Caligula Kekaisaran Romawi: Perang Paling Tak Masuk Akal dalam Sejarah

By Tri Wahyu Prasetyo, Senin, 11 Maret 2024 | 11:00 WIB
Tak tahu apa alasan pasti di balik perintah menyerang ombak di lautan. Sejarah mencatatnya sebagai keabsurdan Kaisar Caligula. (Via Roman Empire Times)

 

Nationalgeographic.co.id“Pada tahun pemerintahan Gaius Julius Caesar Augustus Germanicus, yang dikenal dalam sejarah sebagai Caligula, sebuah peristiwa terjadi yang akan selamanya mengaburkan batas antara kegilaan dan kejeniusan, kekuasaan dan kebodohan,” kata Christiana Athanasiou, seorang penulis sejarah dari Yunan.

Pertempuran ini adalah kisah paling terkenal dalam sejarah Kekaisaran Romawi, dimana Kaisar Caligula menyatakan perang terhadap Neptunus, dewa laut.

Di pantai Galia, menghadap ke perairan bergolak yang memisahkan Kekaisaran Romawi dengan pulau Britania, pasukan Roma berdiri dengan pakaian perang lengkap.

Kala itu, suasana benar-benar terasa sangat tegang. Para prajurit terlatih dan veteran berpengalaman, akan menghadapi musuh yang berbeda dari sebelumnya: hamparan laut tak berujung.

Para prajurit mulai saling bertukar pandang. Sebentar lagi mereka akan memulai serangan sia-sia: mencambuk ombak agar tunduk. Mereka juga diperintah untuk mengumpulkan kerang sebagai tanda kemenangan.

Caligula, berjubah ungu dan emas, dengan wajah murka, mengangkat tangannya tinggi-tinggi, memberi isyarat untuk maju.

Di antara barisan berdiri Marcus Valerius, seorang perwira yang kesetiaannya kepada Caligula sekuat baja gladiusnya. 

Di sampingnya, Gaius Aelius, seorang skeptis yang memandang keputusan kaisar dengan jijik, menggumamkan umpatan-umpatan di dalam hati. Dan ada Lucius muda, seorang prajurit baru yang matanya yang lebar mencerminkan kegilaan saat itu.

Ketika para legiun memulai serangan dengan cambuk mereka, Marcus meneriakkan semangat, suaranya nyaris tak terdengar di atas deru lautan. 

Gayus mencibir, "Apakah kita akan menenggelamkan Poseidon dengan keringat kita?" Tapi Lucius, yang selalu polos, meraup kerang-kerang laut ke dalam helmnya dengan semangat yang memungkiri absurditas tugas mereka.

Hari semakin siang, sampah-sampah hasil rampasan perang melawan alam mulai berserakan. Caligula mengawasi dari tempat duduknya yang tinggi, sebuah senyuman tersungging di bibirnya.

Tak jelas apa arti dari senyuman itu, sulit untuk menguraikannya. Apakah itu kegembiraan karena kegilaan atau kepuasan dari suatu strategi yang tak terlihat?

Ketika sang kaisar turun dari tempat duduknya, sandalnya tenggelam ke dalam pasir yang basah, dia mendekati ketiganya. 

Kepada Marcus, ia berkata, "Kesetiaan kalian akan menjadi fondasi bagi kejayaan abadi Roma." Kepada Gayus, "Bahkan orang yang skeptis pun melayani tujuan saya." Dan kepada Lucius, "Kepolosan Anda telah memenangkan hati para dewa."

Namun, kepada semua tentaranya, Caligula mengungkapkan inti dari kegilaannya–atau mungkin kejeniusannya. 

"Ketahuilah," katanya, "bahwa pada hari ini, kita telah membuat sebuah ejekan, bukan untuk diri kita sendiri, tetapi untuk mereka yang berani mempertanyakan kekuatan Roma.”

“Biarlah Senat merenungkan 'kemenangan' ini dan orang-orang mengagumi penaklukan kita. Karena siapa selain para dewa yang dapat mengklaim kekuasaan atas lautan–dan siapa selain Caligula yang dapat mengklaim kekuasaan atas para dewa?"

Pasukan kembali ke Roma, helm mereka penuh dengan kerang, rampasan perang yang belum pernah terjadi. Senat berbisik-bisik dengan nada pelan, sementara rakyat berbicara secara lantang tentang kemenangan ilahi kaisar mereka.

Manusia–Dewa: Apa yang Terjadi Pada Caligula? 

Caligula dan tindakan-tindakan gilanya telah menjadikannya salah satu kaisar Romawi paling terkenal sepanjang masa. (Richard Mortel/Flickr)

Tak ada yang tahu betul apa penyebab Caligula menjadi aneh. Yang pasti, keanehannya mulai muncul setelah dirinya jatuh sakit–kemungkinan diracun.

Di awal kepemimpinannya, sebelum jatuh sakit, Caligula membuat beberapa keputusan populer, seperti menghapuskan pajak tertentu dan memberikan bonus kepada militer. Bahkan, dia dianggap oleh masyarakat seperti cahaya terang di tengah gelap.

Perintah untuk menyerang dewa laut Neptunus hanyalah sepotong kisah keabsurdannya selama memimpin. Apabila terbang lebih rendah, kita akan menemui banyak cerita yang mirip atau bahkan lebih tak masuk akal dari perintahnya di pantai Galia.

Seperti yang diungkapkan M R Reese, seorang penulis dan peneliti peradaban kuno, bahwa tindakan Caligula paling mengerikan adalah ketika dia menyatakan dirinya sebagai dewa yang hidup. 

“Dia memerintahkan pembangunan jembatan antara istananya dan Kuil Jupiter, sehingga dia dapat bertemu dengan sang dewa. Dia juga mulai tampil di depan umum dengan berpakaian sebagai berbagai dewa dan setengah dewa seperti Hercules, Merkurius, Venus, dan Apollo,” ungkap Reese.

Kabarnya, dia juga menyebut dirinya sebagai dewa ketika bertemu dengan para politisi dan dia kadang-kadang disebut sebagai Jupiter dalam dokumen-dokumen publik. 

Beberapa orang mengatakan bahwa Caligula gila, tetapi para sejarawan juga berteori bahwa Caligula mungkin menderita epilepsi.

Sejarawan lain berteori bahwa Caligula mungkin menderita hipertiroidisme dan menunjukkannya dengan sifat mudah marah dan caranya menatap ke kejauhan. Sakit kepala juga dikatakan sebagai masalah umum lainnya bagi sang kaisar.

Membaca Caligula

Waktu berlalu, dan kisah perang Caligula melawan Neptunus menjadi legenda. Kisah ini diceritakan secara turun temurun hingga batas antara kebenaran dan fiksi menjadi kabur. 

Beberapa orang mengatakan Caligula gila, seorang tiran yang cengkramannya pada realitas telah terlepas seperti pasir melalui jari-jarinya.

Yang lain, seperti yang diungkapkan Christina, berpendapat bahwa “dia adalah seorang ahli strategi dengan kelicikan yang tak tertandingi, menggunakan tontonan untuk mengukuhkan kekuasaannya.”

Namun, ada juga yang membisikkan kebenaran ketiga–bahwa Caligula adalah seorang raja filsuf, yang menentang gagasan-gagasan tentang kekuasaan, kepercayaan, serta hakikat dewa dan manusia.

Marcus, Gayus, dan Lucius, yang terlibat pada hari itu, masing-masing membawa pelajaran yang berbeda. 

Marcus melihat dalam diri Caligula perwujudan dari kehendak Roma yang tak tergoyahkan. Gaius mempelajari kekuatan persepsi, bagaimana realitas dapat dibentuk oleh kehendak segelintir orang. 

Dan Lucius, mungkin yang paling bijaksana dari mereka semua, memahami bahwa sejarah adalah permadani yang ditenun dari benang-benang kebenaran yang tak terhitung jumlahnya, yang masing-masing sama sahihnya dengan yang berikutnya.

Maka berakhirlah hari perang Roma melawan laut, sebuah bab dalam sejarah kekaisaran yang akan selamanya bergema dengan suara ombak yang menerjang pantai.