Caligula Kekaisaran Romawi: Perang Paling Tak Masuk Akal dalam Sejarah

By Tri Wahyu Prasetyo, Senin, 11 Maret 2024 | 11:00 WIB
Tak tahu apa alasan pasti di balik perintah menyerang ombak di lautan. Sejarah mencatatnya sebagai keabsurdan Kaisar Caligula. (Via Roman Empire Times)

“Dia memerintahkan pembangunan jembatan antara istananya dan Kuil Jupiter, sehingga dia dapat bertemu dengan sang dewa. Dia juga mulai tampil di depan umum dengan berpakaian sebagai berbagai dewa dan setengah dewa seperti Hercules, Merkurius, Venus, dan Apollo,” ungkap Reese.

Kabarnya, dia juga menyebut dirinya sebagai dewa ketika bertemu dengan para politisi dan dia kadang-kadang disebut sebagai Jupiter dalam dokumen-dokumen publik. 

Beberapa orang mengatakan bahwa Caligula gila, tetapi para sejarawan juga berteori bahwa Caligula mungkin menderita epilepsi.

Sejarawan lain berteori bahwa Caligula mungkin menderita hipertiroidisme dan menunjukkannya dengan sifat mudah marah dan caranya menatap ke kejauhan. Sakit kepala juga dikatakan sebagai masalah umum lainnya bagi sang kaisar.

Membaca Caligula

Waktu berlalu, dan kisah perang Caligula melawan Neptunus menjadi legenda. Kisah ini diceritakan secara turun temurun hingga batas antara kebenaran dan fiksi menjadi kabur. 

Beberapa orang mengatakan Caligula gila, seorang tiran yang cengkramannya pada realitas telah terlepas seperti pasir melalui jari-jarinya.

Yang lain, seperti yang diungkapkan Christina, berpendapat bahwa “dia adalah seorang ahli strategi dengan kelicikan yang tak tertandingi, menggunakan tontonan untuk mengukuhkan kekuasaannya.”

Namun, ada juga yang membisikkan kebenaran ketiga–bahwa Caligula adalah seorang raja filsuf, yang menentang gagasan-gagasan tentang kekuasaan, kepercayaan, serta hakikat dewa dan manusia.

Marcus, Gayus, dan Lucius, yang terlibat pada hari itu, masing-masing membawa pelajaran yang berbeda. 

Marcus melihat dalam diri Caligula perwujudan dari kehendak Roma yang tak tergoyahkan. Gaius mempelajari kekuatan persepsi, bagaimana realitas dapat dibentuk oleh kehendak segelintir orang. 

Dan Lucius, mungkin yang paling bijaksana dari mereka semua, memahami bahwa sejarah adalah permadani yang ditenun dari benang-benang kebenaran yang tak terhitung jumlahnya, yang masing-masing sama sahihnya dengan yang berikutnya.

Maka berakhirlah hari perang Roma melawan laut, sebuah bab dalam sejarah kekaisaran yang akan selamanya bergema dengan suara ombak yang menerjang pantai.