Ruly dan tim juga menemukan berbagai perangkap yang digunakan penduduk sekitar hari ini di dekat gua yang digunakan untuk berburu. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tersebut sudah diwariskan, setidaknya dari 4.000 tahun yang lalu.
Aktivitas perburuan pasif ini juga didukung denga pelbagai temuan perkakas berbahan batu obsidian yang ditinggalkan penghuni gua. Ukuran batuan obsidian yang digunakan terlalu kecil dari biasanya yang ditemukan oleh para arkeolog di situs lain.
Kecilnya obsidian dalam perkakas menandakan bahwa batuan tersebut berasal dari tempat yang sangat jauh, dan menjadi sangat berharga untuk dipakai secara masif.
"Ibaratnya kayak emas. Emas kalau gampang ditemukan pasti yang disimpan ukurannya gede. Kalau emasnya bukan dari tempat sekitar, ya yang disimpan paling yang kecil-kecil. Nah, sama dengan obsidian ini. Obsidian ini berharga dan tempatnya pasti jauh," jelas Ruly.
Dugaan ini didukung dengan Bukit Bulan yang terdiri dari karst. Karst bukanlah batuan vulkanik seperti obsidian, sehingga geologisnya tidak mendukung pembentukan batuan seperti itu. Karst berasal dari proses geologis yang terangkat dari bawah laut.
Selama penelitian, Ruly mencari sumber deposit obsidian yang berasal dari sungai yang bersumber dari gunung vulkanik. Dia bersama tim menemukan deposit obsidian yang memiliki karakteristik kimia yang sama dengan jejak perkakas di Bukit Bulan di Sungai Tembesi. Sungai berhulu dari Gunung Masurai, gunung vulkanik yang telah mati, dan bermuara ke Sungai Batanghari.
Perlindungan situs purbakala dan lingkungan Bukit Bulan
Meski ada banyak temuan kepurbakalaan di Bukit Bulan, kawasan ini belum dijadikan sebagai cagar budaya yang dilindungi. Ancaman lainnya dari pelestarian situs purbakala ini muncul dari wacana pembangunan pabrik semen yang juga berdampak pada lingkungan masyarakat Margo Bukit Bulan.
"Ada yang kontra, ada yang pro," kata Ruly. "Masyarakat hari ini sebagian besar bertani. Sebenarnya mereka sudah ditahap yang cukup gitu, maksudnya, tapi penduduk makin padat jadi timbul kebutuhan yang lainnya."
"Di satu sisi, kita tahu loh pertanian di Indonesia enggak terlalu maju. Hal itu sangat disayangkan. Di Indonesia sawahnya banyak, tapi petaninya miskin," lanjut Ruly.
Karena kebutuhan ekonomi itu, kalangan pendukung pembangunan berharap akan adanya lapangan pekerjaan. Namun, pabrik semen itu juga mengancam karst.
"Ada kata-kata masyarakat soal Bukit Bulan: 'Apalah arti kami tanpa Bukit Bulan?' Tanpa Bukit Bulan, kampung mereka tidak berbeda dengan yang lain," ujar Ruly. "Jadi kalau mau tetap ada pembangunan [pabrik semen], biarlah situs itu tetap terjaga."