Semangat kewirausahaan Lucius tidak berhenti di resep masakan saja. Dia memahami betul bagaimana kekuatan promosi dari mulut ke mulut dalam komunitas yang erat di masyarakat Pompeii.
Dia sering berinteraksi dengan para pelanggannya, bertanya tentang keluarga mereka dan berbagi cerita tentang perjalanannya. Hal ini menjadikan setiap kunjungannya sebagai pengalaman pribadi.
Saat matahari terbenam di bawah cakrawala, cahya lembut lampu minyak yang menggantung di sudut-sudut kedai semakin menambah kehangatan. Terkadang, di acara-acara khusus, pertunjukan musik turut meramaikan restoran ini. Musisi lokal akan diundang untuk memainkan kecapi atau seruling.
Malam-malam ini tentu sangat dinanti-nantikan oleh para pengunjung, sebuah kesempatan untuk menikmati makanan enak, musik, dan ditemani teman dan keluarga.
Sajian khas pada masa itu merupakan ciri utamanya. Lucius, dengan pemahamannya yang tajam tentang rasa dan bahan, sering bereksperimen dengan hidangan baru, menciptakan hidangan spesial harian berdasarkan musim.
Namun, kebahagiaan ini tidak bertahan lama. Pada tahun 79 Masehi, Gunung Vesuvius meletus, menutupi Pompeii dengan lapisan abu dan bebatuan.
Kedai sederhana Lucius, bersama dengan seluruh kota, terkubur. Namun, cita rasa dan kisahnya terpelihara di bawah puing-puing vulkanik
Berabad-abad kemudian, para arkeolog menemukan termopolium. Lukisan-lukisan dinding yang dulunya cerah, kini telah pudar, namun masih menceritakan kisah yang hidup tentang sebuah restoran yang pernah memberi makan warga Pompeii.
Di bawah bayang-bayang Vesuvius, mimpi Lucius terus tumbuh, memberi makan mereka yang kelaparan dan menyatukan orang-orang.