Nationalgeographic.co.id—Di jantung kota Pompeii kuno yang hiruk pikuk, di antara jalanan berbatu yang membuat derap pedati bergemuruh, berdiri sebuah bangunan kecil namun semarak. Ia adalah termopolium atau kedai makanan Lucius, sebuah restoran cepat saji kono di Kekaisaran Romawi.
Restoran ini didirikan oleh Lucius, seorang pria dari keluarga sederhana yang telah menjelajahi hampir seluruh wilayah Kekaisaran Romawi.
Seusai perjalanannya yang panjang, Lucius memnginginkan sebuah tempat nyaman dengan berbagai jenis masakan untuk masyarakat jelata di Pompeii.
Lucius
Lucius dikenal oleh sebagian besar masyarakat akan kesederhanannya. Penampilannya ditandai dengan matanya coklat yang berbinar.
Pakaiannya selalu bersih namun sudah usang, sebuah bukti dari sifat praktisnya. Di kakinya, ia mengenakan sandal yang kokoh, yang mampu bertahan berjam-jam untuk berdiri dan berjalan.
Menurut Christina Athanasiou, seorang penulis dan sejarawan dari Yunani, Lucius menerima pendidikan yang biasa-biasa saja; dia bukan seorang sarjana atau filsuf. Namun, perjalanannya melintasi Kekaisaran telah menjadi ruang kelasnya.
“Ia belajar dari orang-orang yang ia temui, makanan yang ia cicipi, dan budaya yang ia alami,” jelas Christina .
Pendidikan informal ini memberinya perspektif unik tentang kehidupan, yang didasarkan pada pengetahuan praktis dan kebijaksanaan duniawi.
Kisah keluarga Lucius adalah kisah yang sederhana. Orang tuanya bukan keturunan bangsawan; mereka adalah rakyat jelata. Ayahnya seorang pengrajin dan ibunya seorang penenun.
Meskipun demikian, keluarga sederhananya sangat menekankan nilai-nilai kerja keras dan pentingnya kebersamaan. Hal inilah yang kemudian sangat mempengaruhi riwayat hidup Lucius.
Mimpi Lucius tak muluk-muluk namun sangat mendalam. Dia ingin menciptakan tempat berkumpul bagi semua orang, di mana makanan tidak hanya menjadi kebutuhan, tetapi juga kegembiraan untuk dibagikan.
Lucius memiliki seorang istri bernama Julia. Dia adalah seorang kekasih di masa kecilnya, yang memiliki kepribadian lembut.
Bersama-sama, mereka memiliki dua anak, seorang putra dan seorang putri, yang tumbuh dengan bermain di lorong-lorong Pompeii. Tawa mereka sering bergema di jalanan.
Julia adalah istri yang baik dan sangat setia. Dia selalu mendukung Lucius, kebijaksanaan dan wawasannya sering kali membimbingnya menjalankan bisnis.
Kedai Sederhana Lucius
Perjalanan untuk membuka kedainyanya bukanlah perjalanan yang mudah bagi Lucius. Ia memulai dengan modal yang tidak banyak–hasil tabungannya selama bertahun-tahun bekerja sebagai pedagang dan sisanya dari pinjaman.
Tidak grusah-grusuh, Lucius memilih lokasi dengan hati-hati, sebuah sudut Pompeii yang sibuk di mana orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat bertemu.
Menurut Christina , ketajaman bisnisnya sebagian besar diperoleh secara otodidak, diasah selama bertahun-tahun dengan mengamati pasar dan berinteraksi dengan pelanggan. Dia memahami nilai lokasi, layanan pelanggan, dan kualitas makanan.
“Lucius tidak hanya menjual makanan; ia menciptakan sebuah pengalaman, sebuah tempat di mana orang-orang dapat berkumpul, berbagi cerita, dan menikmati cita rasa Kekaisaran,” kata Christina .
Kesuksesan Lucius tidak ditentukan oleh kekayaan atau prestise, tetapi oleh senyuman para pelanggannya yang puas, keriuhan kedainyanya, dan kehangatan komunitas.
Menu yang disajikan Lucius sama beragamnya dengan perjalanannya. Pengunjung dapat memesan masakan-masakan sederhana, atau juga makanan yang biasa dihidangkan kepada bangsawan. Tentu, dengan harga ramah rakyat jelata.
Para budak dan pekerja bebas, masing-masing dengan peran yang telah ditentukan, menjalankan tempat ini di bawah pengawasan Lucius. Sementara sebagian bekerja di dapur dan pelayanan, orang-orang yang ia percayai menangani koin tembaga yang berdenting di meja kasir.
Semangat kewirausahaan Lucius tidak berhenti di resep masakan saja. Dia memahami betul bagaimana kekuatan promosi dari mulut ke mulut dalam komunitas yang erat di masyarakat Pompeii.
Dia sering berinteraksi dengan para pelanggannya, bertanya tentang keluarga mereka dan berbagi cerita tentang perjalanannya. Hal ini menjadikan setiap kunjungannya sebagai pengalaman pribadi.
Saat matahari terbenam di bawah cakrawala, cahya lembut lampu minyak yang menggantung di sudut-sudut kedai semakin menambah kehangatan. Terkadang, di acara-acara khusus, pertunjukan musik turut meramaikan restoran ini. Musisi lokal akan diundang untuk memainkan kecapi atau seruling.
Malam-malam ini tentu sangat dinanti-nantikan oleh para pengunjung, sebuah kesempatan untuk menikmati makanan enak, musik, dan ditemani teman dan keluarga.
Sajian khas pada masa itu merupakan ciri utamanya. Lucius, dengan pemahamannya yang tajam tentang rasa dan bahan, sering bereksperimen dengan hidangan baru, menciptakan hidangan spesial harian berdasarkan musim.
Namun, kebahagiaan ini tidak bertahan lama. Pada tahun 79 Masehi, Gunung Vesuvius meletus, menutupi Pompeii dengan lapisan abu dan bebatuan.
Kedai sederhana Lucius, bersama dengan seluruh kota, terkubur. Namun, cita rasa dan kisahnya terpelihara di bawah puing-puing vulkanik
Berabad-abad kemudian, para arkeolog menemukan termopolium. Lukisan-lukisan dinding yang dulunya cerah, kini telah pudar, namun masih menceritakan kisah yang hidup tentang sebuah restoran yang pernah memberi makan warga Pompeii.
Di bawah bayang-bayang Vesuvius, mimpi Lucius terus tumbuh, memberi makan mereka yang kelaparan dan menyatukan orang-orang.