Limpahan Jejak Peradaban Purbakala dari Karst Bukit Bulan Jambi

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 14 Maret 2024 | 13:00 WIB
Kawasan karst Bukit Bulan, Sarolangun, Jambi menyimpan jejak kehidupan manusia purbakala. Potensi temuan arkeologinya sangat besar, namun memiliki tantangan karena keberadaannya belum dilindungi sebagai kawasan cagar budaya. (Dhanang Puspita/Balai Arkeologi Sumatra Selatan)

Ada beberapa desa yang berada di sekitar Bukit Bulan. Semuanya digabungkan sebagai Margo Bukit Bulan. Kawasan ini menjadi rumah bagi Suku Batin, Melayu Jambi, Suku Anak Dalam, dan pendatang.

"Alam membentuk karakter budaya mereka," kata Ruly. Bentang alam Bukit Bulan yang keras membuat manusia harus beradaptasi dengan ruang tempat bertinggal.

Penyesuaian ruang ini sudah berlangsung sejak manusia prasejarah, berkat medan karst yang menghasilkan gua untuk peradaban purbakala bertempat tinggal. Berdasarkan pengamatan Ruly dan tim, penduduk prasejarah yang tinggal bukanlah masyarakat pertanian. Tidak ada dataran yang cukup luas untuk kegiatan agrikultur.

"Kalau dilihat dari elemen-elemennya menunjukkan bahwa penghuninya masyarakat Austronesia, namun ada yang menarik dari Bukit Bulan," ungkap Ruly. Ada ketidaksesuaian dengan teori arkeologi yang mengungkapkan bahwa migrasi penutur Austronesia ketika sampai di kepulauan Indonesia.

Untuk pertama kalinya terdapat lukisan cadas antropomorfik di Sumatra. Lukisan ini berada di Gua Mesiu di kawasan karst Bukit Bulan. Biasanya gua yang pernah dihidupi manusia prasejarah di Sumatra memiliki lukisan cadas bermotif geometris saja. (Dhanang Puspita/Balai Arkeologi Sumatra Selatan)

Namun, di Bukit Bulan menunjukkan bahwa penduduk purbakalanya mungkin lebih menonjol dengan kebudayaan perburuan. "Dia semacam pola yang benar-benar bisa dicerminkan oleh masyarakat sekarang," lanjut Ruly.

"Tapi kalau kita lihat sekarang kan, ada beberapa suku di Indonesia yang masih mempraktikkan perburuan. Meskipun dia juga bercocok tanam, tapi enggak terlalu intens. Kira-kira apa ya yang menyebabkan mereka seperti itu?"

Beberapa suku Austronesia hari ini masih mencari makan di hutan alih-alih bertani, misalnya Punan Batu di Kalimantan dan Suku Anak Dalam yang tinggal dekat dengan Bukit Bulan. "Mungkin orang yang menghuni gua-gua di Bukit Bulan adalah masyarakat neolitik yang seperti itu (meramu makanan) yang sebenarnya sudah punya pengetahuan bercocok tanam, tetapi tanpa bercocok tanam pun bisa hidup."

Ada banyak hewan yang ditemukan di sekitar Bukit Bulan seperti monyet ekor panjang, babi, siamang, lutung, landak, rusa dan kancil, musang, biawak, kelelawar, ular, piton, serta berbagai jenis ikan dan kura-kura. Fauna ini masih ada sampai sekarang. Semua hewan ini dimakan oleh penghuni gua di Bukit Bulan purbakala dengan jejak pembakaran pada situs.

Aneka makanan ini menunjukkan bahwa penghuni Bukit Bulan mungkin bukan berburu secara aktif dengan senjata, melainkan pasif dengan jebakan. "Jadi range spektrum apa yang bisa dimanfaatkan (penghuni purbakala) itu luas banget, itu dinamakan bush meat, daging semak," kata Ruly.

Jebakan landak yang dipasang oleh masyarakat setempat di salah satu gua di Bukit Bulan. Kebiasaan memasang jebakan ini sudah berlangsung sejak prasejarah oleh penghuni gua untuk perburuan pasif. (Dhanang Puspita/Balai Arkeologi Sumatra Selatan)

Tulang belulang milik satwa seperti siamang juga digunakan oleh manusia sebagai senjata atau jebakan baru. "Kita bisa bayangkan, enggak mungkin mereka berburu atau menaruh jebakan satu teritori aja. Mereka harus jauh. Jadi cakupan catchment areanya itu luas banget," lanjutnya.