Nationalgeographic.co.id—Mungkinkah agama punya peran dalam upaya pelestarian alam? Setidaknya itulah yang menjadi pertanyaan Frans Wijsen, Adjunct Professor di Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada (CRCS UGM).
Pertanyaan ini sangat penting, mengingat Indonesia merupakan salah satu dari 20 negara yang paling religius, menurut laporan US News. Di samping itu, Indonesia juga negara rentan terdampak bencana yang di antaranya berhubungan dengan krisis perubahan iklim.
Sejak 1990-an, negara-negara di Eropa menjadi yang pertama memperhatikan dampak perubahan iklim yang mulai terasa.
"Di Belanda sendiri, kita sering berjuang melawan air, membuat tanggul, reklamasi laut. Jadi kita selalu berupaya menguasai alam, menaklukkan alam," kata Wijsen dalam Wednesday Forum bertajuk "Humans, Nature, and God in Indonesia: Does Religion Matter?" yang digelar CRCS UGM pada 18 Oktober 2023.
Demi merespons perubahan iklim, terjadinya perubahan paradigma terhadap hubungan manusia dan alam di Eropa, terutama di Belanda. "Para insinyur pengairan mengubah peradigma dan berpendapat, mungkin kita tidak seharusnya melawan air, namun kita harus melihat air sebagai kawan kita. Beri saja ruang pada sungai, biarkan air mengalir, dan jangan melawannya," ungkap Wijsen.
Belanda yang dikenal sebagai negara sekuler dan sejak dulu membangun dengan melawan alam supaya tidak tenggelam telah berubah paradigma. Tata ruang di beberapa kotanya menyesuaikan dengan air.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Keanekaragaman hayati di alam Indonesia begitu melimpah, sehingga upaya pelestarian sangat diperlukan. Apakah hubungan manusia dan alam dipengaruhi dengan keagamaan yang dianut?
Jawaban dari pertanyaan ini dicari oleh Wijsen dan rekan-rekan peneliti di UGM sejak 2019. Temuannya diungkap di Journal for the Study of Religion, Nature, & Culture bertajuk "Humans and Nature: Does Religion Make a Difference in Indonesia?".
Secara ilmiah, ada empat kalangan utama pandangan yang menggambarkan hubungan manusia, agama, dan alam. Empat jenis itu di antaranya kalangan ahli agama, umat beragama, pengurus keagamaan, dan pegiat humanis.
Empat jenis ini diukur dengan skala hubungan manusia dan alam (HaN). Pertama, pandangan bahwa manusia adalah bagian dari alam, namun mempunya tanggung jawab untuk menjaganya. Pandangan ini diyakini oleh para pengurus keagamaan.
Sedangkan kalangan pegiat humanis, hampir serupa. Mereka memandang bahwa manusia memang bagian dari alam, namun tidak ada dasar agama dalam pemikirannya yang membuat mereka harus peduli terhadap alam.
Dua pandangan ini lebih banyak diyakini para partisipan penelitian ini. Akan tetapi pandangan pegiat humanis lebih tinggi.
Berikutnya adalah pandangan yang diyakini dari ahli agama, manusia lebih tinggi daripada alam dan berhak untuk mengubahnya. Pandangan terakhir, manusia dan alam adalah setara yang menganggap bahwa manusia bagian dari alam dan alam adalah bagian dari manusia.
Dari pemeluk agama yang diteliti—seperti umat Islam, Protestan, Katolik, dan Hindu—tidak memiliki perbedaan. Semua kelompok setuju dengan pandangan pegiat humanis dan pengelola keagamaan, ketimbang pemahaman ahli agama dan penyetaraan kesatuan manusia dan alam.
"Tidak banyak perbedaan antara keempat kelompok utama tersebut," ungkap Wijsen. "Mayoritas berpendapat, agama berperan penting dalam kehidupan para partisipan dan keputusan mereka ambil."
Singkatnya, dasar agama yang mengharuskan kepedulian alam kurang diadaptasi sebagai langkah yang diambil. Agama hanya dijadikan dasar sebagai kesadaran umatnya untuk mengambil peran dalam hubungan manusia dan alam.
"Ada dukungan besar-besaran untuk pengelolaan yang ramah lingkungan. Secara keseluruhan, afiliasi keagamaan tidak membuat perbedaan besar," terang Wijsen. "Secara keseluruhan, kesepakatan tertinggi ada pada tata layanan humanis."