatnya Sang Buddha, situs ini tetap penting. Namun popularitasnya menurun seiring berjalannya waktu, mungkin karena pergolakan politik di wilayah tersebut.

Pada tahun 1890-an sebuah pilar ditemukan di sana dengan abad ketiga SM. Pilar itu merupakan prasasti atas nama Raja Devanam Priya Priyadarsin, yang diidentifikasi oleh sebagian besar sejarawan sebagai Ashoka Agung. Pada pilar ada tulisan, “Setelah diurapi selama 20 tahun, ia datang sendiri dan memuja tempat ini, karena Buddha Shakyamuni lahir di sini.” Tempat kelahiran Sang Buddha telah ditemukan kembali.

Penggalian di Lumbini telah mengungkap sebuah situs kompleks dengan banyak bangunan yang didirikan selama berabad-abad. Salah satu yang paling suci adalah Tangki Shakya, sebuah kolam tempat Maya diyakini mandi sebelum melahirkan. Sisa-sisa biara Buddha ditemukan berasal dari abad ketiga SM hingga abad kelima M.

Para arkeolog juga telah menemukan reruntuhan stupa (kuil suci) yang berasal dari abad ke-15 M. Bangunan utama situs tersebut, Kuil Maya, dibangun di atas bangunan Ashoka sebelumnya. Pada tahun 1996, sebuah blok ditemukan di bawah kuil, diyakini menandai tempat kelahiran Sang Buddha. Pada tahun 1997 UNESCO menetapkan kompleks Lumbini sebagai situs Warisan Dunia.

Sampai saat ini, bukti arkeologi paling awal mengenai praktik Buddhis yang ada berasal dari abad ketiga SM, namun penemuan pada tahun 2011 mungkin mengubah keyakinan tersebut. Sebuah tim internasional telah melakukan penggalian di bawah trotoar batu bata era Ashoka di Lumbini. Dipimpin oleh arkeolog Robin Coningham dan Kosh Prasad Acharya, tim memindahkan trotoar untuk menemukan sisa-sisa bangunan kayu. Ketika dianalisis, sampel tersebut ditemukan berasal dari sekitar 550 SM.

Akar pohon termineralisasi yang ditemukan di sana menunjukkan bahwa struktur kayu tersebut kemungkinan besar adalah bodhigara, sebuah kuil pohon.

Menurut tradisi, Sang Buddha menetapkan Lumbini sebagai tempat ziarah semasa hidupnya. Karena kuil pohon ini diperkirakan berasal dari sekitar abad keenam SM, penemuan ini menunjukkan bahwa Sang Buddha mungkin hidup pada suatu waktu di abad keenam SM. Hal ini memberikan bukti baru kepada para sejarawan untuk dipertimbangkan ketika mereka berupaya merekonstruksi kehidupan Sang Buddha.