Nationalgeographic.co.id—Hatshepsut merupakan salah satu dari secuil wanita yang mampu mempertahankan kekuasaan begitu lama dalam sejarah Mesir Kuno. Dia memerintah Mesir selama 21 tahun, di masa keemasan.
Hatshepsut telah membangun berbagai karya monumental di seluruh negeri, mulai dari kuil hingga karya seni yang tak terhitung jumlahnya. Hal ini dimaksudkan untuk merayakan pencapaiannya dan mengabadikan doa-doanya.
Namun, menurut David Rull Ribo, seorang Doktor Egyptology dan jurnalis, banyak dari karya-karya Hatshepsut dirusak dan dihancurkan setelah kematiannya pada tahun 1458 SM.
“Penerus Hatshepsut, Thutmose III, salah satu firaun terbesar di Mesir, memimpin upaya untuk menghapus namanya dari sejarah,” ungkap David. “Sosoknya dihilangkan dari monumen-monumen, dan patung-patung serta karyanya dihancurkan.”
Namun demikian, setelah rekonstruksi besar-besaran pada abad ke-20, kuil besar Hatshepsut di Deir el Bahri (bahasa Arab yang berarti "biara utara") masih berdiri sampai sekarang.
Bersembunyi di bawah bebatuan tebing, keindahan kuil ini menjadi bukti kemuliaan Hathesput dan kebaktiannya kepada para dewa.
Wanita yang akan menjadi raja
Hatshepsut lahir sekitar tahun 1507 SM dari pasangan Thutmose I dan istri kerajaannya yang agung, Ratu Ahmose. Dia menikah dengan saudara tirinya dan sang pewaris takhta, Thutmose II.
Thutmose II meninggal di usia muda, meninggalkan seorang putra berusia dua tahun (lahir dari istri kedua) sebagai ahli warisnya. Anak itu masih terlalu muda untuk memerintah, jadi Hatshepsut, bibi dan ibu tiri anak itu, memerintah untuknya. Hatshepsut secara bertahap mengubah peranya dari ratu wali penguasa menjadi firaun.
Ketika Thutmose III beranjak dewasa, dia hanya menjadi orang kedua dalam pemerintahannya. Dia tidak memerintah secara langsung sebagai firaun sampai kematian Hatshepsut pada 1458 SM.