Kisah Mata-Mata Wanita yang Berjaya dalam Sejarah Perang Dunia II

By Sysilia Tanhati, Rabu, 6 Maret 2024 | 15:00 WIB
Dalam sejarah Perang Dunia II, sekelompok perempuan pemberani bekerja sebagai mata-mata dan agen intelijen di seluruh dunia. Mereka rela mempertaruhkan nyawa untuk mencari informasi rahasia yang memengaruhi hasil perang. (U.S. Air Force)

Andree de Jongh

Dijuluki Tukang Pos, Andrée “Dédée” de Jongh memimpin Comet Line (Le Réseau Comète). Comet Line merupakan sebuah jaringan rahasia di wilayah pendudukan Belgia dan Prancis yang membawa tentara dan penerbang Sekutu yang ditembak jatuh di wilayah musuh ke tempat yang aman.

Dia dan jaringannya memberikan pakaian sipil dan surat identitas palsu. Kemudian membawa mereka ke serangkaian rumah persembunyian dan melintasi perbatasan Prancis-Spanyol di Pyrenees. Di sana, pejabat konsulat Inggris mengambil alih dan mengevakuasi mereka melalui Gibraltar.

Andree de Jongh (Public Domain)

Comet Line menyelamatkan total 800 prajurit Sekutu. de Jongh secara pribadi memimpin lusinan perjalanan dengan berjalan kaki. Seorang penerbang Inggris yang dia bantu menggambarkannya sebagai gadis muda lemah yang tampak berusia dua puluh tahun. Ia digambarkan sebagai seseorang yang sangat cantik, menyenangkan, baik hati, ceria, dan sederhana.

Nazi akhirnya menangkapnya, mengirimnya ke beberapa kamp konsentrasi, termasuk Ravensbrück yang terkenal itu. Meskipun diinterogasi sebanyak 21 kali, dia menolak mengungkapkan nama-nama pemimpin perlawanannya. Ia tidak mau mengkhianati rekan-rekannya, termasuk ayahnya, yang juga dicurigai. Ayahnya dieksekusi, tapi dia selamat, hanya karena Nazi meremehkan pentingnya wanita muda bertubuh kurus ini.

Josephine Baker

Pada tahun 1930-an segregasi rasial berkecamuk di Amerika Serikat. Saat itu, Josephine Baker, keturunan Afrika-Amerika, menjadi terkenal di Paris sebagai penghibur, penari, dan penyanyi. Dia berpindah-pindah lingkungan sosial. Fakta ini dicatat oleh Kapten Jacques Abtey, seorang perwira intelijen untuk dinas rahasia Prancis.

Josefina Guerrero (Public Domain)

Dua tahun setelah dia memperoleh kewarganegaraan Prancis, dan ketika perang mulai terjadi, Abtey mendekati Baker pada tahun 1939. Abtey memintanya untuk mengumpulkan informasi intelijen untuk Prancis. Meskipun bahaya, Baker menerima pekerjaan itu dengan sigap.

“Prancis menjadikan saya seperti sekarang ini,” katanya. “Masyarakat Paris telah memberi saya segalanya. … Saya siap memberikan hidup saya kepada mereka.”

Baker menghadiri pesta diplomatik di Kedutaan Besar Italia dan Prancis. Ia memasang telinga untuk mengetahui siapa saja yang mungkin menjadi agen Poros atau pengkhianat Prancis.

Ketika pasukan Jerman menduduki Paris pada tahun 1940, dia melarikan diri ke zona Vichy di Prancis selatan. Dengan kedok penampilannya, dia terus bekerja secara diam-diam dengan Abtey untuk perlawanan.

Pada awal tahun 1941, mereka pindah ke Afrika Utara Prancis. Dari sana, dia menyelundupkan dokumen dan pesan yang ditulis dengan tinta rahasia ke agen di Lisbon. Agen tersebut bekerja untuk kelompok perlawanan Free French, yang dipimpin oleh Jenderal Charles de Gaulle.

Baker dihormati oleh Prancis selama hidupnya atas pengabdiannya di masa perang dengan Legiun Kehormatan dan Croix de Guerre. Pada November 2021, ia menjadi wanita kulit hitam pertama yang dilantik ke dalam Pantheon Prancis.