Jejak Kekaisaran Ottoman dan Pengaruhnya Bagi Arab Hingga Eropa

By Hanny Nur Fadhilah, Selasa, 12 Maret 2024 | 12:00 WIB
Kesultanan Utsmaniyah atau Kekaisaran Ottoman pernah memiliki hubungan dengan dunia Arab hingga Eropa. (Public domain)

Nationalgeographic.co.id—Kesultanan Utsmaniyah atau Kekaisaran Ottoman ternyata pernah memiliki hubungan dengan dunia Arab hingga Eropa.

Kata Utsmaniyah berasal dari bahasa Arab Osman, nama penguasa pertamanya. Kekaisaran ini memiliki awal yang sederhana sebagai sebuah kerajaan provinsi di Anatolia, yang sekarang menjadi bagian dari Turki.

Apa yang mengubahnya menjadi kekuatan yang meningkat dan cukup besar dalam politik dunia adalah ekspansi bertahap ke wilayah Kekaisaran Bizantium yang sedang mengalami kemunduran.

Proses ini berakhir pada tahun 1453 dengan penaklukan Konstantinopel, ibu kota Kekaisaran Bizantium. Konstantinopel berganti nama menjadi Istanbul, dan menjadi pusat kekaisaran baru yang sedang bangkit.

Pada abad ke-15, kota ini menjadi pusat perdagangan dan inovasi arsitektur yang dinamis. Suatu periode ekspansi yang stabil terjadi. Kekaisaran meluas ke sebagian Timur Tengah sepanjang Laut Merah, Afrika Utara, Balkan, Eropa Timur dan sampai ke tembok kota Wina.

Puncak kekuasaan Kekaisaran Ottoman terjadi pada abad ke-16 pada masa pemerintahan Suleiman yang Agung, salah satu sultan kekaisaran yang paling lama berkuasa.

Bukti kekuatan kekaisaran adalah fakta bahwa Suleiman mendapat julukan “megah” di Barat. Di masa Kesultanan Utsmaniyah, ia dikenal sebagai “pemberi hukum”.

Pada masa pemerintahannya, kekaisaran memperoleh kode hukum baru dan mengalami periode kebangkitan budaya yang didukung oleh perpaduan unsur Kristen, Islam, dan Arab.

Kekaisaran juga menawarkan jalan yang aman bagi orang-orang Yahudi Sephardic yang melarikan diri dari penganiayaan di Semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal).

Pada awal abad ke-16, Kekaisaran Ottoman memiliki salah satu komunitas Yahudi terbesar di dunia. Konstantinopel belum secara resmi berganti nama menjadi Istanbul hingga tahun 1930.

Ketika kota ini menjadi perpaduan budaya yang nyata. Sepanjang masa Renaisans, Ottoman menjadi mitra dagang terbesar Eropa Barat.

Pengaruh Kekaisaran Ottoman dengan Eropa

Tembok kota Wina menandai puncak kekuasaan Kekaisaran Ottoman dan awal kehancurannya secara perlahan dan bertahap. Kekaisaran ini menjadi subjek kekaguman di pengadilan Eropa.

Kehidupan budayanya menarik perhatian para pemikir dan seniman Eropa Barat. Organisasi dan kekuatan militernya menarik perhatian para ahli teori dan politisi.

Ottoman menjadi salah satu subjek utama gerakan estetika dan ilmiah abad ke-18 dan ke-19 yang dikenal sebagai Orientalisme. 

Yang terpenting, Kekaisaran Ottoman sebagian merupakan kerajaan Eropa. Jangkauannya meluas ke wilayah-wilayah seperti Balkan dan Eropa Tenggara yang kini sepenuhnya menjadi wilayah Eropa.

Meskipun kekuatan mereka berkurang pada abad ke-18 dan ke-19, populasi Kristen dan Muslim di Balkan dan Mediterania timur hidup berdampingan dalam masyarakat yang relatif toleran.

Hal ini mulai berubah pada pertengahan abad ke-19 karena sentralisasi kekuasaan dan administrasi kesultanan yang jauh dari bagian-bagiannya yang beragam dan berjauhan.

Pada awal abad ke-20, provinsi-provinsi kekaisaran di Eropa menjadi tempat kekerasan dan konflik etnoreligius.

Titik baliknya adalah Perang Balkan (1912-1913), yang memisahkan beberapa provinsi paling beragam dan terkaya di Eropa Tenggara dari kekaisaran.

Hubungan Kekaisaran Ottoman dengan Dunia Arab 

Kekaisaran Ottoman memperluas jangkauannya ke seluruh wilayah yang sekarang dikenal sebagai dunia Arab, mulai dari Kairo hingga Aljir.

Untuk waktu yang lama, kekuasaan Ottoman di Timur Tengah sangat minim. Fokus utamanya adalah pada perlindungan pos-pos perdagangan utama dan kota-kota suci Islam.

Memiliki hubungan perdagangan dan ekonomi yang saling menguntungkan membuat berbagai wilayah hidup bahagia sebagai satu kesatuan. Arab juga pernah mempertahankan kesetiaan kepada Kekaisaran Ottoman.

Namun, dengan pecahnya Perang Dunia I, hal ini mulai berubah. Bangkitnya nasionalisme Arab dan dinamika propaganda perang mengobarkan gerakan-gerakan di seluruh dunia Arab yang secara aktif berupaya memutuskan hubungan dengan negara Ottoman. 

Runtuhnya Kekaisaran Ottoman Hingga Muncul Turki Modern

Kekalahan tentara Yunani di Anatolia pada tahun 1922 oleh kekuatan nasionalisme Turki menandai runtuhnya Kekaisaran Ottoman secara de facto dan munculnya negara penerus baru, Turki modern.

Perang Yunani-Turki menjadi seruan bagi gerakan pan-Islamis anti-kolonial di Timur Tengah dan India. Namun Mustafa Kemal Ataturk, pendiri dan pemimpin pertama Turki, ingin melakukan terobosan radikal dari warisan Ottoman.

Ia memindahkan ibu kota negara baru dari Konstantinopel ke Ankara dan memprakarsai serangkaian reformasi yang cepat, seperti perubahan alfabet dan penghapusan kekhalifahan serta gagasan monarki absolut di dunia Islam.

Meskipun terjadi perpecahan radikal dengan masa lalu kekaisaran, perdebatan antara tradisi dan modernisasi terus membentuk evolusi kehidupan politik Turki.

Dalam beberapa dekade terakhir, Turki telah menyaksikan kembalinya gerakan politik dan budaya yang menentang orientasi negara Barat dan sekuler, serta secara selektif melihat kembali masa lalu Ottoman sebagai panduan untuk masa kini.

Keputusan pemerintahan Erdogan untuk mengubah kuil Bizantium yang terkenal, Hagia Sophia, kembali menjadi masjid pada tahun 2020 meskipun ada kecaman internasional yang luas, memberikan contoh nyata dari pengakuan masa lalu Ottoman di Turki modern.